Aspek Hukum Polemik Kasus Basarnas Catatan Prof. Romli Atmasasmita

Polemik Kasus Basarnas Merebak Pasca OTT KPK Anggota Militer

MATRANEWS.id — ASPEK HUKUM POLEMIK KASUS BASARNAS
Oleh: Prof. ROMLI ATMASASMITA

Polemik kasus Basarnas merebak pasca OTT KPK terhadap pengadaan barang/jasa Basarnas yang melibatkan dua orang pelaku usaha dan anggota militer.

KPK Menyatakan Kekeliruan, Kekhilafan dan Minta Maaf ke TNI

Hal ini diberitakan luas di medsos setelah terjadi protes dari Mabes TNI terhadap proses penetapan tersangka anggota militer dan ditindaklanjuti bersama KPK dan petinggi militer.

Yang diakhiri dengan ucapan permintaan maaf KPK kepada Mabes TNI atas kesalahan/kekeliruan/kelupaan penyelidik/penyidik KPK atas penetapan status tersangka anggota militer dan penahanan terhadapnya.

Intinya, protes petinggi militer adalah masalah kewenangan pemeriksaan anggota militer yang melakukan tindak pidana korupsi/suap oleh penyelidik /penyidik KPK.

Yang dipandang melanggar ketentuan mengenai koneksitas yang telah diatur dalam Pasal 89 s/d Pasal 94 KUHAP dan UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Akan tetapi dalam kasus ini tidak dapat diabaikan berlakunya UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor)dan UU Nomor 28 tahun 1999 (KKN).

Dari aspek historis dan maksud dan tujuan pembentukan UU Tipikor(teleleogi), UU Tipikor bertujuan menciptakan pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa Bebas KKN

Ya, diperkuat UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN.

Di dalam dua UU Nomor 28 tahun 1999 dan UU Nomor 31 tahun 1999 status anggota militer dan status sipil dalam kedudukan yang setara tidak dapat dibedakan lagi jika melakukan tindak pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi secara sosiologis merupakan kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crimes) yang merugikan negara dan melanggar hak asasi masyarakat untuk memperoleh keadilan, sehingga pemberantasannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa antara lain pembentukan KPK dengan UU Nomor 30 tahun 2002 yang diubah UU Nomor 19 tahun 2019.

Keluarbiasaan lain dari KPK menurut UU KPK antara lain melakukan penyadapan (interception) tanpa izin ketua pengadilan dan bebas dari campur tangan kekuasaan baik legislative, eksekutif dan yudikatif.

KPK Tak Keluarkan Sprindik Kabasarnas

Berdasarkan uraian aspek hukum di atas maka polemik OTT KPK dalam perkara Basarnas terkait 4((empat) UU, yaitu UU Tipikor, UU TNI, UU Peradilan Militer dan UU KKN; keempatnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Subjek hukum KPK tidak terbatas pada pegawai negeri dalam kedudukan eselon terrendah melainkan juga pejabat tinggi setingkat Menteri bahkan seorang President tidak ada perbedaan perlakuan hukum (equality before the law) kecuali peraturan protokoler yang merupakan etika Lembaga kenegaraan saja.

Dari aspek pemberlakuan suatu UU dikenal asas lex posteriori derogate lege priori; undang-undang terdahulu (UU tahun 1997) dikesampingkan UU yang berlaku kemudian (UU 2004).

Bertolak dari asas hukum universal dalam sistem perundangan -undangan Indonesia tersebut dapat disimpulkan bahwa jika pemberlakuan UU Peradilan Militer bertentangan dengan UU TNI.

Maka, UU Peradilan Militer tidak berlaku; begitu juga merujuk ketentuan Pasal 65 UU tahun 1997, UU Peradilan Militer tidak berlaku absolut bagi seorang anggota militer yang melakukan kejahatan terutama tindak pidana korupsi; hanya berlaku absolut terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana (KUHP MIliter.

Kewenangan peradilan militer berdasarkan UU Peradilam Militer (1997) tidak bersifat rigid (kaku) dan masih terdapat pilihan (opsi) kewenangan nya dalam hal memeriksa anggota miiter yang melakukan tindak pidana umum sehingga dapat diadili di peradilan umum.

UUPeradilan Militer (1997) sejatinya hanya berlaku untuk anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

Hal ini diperkuat secara tegas dalam UU TNI (2004) bahwa (1) Prajurit Siswa tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku bagi prajurit.

(2) Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.

(3) Apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang.

Pertanyaan muncul dari ketentuan tersebut bagaimana hal jika anggota militer melakukan tindak pidana korupsi?

Tidak secara eksplsit bahwa UU Peradilan Militer berlaku juga bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana korupsi (delik khusus) melainkan hanya untuk tindak pidana militer dan tindak pidana umum (delik umum).

Berdasarkan uraian di atas semakin memastikan bahwa polemik OTT KPK atas Basarnas khusus terhadap anggota militer dan anggota militer lain yang turut terlibat ( kepala basarnas) tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak tidak mengedepankan ego sectoral masing-masing.

Akan tetapi melihat kasus tipikor sebagai masalah Bersama antar Lembaga negara untuk kepentingan Indonesia baik di dalam negeri maupun imejnya terhadap pandangan masyarakat internasional.

Koordinasi dan Sinkronisasi antara Mabes TNI dan KPK-Dalam Perpres

Ke depan perlu dipertimbangkan serius koordinasi dan sinkronisasi antara Mabes TNI dan KPK-dalam bentuk sebuah Perpres yang lebih lengkap dan rinci hukum acara peradilan militer.

Ini disertai perubahan hukum acara UU Tipikor mengatur khusus anggota militer yang melakukan tindak pidana korupsi dan yang melakukan secara Bersama-sama dengan anggota masyarakat.

Namun yang harus dijaga adalah tidak lagi ada kesan masyarkat terdapat diskriminasi perlakuan hukum antara pelaku tipikor anggota militer dan anggota masyarakat sipil lain sehingga antara kedua pihak memiliki kedudukan hukum yang lebih ajeg, jelas dan tidak multi-tafsir.

 

BACA JUGA: Majalah MATRA edisi Juli 2023, klik ini

Tinggalkan Balasan