Upaya Masyarakat Berperan Penting Untuk Hindari Gelombang Ketiga Pandemi Covid

Upaya Masyarakat Berperan Penting Untuk Hindari Gelombang Ketiga Pandemi Covid
foto tangkapan layar

MATRANEWS.id — Berita mengenai, Dunia akan Krisis Tenaga Perawat Saat Pandemi Memasuki Tahun Ketiga, membuat kita perlu waspada. Di tengah capaian vaksin yang belum sesuai target di seluruh Indonesia.

Jumlah perawat di seluruh dunia semakin menurun seiring dengan tingkat penyebaran virus corona varian omicron.

Selain itu kekurangan tenaga perawat juga didorong oleh meningkatkan perekrutan petugas kesehatan dari Afrika dan negara-negara miskin lainnya oleh negara-negara Barat, Dewan Perawat Internasional mengatakan pada Jumat (10/12).

Banyak perawat yang kelelahan akibat pandemi COVID-19, kata Howard Catton, CEO grup yang berbasis di Jenewa yang mewakili 27 juta perawat di 130 asosiasi nasional.

BACA JUGA: Ini cara Menulis Features, Klik ini

“Saya hampir berpikir bahwa pemerintah perlu memikirkan paket bantuan kehidupan yang perlu mereka siapkan untuk berinvestasi pada perawat dan petugas kesehatan mereka tahun depan,” katanya.

Setidaknya 115.000 perawat telah meninggal karena COVID-19, tetapi Catton mengatakan angka kematian yang dilansir Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari awal pandemi hingga Mei ini tergolong konservatif.

Dewan Perawat Internasional menengarai angka sebenarnya mungkin dua kali lipat dari angka yang dipublikasikan.

Catatan pinggirnya, sebelum pandemi dunia sudah mengalami kekurangan perawat sebanyak 6 juta orang, sementara sekitar 4,75 juta perawat akan pensiun selama beberapa tahun ke depan.

Rata-rata, negara-negara kaya memiliki hampir 10 kali lipat jumlah perawatdibandingkan dengan negara-negara miskin. Namun mereka banyak merekrut staf rumah sakit mereka dari luar negeri.

“Kami benar-benar melihat peningkatan aktivitas rekrutmen oleh Inggris dan Jerman sebagai contoh di Eropa, AS dan Kanada di Amerika Utara juga,” katanya. Dia menambahkan bahwa negara-negara Afrika seperti Kenya, Uganda, Nigeria melihat perawat mereka direkrut.

Kematian Nakes di Indonesia Akibat Covid-19 tertinggi di Asia, Bagaimana Antisipasi Kita?

Bagaimana dengan Indonesia, yang disebut tertinggi di Asia dan ketiga terbesar di dunia untuk jumlah tenaga kesehatan yang meninnggal dunia.

Seorang dokter mengaku trauma dan sempat merasa kalah di tengah meroketnya kasus positif Covid-19 di Pulau Jawa pada Juni hingga Juli lalu.

Baca juga :  Warung Kaleng atau Kampung Sampay di Puncak Bogor Kembali Bergeliat?

“Seandainya saya tidak disumpah dokter, saya lebih baik tidak memberikan pelayanan. Saya trauma dengan kehilangan banyak orang terdekat,” kesaksian dokter saat  kasus positif Covid-19 di Pulau Jawa merebak pada Juni hingga Juli lalu.

Selama beberapa hari, kasus positif di Indonesia tercatat antara 40 ribu hingga 56 ribu.

BACA JUGA: Perempuan dan Pistol, Klik ini

Pasien terkapar di halaman parkiran rumah sakit atau terpaksa ditolak karena tidak ada tempat tidur yang tersedia, hampir terjadi di sejumlah fasilitas kesehatan di Pulau Jawa.

“Karena kami dokter ditugaskan dan disumpah untuk bisa membantu orang dan ketika melihat banyak kematian, terbesit perasaan… Rasanya enggak ada manfaat jadi dokter, kok banyak yang meninggal, banyak yang dirawat…”

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Dedi Supratman, mengatakan Indonesia kehilangan aset yang begitu besar atas gugurnya ribuan nakes.

Yang juga sangat disayangkan, banyak guru besar atau dokter spesialis senior tutup usia.

“Kita benar-benar harus membayar mahal atas kehilangan tenaga kesehatan ini. Itu mengapa sejak awal kami menyerukan perkuat perlindungan terhadap tenaga kesehatan,” tegas Dedi.

Para dokter spesialis senior itu tak bisa tergantikan dalam hal pengalaman dan pengetahuan, kata Dedi. Meskipun ada ribuan lulusan dokter baru.

“Tahun depan ada pasti ada lulusan dokter dan perawat baru tapi yang susah membayar pengalaman dan profesionalisme. Butuh waktu pastinya.”

Apa dampak gugurnya ribuan tenaga kesehatan?

Dedi Supratman menilai angka kematian tenaga kesehatan semestinya “bisa ditekan” jika sedari awal pemerintah memberikan perlindungan ekstra kepada mereka.

Mulai dari menyediakan alat pelindung diri (APD), vitamin, obat-obatan, dan tes berkala Covid-19.

Tapi nyatanya di lapangan, sejumlah rumah sakit mengeluhkan kekurangan masker dan jas pelindung diri atau hazardous materials suit (hazmat). Sehingga para dokter terpaksa membeli sendiri dan menerima sumbangan dari publik.

Baca juga :  Jenderal Andika Perkasa: Saya Tidak Ingin Jadi Apa-Apa, Berjalan Seperti Ini Saja

Tes Covid-19 pun baru dilakukan jika si nakes mengalami gejala.

“Ini [angka kematian nakes] tidak wajar. Harusnya bisa ditekan,” dokter bercerita, bagaimana dirinya di masa awal pandemi, para dokter sempat berkonflik dengan manajemen rumah sakit swasta karena tidak bisa menyediakan alat pelindung diri (APD).

BACA JUGA: Pemilik Rp 120 Triliun Rekening Gendut Temuan PPATK, Belum Ditemukan?

Hingga akhirnya beberapa dokter membeli dengan kocek pribadi.

Tenaga kesehatan mengalami keletihan luar biasa yang membuat daya tahan tubuh mereka merosot sehingga gampang terinfeksi virus Corona.

“Lelah karena jumlah kasus kasus sempat turun tapi naik lagi. Ibarat perang enggak habis-habis. Capek kan?”

“Dokter dan perawat termasuk profesi yang selama 1,5 tahun ini tidak boleh cuti. Istirahat pun kalau positif Covid-19. Setelah sembuh, kerja lagi.”

Gugurnya ribuan nakes itu pun, sudah pasti akan berdampak pada layanan kesehatan masyarakat.

Yakni akses masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan menjadi terbatas karena jumlah tenaga kesehatan semakin berkurang.

Idealnya dokter dalam memberikan pelayanan adalah 1 banding 1.000 penduduk, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tapi di Indonesia rasio dokter dan penduduk adalah 4 banding 10.000.

Jumlah itu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura yang memiliki 2 dokter per 1.000 penduduk.

Sementara mencetak satu dokter membutuhkan waktu lama.

“Dokter umum saja butuh sembilan tahun. Dokter spesialis 14 tahun.”

Indonesia antisipasi Covid gelombang ketiga, Presiden Jokowi menyebut ‘Fasilitas kesehatan belum baik dan perlu direformasi’

Waspadai Gelombang Ketiga COVID-19 saat Nataru

Saat ini Indonesia masuk ke dalam fase di mana angka kejadian COVID-19 tidak meningkat.

Seluruh masyarakat Indonesia diimbau untuk tetap waspada terhadap ancaman gelombang ketiga pandemi COVID-19, terutama saat hari raya natal dan tahun baru (Nataru).

Mobilisasi masyarakat harus dikendalikan semaksimal mungkin sehingga lonjakan kasus tidak terjadi. Bulan Juli lalu telah terjadi kasus kematian akibat COVID-19 terbanyak sepanjang pandemi melanda Indonesia.

Baca juga :  Queen Consort Camilla Akan Bergelar 'Queen Camilla, Mother of the Nation' Jika King Charles III Meninggal

Sebanyak 32.061 kasus kematian selama periode 1-29 Juli. Jumlah itu empat kali lipat lebih banyak dibandingkan Juni 2021 dengan total 7.913 kasus kematian.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI drg. Widyawati MKM mengatakan pemerintah telah memberlakukan pembatasan mobilitas melalui Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk mencegah penularan COVID-19.

“Masyarakat jangan sampai melupakan kejadian di bulan Juli yang menyebabkan banyak kematian akibat COVID-19. Patuhi protokol kesehatan jangan sampai lengah,” katanya, Sabtu (27/11) di Jakarta.

Untuk mencegah terjadinya gelombang ketiga pandemi COVID-19 pun pemerintah menerapkan PPKM Level 3 dari tanggal 24 Desember 2021 hingga 2 Januari 2022.

BACA JUGA: Ribuan Data Polri Bocor, Apa Saja Ya?

Upaya itu dilakukan untuk melindungi masyarakat dari penularan COVID-19. Jangan sampai kebebasan sesaat ketika Nataru menyebabkan kasus COVID-19 kembali naik. Akibatnya akan berdampak buruk bukan dari sisi kesehatan saja tapi perekonomian jadi tidak berjalan.

“Masih ada masyarakat yang terpapar COVID-19 walaupun sangat kecil. Jadi tetap laksanakan 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak), dan hindari kerumunan, serta kurangi mobilitas,” ucap drg. Widyawati.

Pemerintah juga melakukan percepatan kegiatan vaksinasi untuk meningkatkan herd immunity. Masyarakat diimbau tidak memilah-milah jenis vaksin karena semua jenis vaksin yang disediakan pemerintah adalah vaksin terbaik.

Upaya Masyarakat Berperan Penting Untuk Hindari Gelombang Ketiga

Tidak hanya pemerintah, upaya dari masyarakat pun berperan penting untuk menghindari gelombang ketiga pandemi COVID-19 di Indonesia.

“Kalau masyarakat peduli dan disiplin protokol kesehatan, maka COVID-19 ini bisa dicegah dan tidak terjadi gelombang ketiga,” tutur drg. Widyawati.

Hotline Virus Corona 119 ext 9.

Silahkan kontak Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email [email protected] (D2)

Tinggalkan Balasan