Hukum  

Dr Anang Iskandar SH MH: SEMA no 3 tahun 2015 Adalah Kecelakaan Legislasi Mahkamah Agung

Dr Anang Iskandar SH MH: SEMA no 3 tahun 2015 Adalah Kecelakaan Legislasi Mahkamah Agung
Anang Iskandar mantan KA BNN/Bareskrim Polri

MATRANEWS.id UU Narkotika dan Penegakan Hukum: Tantangan dan Solusi untuk Penyalahguna Narkotika di Indonesia

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah regulasi yang mengatur peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia.

Meskipun memiliki tujuan untuk memerangi penyalahgunaan narkotika, penerapan hukum ini dalam praktik penegakan hukum masih menghadapi sejumlah tantangan besar, terutama terkait dengan pemahaman mengenai posisi penyalahguna narkotika dalam kerangka hukum pidana.

Sebagian besar tantangan ini berakar pada ketidakjelasan dalam pendidikan hukum mengenai narkotika dan kesulitan dalam menerapkan solusi rehabilitatif yang disediakan oleh undang-undang.

Kesenjangan dalam Pendidikan Hukum Narkotika

Salah satu isu utama yang sering dihadapi oleh penegak hukum di Indonesia adalah kurangnya pengetahuan yang mendalam tentang narkotika dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia.

Meskipun undang-undang narkotika merupakan regulasi yang sangat spesifik, mata kuliah terkait dengan hukum narkotika seringkali tidak diajarkan secara mendalam di fakultas hukum atau sekolah hukum.

Hal ini berimplikasi pada ketidakmampuan para penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun hakim, dalam memahami konteks dan konstruksi yang benar dari UU Narkotika, terutama terkait dengan penyalahgunaan narkotika.

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, penyalahgunaan narkotika dikenai sanksi pidana, namun, dalam konteks tertentu, hukuman yang dijatuhkan seharusnya tidak bersifat represif, melainkan rehabilitatif.

Hal ini tercermin dalam pasal 54 yang mengatur bahwa penyalahguna narkotika yang telah menjalani asesmen dapat dipandang sebagai korban atau pecandu, dan bukan sebagai pelaku kriminal yang perlu dijatuhi hukuman pidana.

Baca juga :  Kesaksian Sultan Tentang Jaksa Agung RI, Profesor ST Burhanuddin

Konstruksi hukum seperti ini membingungkan penegak hukum yang tidak mendapatkan pendidikan khusus terkait narkotika dan rehabilitasi pecandu.

Kebingungan dalam Penegakan Hukum

Salah satu contoh kebingungannya adalah ketika seorang terdakwa didakwa berdasarkan Pasal 111 atau 112 UU No. 35 Tahun 2009, namun selama persidangan terungkap bahwa yang bersangkutan seharusnya didakwa berdasarkan Pasal 127, yang mengatur tentang penyalahgunaan narkotika oleh pemakai dengan jumlah yang relatif kecil.

Dalam hal ini, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 2015 memberikan petunjuk kepada hakim untuk dapat mengesampingkan ketentuan pidana minimum yang berlaku jika terbukti bahwa terdakwa adalah pengguna dengan jumlah narkotika yang kecil dan bukan pengedar.

Namun, menurut Dr. Anang Iskandar, mantan Kepala BNN, SEMA No. 3 Tahun 2015 ini adalah bentuk “kecelakaan legislasi”.

Pasalnya, langkah ini bertentangan dengan tujuan dibuatnya UU Narkotika, khususnya yang tertuang dalam Pasal 4d yang menekankan pentingnya rehabilitasi bagi pecandu narkotika.

Anang berpendapat bahwa adanya ketidaksesuaian antara petunjuk Mahkamah Agung dengan semangat UU No. 35/2009 justru memperburuk situasi, dengan lebih mengedepankan pendekatan pidana ketimbang pendekatan rehabilitatif yang seharusnya lebih dominan.

Usulan Peraturan Pemerintah Tentang Penegakan Hukum Khusus Narkotika

Menghadapi ketidakselarasan antara regulasi yang ada dan praktik penegakan hukum, Anang Iskandar mengusulkan agar dibuatnya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tata cara penegakan hukum khusus untuk narkotika.

Baca juga :  Indonesia Kini Memiliki 37 Provinsi Setelah 3 Provinsi Baru Diresmikan Mendagri

Dalam usulan ini, Anang menekankan bahwa terhadap pengguna atau penyalahguna narkotika, penegakan hukum tidak seharusnya dilakukan secara represif (melalui hukuman penjara), tetapi dengan cara rehabilitatif melalui sistem wajib lapor bagi pecandu.

Sebaliknya, terhadap pengedar narkotika, tindakan represif berupa penegakan hukum dengan hukuman penjara dan perampasan aset hasil kejahatan perlu dilakukan.

Namun, pembuktian terbalik perlu diberlakukan di pengadilan, di mana hasil dari perampasan aset digunakan untuk membiayai kegiatan pencegahan, rehabilitasi, dan penegakan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 99 hingga Pasal 102 UU No. 35/2009.

Menurut Anang, pengaturan khusus ini sangat penting dan mendesak untuk mengatasi dualisme penegakan hukum yang sering terjadi, di mana satu sisi terdapat kebijakan untuk memenjarakan pecandu, sementara di sisi lain, undang-undang mengarahkan rehabilitasi sebagai solusi utama.

Penerapan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam praktik penegakan hukum di Indonesia memang menghadapi sejumlah tantangan, terutama terkait dengan pemahaman yang kurang mendalam mengenai aspek rehabilitatif dalam menangani penyalahguna narkotika.

Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk menciptakan peraturan yang lebih jelas mengenai tata cara penegakan hukum khusus narkotika, yang memisahkan antara penanganan pengguna dan pengedar narkotika.

Dengan adanya regulasi yang lebih terstruktur, diharapkan penyalahguna narkotika tidak lagi dipandang sebagai pelaku kejahatan semata, melainkan sebagai korban yang memerlukan pemulihan.

Baca juga :  Kekeliruan Fatal Menghilangkan “Penanggung Jawab" Dalam Revisi Standar Kompetensi Wartawan (SKW)*

#Dr Anang tentang, SIK, SH, MH Ahli Hukum Narkotika: https://www.hariankami.com/hukum-kami/23613958287/sema-no-3-tahun-2015-adalah-kecelakaan-legislasi-mahkamah-agung

BACA JUGA: majalah EKSEKUTIF edisi NOVEMBER 2024, Klik ini

Tinggalkan Balasan