MATRANEWS.id — “Dunia membenci orang yang jujur; tetapi dunia tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa dunia tetap membutuhkan orang yang jujur.”
Demikian pernyataan itu diucapkan oleh salah seorang teman saya saat kami berada di dalam sebuah pertemuan. Saat itu, dia menjadi salah seorang pembicara acara tersebut.
Saat dia mengucapkan kalimat tersebut, saya menyadari satu hal yang penting yang seringkali kita lupakan di dalam kehidupan, yaitu kejujuran dan integritas.
Integritas menjadi sebuah kata yang sering didengungkan di era reformasi saat ini. Akan tetapi tidak banyak orang yang menyadari makna sesungguhnya dari integritas tersebut.
Terlihat dari masih rendahnya nilai kejujuran dan keterbukaan dalam setiap tindakan kebanyakan orang.
Padahal, saat kita teliti lebih lanjut, integritas dan kejujuran merupakan kunci penting yang harus dimiliki oleh setiap orang yang ingin menjadi pemimpin.
Bahkan, di saat sudah menjadi pemimpin baik di dalam sebuah organisasi ataupun institusi tertentu.
Jika kita lihat lebih dalam tentang makna “integritas”, secara mudah dapat kita definisikan dalam frase berikut: “Saya adalah teladan dari apa yang saya sampaikan.”
Dengan definisi tersebut, maka seorang guru yang mengajarkan moral juga akan menjadikan dirinya teladan secara moral kepada murid-muridnya, seorang pemimpin yang membuat sebuah ketetapan atau peraturan juga menjadikan dirinya teladan secara ketetapan atau peraturan yang berlaku, seorang pelaku bisnis yang mengajarkan keuletan dalam berbisnis juga akan menjadikan dirinya teladan dalam keuletan, dan seterusnya.
Perjalanan untuk memupuk nilai integritas dalam kehidupan kita bukanlah perjalanan yang mudah. Kita akan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tampak menggiurkan, tetapi yang justru membawa kita kehilangan integritas.
Mungkin puisi karya Robert Frost bertajuk “The Road Not Taken” akan menggambarkan keadaan ini, di mana kita seringkali mendapati diri kita berada di persimpangan jalan.
Tetapi saat kita ingin memilih jalan yang tepat, seringkali jalan tersebut adalah jalan yang justru jarang dilewati oleh orang (the path less traveled).
Dan justru di situlah integritas kita akan tampil. Contohnya, di saat ada godaan untuk melakukan hal-hal yang di luar kepentingan pekerjaan pada saat kita masih di jam kerja, orang yang berintegritas tinggi akan memilih untuk tidak membukanya.
Untuk menjadi seorang yang berintegritas, kita harus memiliki tiga jenis kejujuran dalam kehidupan kita.
- Jujur terhadap diri sendiri.
- Jujur terhadap orang di sekeliling kita.
- Jujur terhadap Tuhan.
Jujur Terhadap Diri Sendiri
Seringkali banyak orang yang berusaha untuk memikirkan sebuah idealisme pribadinya dan mengira, entah sadar atau tidak, dirinya adalah figur teladan yang baik untuk idealisme.
Tetapi tanpa disadari, justru mereka sendiri yang seharusnya belajar untuk menjalankan idealisme tersebut.
Tanpa disadari, mereka juga akan mengenakan “topeng-topeng” idealisme mereka.
Mereka merasa bahwa dirinya penuh kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, tetapi sebenarnya kelebihan itu hanya ada di dalam pikiran mereka, tanpa sebenarnya mereka miliki. Atau, setidaknya belum muncul dalam realita kehidupan mereka.
Untuk melepaskan “topeng-topeng” tersebut, kita harus belajar untuk menjadi terbuka pada diri kita sendiri. Kita perlu melakukan analisa diri kita dengan lebih dalam, sehingga kita menyadari apa saja yang menjadi kelebihan maupun kekurangan kita.
Ibarat seorang ahli pemasaran yang berusaha melakukan analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats) untuk memasarkan produknya, kita pun perlu melakukan analisa SWOT untuk “produk” yang kita pasarkan, yaitu diri kita sendiri.
Analisa ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui umpan balik yang diberikan orang lain kepada kita, atau melalui alat-alat tes psikologis ataupun perilaku.
Jujur Terhadap Orang di Sekeliling Kita
Siapapun dari kita pasti menginginkan adanya keterbukaan di dalam sebuah interaksi antarpribadi. Tetapi anehnya, seringkali kita menginginkan orang lain untuk terbuka kepada kita, sementara kita sendiri tidak ingin terlalu terbuka pada orang lain.
Ketidakseimbangan dalam keterbukaan ini dapat menjadi pemicu konflik. Seorang suami yang menginginkan keterbukaan dari istrinya, sementara dirinya sendiri tidak terbuka pada istrinya, dapat mengakibatkan terganggunya interaksi di dalam sesama anggota keluarga.
Untuk menjadi orang yang jujur terhadap orang di sekeliling kita, jadilah orang yang apa adanya. Sehingga apapun yang kita katakan kepada orang lain, mereka pun tahu bahwa kita sudah melakukan hal tersebut sebelum kita mengatakannya.
Dengan demikian, kita akan menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap setiap perkataan kita. Sebagai contoh, jangan pernah membuat janji apabila kita tidak yakin bahwa kita dapat menepati janji itu kecuali untuk alasan force majeure.
Jujur Terhadap Tuhan
Sebagai umat yang beragama, tentunya kita memiliki cara masing-masing untuk berdoa/berkomunikasi dengan Tuhan. Tetapi apakah di dalam doa kita tersebut kita menyatakan kejujuran kita akan keterbatasan kita di hadapan Tuhan?
Tuhan memang Maha Kuasa dan Maha Tahu, tetapi bagaimana kita akan mengetahui Kemahakuasaan Tuhan tersebut apabila kita tidak menjadi jujur terhadap keterbatasan kita tersebut di hadapan Tuhan?
Menjadi orang yang berintegritas tinggi membutuhkan usaha yang tidak mudah. Atau, bahkan mungkin kita akan menghadapi cemoohan atau sindiran yang kurang menyenangkan dari orang-orang yang tidak menyukai sikap kejujuran kita.
Tetapi pada akhirnya, justru orang-orang yang menjunjung tinggi integritas tersebut yang akan menunjukkan loyalitas yang sejati baik di dalam sebuah organisasi atau perusahaan.
Sebab, orang yang berintegritas tinggi justru akan memikirkan kepentingan organisasi atau perusahaannya serta pertanggungjawaban pribadinya terhadap tanggung jawab yang sudah diberikan.
Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat bahkan menyatakan pentingnya sebuah integritas melalui kalimat berikut: “Saya yakin bahwa saat melihat nilai setiap orang baik secara pribadi ataupun publik, integritas yang murni adalah hal pertama yang harus kita perhitungkan, sementara pembelajaran dan bakat hanyalah hal kedua.”
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kesiapan akan nilai sebuah integritas dalam kepemimpinan, sehingga saat kita diberikan sebuah tanggung jawab yang lebih besar pun, integritas kita juga tidak akan jatuh karena godaan-godaan yang mungkin muncul semakin banyak seiring dengan kepercayaan yang semakin besar.
Bila kita sudah membangun kebiasaan untuk menjaga dan menghargai nilai integritas kita sedini mungkin, niscaya di kemudian hari kita akan menjadi pemimpin yang dapat diteladani dan bertanggung jawab dalam setiap tindakan kita. (*)