Hukum  

Asosiasi Media Digital Indonesia Kembali Ingatkan Dewan Pers

Asosiasi Media Digital Indonesia Kembali Ingatkan Dewan Pers

S.S Budi Rahardjo menegaskan, kewajiban penerbit pers atau perusahaan pers mendaftarkan diri ke Dewan Pers bertentangan dengan UU Pers.

“Karena bakal menjadi ijin terselubung dari otoritas di bidang pers,” ujar CEO majalah eksekutif yang terbit sejak 1979 ini menjelaskan.

Untuk media digital yang sekarang ini demikian banyak, sudah bagus mekanisme Dewan Pers untuk membuat mekanisme pelaporan lewat digital.

Hanya saja, ada masukan dari beberapa rekan-rekan di Asosiasi Media Digital, bahwa syarat notaris.

Selama ini, aturan Dewan Pers menetapkan, hanya satu perusahaan untuk satu PT. Sementara itu, realitasnya, beberapa media cetak dan online sesungguhnya tergabung dalam satu unit usaha yang sama.

Ini, yang sesungguhnya Dewan Pers memahami situasi. Juga membedakan bahwa yang sudah tercatat di Dewan Pers adalah media digital yang kompeten dan penerbit pers yang memahami Undang-undang pokok pers.

“Karena realitasnya yang bermasalah juga dari media yang sudah terverifikasi,” masih dalam pernyataan pria yang juga Pemred majalah MATRA ini.

Pria yang akrab dipanggil Jojo ini menyebut, sesuai UU Pers tak ada atau bukan kewajiban penerbit atau perusahaan pers untuk mendaftarkan diri ke Dewan Pers. Sebaliknya, sesuai dengan Pasal 15 UU Pers, justru kewajiban aktif Dewan Pers untuk melakukan pendataan.

“Ini yang kami edukasi,” jelas Ketua Asosiasi Media Digital ini memaparkan.

Baca juga :  Hakim Lokomotif Pembaruan Lembaga Peradilan

Yang juga harus diperhatikan bagaimana sebenarnya, hukum pers juga menjaga perusahaan digital membangun nilai (value) dari perusahaannya.

Sebagai organisasi media digital di zaman now, kliping dan catatan sejarah UU Pers dan Peraturan Dewan Pers atau PerDP, dimuat dalam sebuah dokumen sebaiknya melindungi para pemilik media digital untuk menjalankan media digital dikaitkan valuasi perusahaan digital Indonesia.

Usul Asosiasi Media Digital Indonesia, Dewan Pers atau Pemerintah mengayomi para pemilik media digital dari media mainstream dan juga startup bukan saja pada kode etik jurnalistik namun evolusi media tradisional ke digital.

Perkembangan media komunikasi terutama yang berbasis digital yang begitu masif menjadi tantangan organiasi Asosiasi Media Digital Indonesia mengedukasi persyaratan “standar perusahaan pers” dikaitkan jaminan akan profitabilitas perusahaan di masa datang.

Sesuai peraturan Dewan Pers, antara lain harus berbadan hukum untuk usaha pers, ada penanggung jawab harus dicantumkan jelas. Serta wajib memberikan upah layak kepada wartawannya. “Itu yang kami lakukan,” pria pemilik Jojomedia Corporation ini.

Asosiasi Media Digital Indonesia siap membantu Dewan Pers jika butuh database atau butuh jaringan networking untuk literasi.

Sebaliknya, jangan juga Dewan Pers menjadi palu hakim kepada pebisnis media digital.

Maksudnya, “Kalau belum terdaftar tapi sudah memenuhi standar perusahaan pers, bukan salah penerbit tapi kelalaian Dewan Pers,” ujarnya mengenai Tupoksi Dewan Pers yang perlu dilakukan dengan ke-kinian, mengenai perusahaan pers yang sudah memenuhi standar perusahaan pers.

Baca juga :  Jimly Asshiddiqie: "Peran Auditor Hukum Dalam Mengawal Proses Hukum."

“Untuk media yang sedang merintis, khusus untuk media digital organisasi kami melakukan pembinaan,” ujar pria yang juga Ketua Forum Pimpinan Media Digital Indonesia.

Asosiasi Media Digital Indonesia dan Forum Pimpinan Media Digital Indonesia sudah berkolaborasi mendata, mengevaluasi dan membenahi syarat-syarat administrasi, media digital termasuk yang kecil-kecil yang tengah dirintis, tetapi mau bekerja profesional. Karena fenomena inilah yang sedang terjadi.

Masih banyak media digital, yang pemiliknya mantan jurnalis atau belum punya investor tapi bekerja dengan kode etik jurnalistik berupaya berkembang. “Mereka juga perlu mendapat perlindungan Dewan Pers dan dibina,” jelas Budi Jojo.

Tinggalkan Balasan