MATRANEWS.ID – Hubungan percintaan seharusnya didasarkan pada rasa cinta dan kasih sayang yang tulus. Namun, dalam praktiknya, ada sejumlah kasus di mana cinta digunakan sebagai alat manipulasi. Salah satu fenomena yang sering terjadi namun jarang diakui secara terbuka adalah ketika seorang wanita berpura-pura mencintai pasangannya demi mendapatkan keuntungan tertentu, baik materiil maupun emosional. Bagaimana hal ini bisa terjadi, dan apa dampak psikologis serta sosial dari perilaku ini?
Memahami Motif di Balik Manipulasi Cinta
Menurut data yang dikumpulkan dari beberapa survei sosial, alasan di balik wanita yang berpura-pura mencintai bervariasi. Dalam survei yang dilakukan oleh lembaga psikologi terkemuka di Indonesia, ditemukan bahwa 30% responden wanita mengaku pernah menjalin hubungan tanpa rasa cinta yang mendalam. Mereka menjelaskan bahwa faktor ekonomi, status sosial, dan tekanan lingkungan menjadi beberapa alasan utama mereka melanjutkan hubungan tersebut.
Salah satu narasumber yang berhasil diwawancarai, sebut saja Melati (nama samaran), seorang wanita berusia 29 tahun dari Jakarta, mengaku pernah menjalani hubungan semacam ini. “Awalnya aku merasa terpaksa, tapi aku pikir dia bisa memenuhi kebutuhan finansialku. Aku tahu itu salah, tapi lingkungan sekitarku menuntut aku untuk hidup dengan standar yang lebih tinggi,” katanya. Pernyataan ini memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh faktor eksternal dalam membentuk keputusan seseorang untuk berpura-pura mencintai.
Dampak Psikologis bagi Kedua Pihak
Tidak dapat dipungkiri bahwa berpura-pura mencintai dapat membawa dampak serius, terutama dari sisi psikologis. Bagi wanita yang melakukannya, rasa bersalah dan ketidakpuasan emosional sering kali muncul. “Awalnya memang aku merasa terbantu dengan apa yang dia berikan, tapi lama-kelamaan aku merasa hampa, karena aku tidak bisa memberikan cinta yang tulus,” ujar Melati lebih lanjut.
Di sisi lain, korban dari manipulasi cinta ini, biasanya pasangan pria, juga sering mengalami efek psikologis yang cukup mendalam. Ketika kebenaran terungkap, rasa sakit hati, kebingungan, dan rasa percaya yang hilang menjadi dampak yang paling umum. Psikolog dari Universitas Indonesia, Dr. Nining Puspitasari, menjelaskan bahwa pria yang menjadi korban sering kali merasa dirinya tidak layak dicintai. “Mereka akan kehilangan kepercayaan terhadap orang lain dan sering mengalami trauma dalam menjalin hubungan berikutnya,” ungkapnya.
Peran Media Sosial dalam Meningkatkan Fenomena Ini
Peran media sosial juga tidak bisa diabaikan dalam fenomena ini. Platform seperti Instagram, TikTok, atau Facebook kerap kali menjadi ajang pamer kemesraan yang sebenarnya tidak mencerminkan realita hubungan yang sesungguhnya. Banyak wanita yang mengaku menggunakan media sosial untuk mempertahankan citra hubungan mereka agar terlihat sempurna di mata publik, meskipun di balik layar, hubungan tersebut dilandasi oleh kepalsuan.
Seorang psikolog lain, Dr. Rika Setiawati, menyebut fenomena ini sebagai “social media facade” atau topeng media sosial. “Wanita merasa perlu berpura-pura mencintai pasangannya demi menjaga reputasi di dunia maya, bahkan jika di dunia nyata mereka sudah tidak merasakan hal yang sama,” ujarnya.
Wanita yang berpura-pura mencintai pasangannya bukanlah fenomena baru, namun dampak yang ditimbulkannya sangat nyata baik bagi pihak yang berpura-pura maupun bagi pasangan yang menjadi korban. Meskipun setiap kasus memiliki kompleksitas yang berbeda-beda, penting bagi masyarakat untuk lebih memahami dampak psikologis dan sosial dari tindakan manipulasi semacam ini. Keterbukaan dalam komunikasi dan mencari bantuan profesional bisa menjadi solusi untuk keluar dari hubungan yang tidak sehat, dan pada akhirnya, menjaga kesejahteraan emosional kedua belah pihak.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa cinta sejati tidak seharusnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi. Perlu adanya kesadaran bahwa hubungan yang dilandasi oleh kepalsuan, pada akhirnya, hanya akan membawa kehancuran bagi kedua belah pihak.