Sanksi Bagi TNI-Polri Pengguna Narkotika.

Sanksi Bagi TNI-Polri Pengguna Narkotika.
MATRANEWS.id —  Kolom Aktivis Anti Narkoba/Pengamat Gaya Hidup

 

“Siapa saja, dimana saja, kapan saja di seluruh dunia, kalau tertangkap melakukan pelanggaran hukum memiliki, menguasai narkotika dengan jumlah terbatas dan digunakan untuk diri sendiri termasuk anggota TNI dan Polri wajib dijatuhi sanksi alternatif berupa sanksi rehabilitasi.

Dengan sistem peradilan pidana di Indonesia, kewenangan menjatuhkan sanksi rehabilitasi secara khusus diberikan kepada hakim. Ini dengan dasar (pasal 103/1) bersifat wajib (127/2), baik hakim peradilan umum maupun hakim militer bila masuk yuridiksi peradilan militer.

Jenis sanksi rehabilitasi tercantum dalam pasal 103/2 UU narkotika. Bahwa, masa menjalani rehabilitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman.

Inilah, cantolan bahwa rehabilitasi sebagai jenis hukuman bagi penyalah guna narkotika.

Sanksi rehabilitasi, merupakan sanksi yang relatif baru bagi anggota TNI – Polri yang menyalahgunakan narkotika untuk diri sendiri yang notabene adalah orang sakit adiksi ketergantungan narkotika dan gangguan kejiwaan.

Tempat menjalani rehabilitasi bagi anggota TNI-Polri yang dijatuhi sanksi rehabilitasi adalah, Lembaga rehabilitasi atau rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.

Sayang, sampai sekarang tidak dilaksanakan.

Apa lagi secara teknis juga, tidak ada pengaturan detailnya tentang administrasi yang mengatur penempatan ke dalam lembaga rehabilitasi baik selama penyidikan,  penuntutan, pengadilan dan penjatuhan sanksi rehabilitasinya.

Sehingga penyidik, penuntut umum dan hakim, baik peradilan umum maupun peradilàn militer tidak menjalankan amanat UU narkotika.

Baca juga :  Negara Menjamin Penyalah Guna Narkotika Tidak Dihukum Penjara

Padahal, politik hukum negara yang tercantun dalam tujuan UU narkotika bahwa negara menjamin penyalah guna direhabilitasi.

Oleh karena itu, upaya paksa penahanan dan penjatuhan sanksi penjara digantikan dengan penempatan dalam lembaga rehabilitasi dan diberikan sanksi rehabilitasi.

Selain sanksi pidana rehabilitasi sebagai hukuman pokok bagi anggota TNI-Polri, mereka juga dapat dikenakan sanksi tambahan. Sanksi berupa hukuman disiplin dari atasan yang berhak menghukum berupa pemecatan dari dinas TNI dan Polri.

UU narkotika memberikan unsur pemaaf kepada anggota TNI-Polri dan masarakat yang menjadi penyalah guna narkotika.

Dengan catatan, melaksanakan wajib lapor ke IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) yaitu tempat rehabilitasi atau rumah sakit yang ditunjuk Menkes untuk mendapatkan kesembuhan (pasal 55)..

Anggota TNI -Polri dan masarakat yang memenuhi kewajiban wajib lapornya ke IPWL maka status hukumnya berubah menjadi tidak dituntut pidana (pasal 128)

Artinya, anggota TNI – Polri dan masarakat yang statusnya “tidak dituntut pidana” bila kambuh mengkonsumsi lagi dan ditangkap oleh yang berwajib, langsung dimasukkan ke lembaga rehabilitasi, tidak lagi dituntut ke pengadilan.

Karena anggota TNI – Polri terikat peraturan disiplin. Maka, di samping secara pidana dijatuhi sanksi rehabilitasi, “Ankum”-nya dapat menjatuhkan hukuman disiplin berupa pemecatan, penundaan kenaikan pangkat maupun kenaikan gaji berkalanya.

Akan menjadi kontra produktif kalau anggota TNI – Polri yang menyalahgunakan narkotika untuk diri sendiri diberi sanksi penjara.

Baca juga :  Anak Perusahaan

UU saja memberikan unsur pemaaf, agar penyalah guna menjalani rehabilitasi, kenapa hakim nekat menjatuhkan sanksi penjara. Padahal ada pilihan bagi hakim penjatuhkan sanksi penjara atau sanksi rehabilitasi.

Sanksi penjara tidak membuat penyalah guna kapok atau jera tetapi justru sebaliknya akan menjadi residivis.

Sekali lagi, ingat bahwa penyalah guna narkotika adalah orang sakit kecanduan dan mendapatkan gangguan mental kejiwaan.

Di kalangan masyarakat non TNI  olri yang terkenal sebagai residivis penyalah guna narkotika adalah Jeniver Dunn, Rizky dan Darma Jogya, mereka melakukan kejahatan berulang / residivisme hingga 3 kali dijatuhi sanksi penjara.

Ada lagi nama beken seperti Roy Marten, Polo dan Tio Pakusadewo yang juga mengalami menjadi penyalah guna berulang.

Mereka kalau tidak mendapatkan upaya rehabilitasi, tinggal menunggu kapan mereka tertangkep ke 3, ke 4 kali dan selanjutnya.

Secara empiris, bila penyalah guna dipenjara akibat logisnya adalah terjadi penyalahgunaan narkotika didalam penjara dan peredaran gelap narkotika yang “ditolerir” oleh aparat lapas.

Ini terjadi di Lapas non TNI – Polri, yang tidak menutup kemungkinan terjadi di lapas TNI – Polri.

Apabila penjagaan diketati oleh petugas, dipastikan aparat dihadapkan pada masalah sakau secara bersama sama di dalam penjara karena putus obat / narkotika.

Sakau bareng itu, justru beresiko tinggi bagi aparat lapas, dapat menyebabkan terjadinya pembakaran dan pembunuhan serta kerusuhan dalam lapas yang disebabkan karena kebringasan penyalah guna saat putus narkotika atau sakau.

Baca juga :  Rumah Satu-Satunya Wartawan Senior Satrio Yang Hendak Disita BTN, Terselamatkan

Itu sebabnya, secara rasional petugas lapas “melonggarkan” pengawasannya. Mereka takut terjadi “sakau” bareng selama dilapas dan akhirnya “membiarkan” penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di dalam lapas.

Dengan sistem peradilan pidana, hakim pengadilan umum maupun militer, menjatuhkan sanksi penjara terhadap perkara penyalahgunaan narkotika, seakan akan benar.

Padahal menahan tersangka  dan memenjarakan penyalah guna narkotika  bertentangan dengan UU narkotika dan akal sehat.

Apalagi politik hukum negara jelas tercantum tujuan dibuatnya UU narkotika menyatakan bahwa yang diberantas adalah pengedar, sedangkan penyalah guna dijamin mendapatkan rehabilitasi.

Kalau baru pertama kali menyalahgunakan narkotika UU nenyatakan sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Kalau sudah sering menyalahgunakan disebut pecandu.

Secara yuridis penyalah guna yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika dan pecandu wajib menjalani rehabilitasi (pasal 54).

Oleh karena itu perlu perubahan implementasi dalam menangani perkara penyalahgunaan narkotika, tidak lagi melakukan penahanan dan pemenjaraan.

Penahanan dan pemenjaraan disamping bertentangan dengan UU narkotika, juga menjadi beban orang tua, beban masarakat serta beban bangsa dan negara.

Penegakan hukum dengan pemenjaraan hanya menghasilkan kerugian dan menghasilkan generasi mabuk narkotika serta  menyebabkan lost generation.

Ini berlawanan arah dengan tujuan pemerintah yang sedang membangun suber daya manusia sehat, cerdas, jujur dan profesional.”

 

Tinggalkan Balasan