viral  

Virus Dinasti Politik, Kena Juga Ke Jokowi?

Virus Dinasti Politik, Kena Juga Ke Jokowi?

MATRANEWS.id — “Kalau enggak anak`e, kalau ndak istrine, kalau enggak ponakane,” ujar Megawati tentang gejala “politik dinasti” di Indonesia. Mega seakan menyindir seorang pemimpin yang memanfaatkan aji mumpung, saat mereka berkuasa itu, sangat tidak terhormat dan rendah sekali kredibilitasnya.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap elite politik yang memaksakan anaknya masuk menjadi pemimpin politik.

Eng-ing-eng. Pernyataan Megawati terus mengundang sejumlah pertanyaan publik terkait siapa yang dimaksud oleh Megawati itu.  Ekonom senior Rizal Ramli, terus terang mengatakan, penasaran dengan ucapan Megawati tersebut.

Dia menilai pernyataan Ketua Umum PDIP itu sangat tajam dan cukup menohok. “Ini mbak Mega nyindir sopo yo ? Ini mah telak,” kata Rizal, mantan Menko Kemaritiman era Presiden Jokowi.

Konon, sindiran Megawati itu dinilai menyasar ke Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Karena kabarnya, putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) hendak maju pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024.

Akan tetapi, cerita jelang di pilkada 2020 berbicara fakta lain . Jokowi  memberikan restu kepada anak dan menantunya dalam berlaga di Pilkada Medan dan Solo. Maka, netizen berkoar. Ah, Jokowi tak ubahnya seperti keluarga Yasin Limpo, keluarga Atut Chosiyah, keluarga Megawati, SBY dan keluarga Soeharto.

Figur Joko Widodo yang menjadi Presiden selama dua periode, kapabilitasnya yang bersih dan mumpuni kini mendapat respon negatif. Jokowi “ternoda” sebagai sosok harapan baru Indonesia. Pendek kata, Jokowi tak berbeda dengan Soeharto, SBY dan Megawati. Ia membangun politik dinasti, demikian stigma itu.

Baca juga :  Dissenting Opinion Menegaskan Telah Terjadi Penyalahgunaan Pelaksanaan Program Bansos serta Ketidaknetralan Aparat Pemerintahan

Niat Bobby Nasution atau Gibran Rakabuming untuk menjadi Walikota di Medan dan di Solo jelas tidak salah.  Secara kalkulasi politik dan secara rasional nama besar Presiden Jokowi yang masih menjabat, pasti membuat mereka dengan mudah mendulang suara.

Bicara hukum positif, tidak ada satupun UU dan peraturan yang dilanggar oleh Bobby dan Gibran. Tapi politik itu bukan sekedar hitam putih bukan? Tapi aksen perpolitikan harus dibumbui dengan etika dan kepatutan sosial.

Jokowi dianggap telah mengecilkan marwah dan kewibawaan dirinya. Jokowi telah membiarkan dirinya menjadi contoh yang tidak baik bagi keluarga lain di Indonesia untuk mengembangkan politik dinasti.

Salah satu faktor keberhasilan kepemimpinan itu adalah keteladanan. Keteladanan seorang pemimpin jauh lebih efektif berimbas ke masyarakat dibandingkan sejuta kata-kata.

Lord Acton mengemukan: “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”.  Kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan dan kekuasaan mutlak pasti dipersalah- gunakan.

Ada narasi: “Lalu apa bedanya Jokowi dengan pemimpin- pemimpin lain di negeri ini yang melakukan aji mumpung dan membangun politik oligarki ?”

Ketika  Gibran dan Bobby Nasution yang “mentah” di dunia sosial dan  politik, mendapat privilege sebagai anak dan menantu Presiden.

Menyikapi adanya dinasti politik, pengajar politik dari Universitas Indonesia Arbi Sanit berpendapat, di negara majupun dinasti politik juga terjadi. Namun di negara tersebut, politik dinasti berguna membantu pembentukan kepemimpinan dan pemimpin politik, seperti John F Kennedy.

Baca juga :  Pemerintah Kabupaten Bangkalan Memulai Pembangunan Jogging Track di Alun-Alun Sisi Selatan

Karena itu, menurut Arbi, politik dinasti tidak mendistorsi demokrasi bila proses pembentukannya mandiri, tidak menggunakan pengaruh apalagi otoritas (kekuasaan) penguasa. Disinilah persoalan dinasti politik di Indonesia, seperti dialami oleh anak dan menatu Presiden Jokowi.

“Terkait Kaesang, presiden malah mendatangi ketua DPC PDIP Solo, lalu mengubah sikap menolak jadi mendung dan malah siap jadi pendamping calon. Terbukti dinasti merusak demokrasi, karena kekuasaan besar menekan kekuasaan lokal,” katanya.

Selain adanya penyalahgunaan (korupsi) kekuasaan politik, Arbi menjelaskan, praktek dinasti yang dilakukan oleh Gibran Rakabuming Raka juga merusak budaya politik generasi muda. Lebih dari itu praktek politik dinasti keluarga presiden Jokowi juga merosotkan kepercayaa dan penghormatan setidaknya kalangan publik Indonesia.

Ada survei di Solo, yang menyebut secara umum masyarakat Kota Solo tidak setuju jika Gibran maju sebagai bakal calon wali kota Solo, karena dinilai sebagai mewariskan dinasti politik.  Tapi survei lain mengungkap, ada 55,5 persen warga yang menganggap majunya Gibran, bukanlah dinasti politik vs 41,6 persen yang menyatakan itu adalah dinasti politik.

Gibran akan menjadi seorang pemimpin dan masyarakat mendukung, persentasenya yakni (41,3 persen).  Sementara masyarakat yang menilai Gibran masih sangat muda, persentasenya berada di angka 19, 4 persen. Alasan ketiga yakni terkait dengan semangat untuk menghadirkan perubahan di Kota Solo dengan persentase sebesar 14,7 persen.

Baca juga :  Latgabma SGS 2022

Catatan “pinggir”nya adalah, tiga alasan publik melihat Gibran maju itu tidak baik dan dinasti politik. Satu terlalu muda (23,4 persen), dua nepotisme (18,9 persen), tiga belum pengalaman (18,9 persen).  Akankah ini survei valid? Sejarah sedang mencatat,  bagaimana pemimpin seharusnya menjaga amanah rakyat.

S.S Budi Raharjo

baca juga: majalah MATRA edisi cetak — klik ini

 

Tinggalkan Balasan