Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi memberikan analisa mengapa sampai saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum juga menyerahkan nama calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) kepada DPR.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan memasuki pensiun pada November 2021.
Karena itu harus ada pengganti untuk meneruskan jabatan Panglima, jika mengikuti urut kacang maka pengganti Hadi Tjahjanto adalah dari Angkatan Laut.
“Hingga kini Presiden Jokowi belum juga menyerahkan nama pengganti Panglima TNI ke DPR. Apa pertimbangan beliau hingga kini belum memberikan nama ke DPR?” tanya Khairul Fahmi di Jakarta.
“Apakah karena ketiga kepala staf yang ada sekarang tidak ada yang menjabat hingga 2024 sehingga ada kepentingan politik dalam pemilihan nama calon Panglima TNI?,” demikian tanya Fahmi.
Fahmi menganalisa ada beberapa pertimbangan yang sepertinya Jokowi tidak juga menyerahkan nama Jenderal aktif sebagai pengganti Hadi Tjahjanto.
Pertama, masa aktif Panglima TNI Hadi Tjahjanto masih cukup lama yakni sampai November 2021. Oleh karena itu tidak ada urgensi dan keharusan bagi Presiden untuk mengusulkan penggantian Panglima TNI dalam waktu dekat.
“Pengusulan Panglima TNI merupakan hak dan kewenangan Presiden, maka sepanjang tidak ada kebutuhan mendesak atau persoalan yang mengharuskan penggantian segera, Hanya Presiden yang berhak menentukan waktu terbaik untuk mengganti Panglima TNI dan mengusulkan calon penggantinya ke DPR,” paparnya.
Kedua, ujar Fahmi, ia tidak melihat masa aktif yang relatif singkat dari ketiga kepala staf (AU, AD dan AL) yang ada saat ini sebagai alasan yang relevan.
Mereka ini ditunjuk dan diangkat oleh Presiden sendiri. Ada dua kepala staf yang relatif baru, dan satu yang justru sudah relatif lama. Namun hal ini pada dasarnya menunjukkan kelemahan Presiden dalam kalkulasi proyeksi kepemimpinan TNI.
“Dan bisa jadi juga (tidak usulkan nama pengganti Panglima TNI) mengindikasikan kuatnya pertimbangan politis sehingga membawa implikasi problem regenerasi kepemimpinan TNI,” jelasnya.
Namun bagaimanapun, sambung Fahmi, sesuai ketentuan Undang-undang, Presiden tetap saja harus memilih salah satu dari ketiganya (AU, AD dan AL).
Kecuali dalam waktu dekat ada penggantian dijajaran kepala staf sehingga memungkinkan munculnya kandidat baru di luar tiga nama yang ada saat ini.
Ketiga, lanjut Fahmi, kepentingan politik dalam penentuan calon Panglima TNI adalah sebuah keniscayaan. Sehingga adanya nuansa politik dipastikan tidak terhindarkan.
Bagaimanapun pergantian Panglima TNI merupakan sebuah proses politik, di mana Presiden mengusulkan dan kemudian DPR akan menilai sebelum memutuskan setuju atau tidak dengan pilihan Presiden.
“Yang tidak patut adalah jika para ‘bakal calon’ ini kemudian menggunakan instrumen atau kekuatan politik tertentu untuk memperkuat peluang untuk dipilih Presiden melalui komunikasi dan negosiasi politik,” tandasnya.
“Sulit membayangkan hal itu akan bisa terbebas dari komitmen-komitmen transaksional bahkan kontraktual,” tambahnya.
Fahmi menilai, jika hal ini yang terjadi dan proses politik berpihak pada pihak yang melakukan maka akan sulit bagi publik untuk memandang objektif kiprah kelembagaan TNI.
Selain itu sulit juga bagi TNI untuk secara fair berjarak dengan kekuatan politik yang ‘getol’ mendukung Panglima nya. Sulit juga membayangkan kekuatan-kekuatan politik pendukung itu tidak tertarik melibatkan TNI dalam ‘mengamankan’ kepentingannya.
“Jadi dari poin ini jelas, kepentingan politik itu niscaya tapi kan baru kali ini ada kontestasi calon Panglima yang para politisi begitu getol mengarahkan pada nama tertentu,” tegasnya.
Keempat, lanjut Fahmi, menjadikan tahun penyelenggaraan hajatan demokrasi (Pemilu) sebagai variabel yang seolah-olah sangat penting dalam penentuan calon Panglima TNI, seperti yang terjadi pada era Orde Baru.
Era di mana TNI memiliki peran dominan dan sangat penting dalam agenda sosial politik negara dan pengelolaan pemerintahan.
“Salah satu agenda reformasi adalah menjadikan TNI sebagai alat negara yang profesional dan mumpuni dalam menegakkan kedaulatan dan keamanan nasional dengan membatasi peran dan pelibatannya di luar agenda politik negara. Apalagi dalam urusan-urusan politik sektoral bahkan elektoral. Saat ini, netralitas TNI mestinya adalah harga mati,” tegasnya.
Saat ini ada dua nama Jenderal yang mencuat kuat dan digadang akan menggantikan posisinya sebagai Panglima TNI.
Kedua sosok yang namanya kerap santer dibicarakan adalah KSAL Laksamana Yudo Margono dan KSAD Jenderal Andika Perkasa namun siapa nantinya yang akan dipilih untuk menggantikan Panglima TNI Hadi Tjahjanto adalah hak prerogatif dari Presiden Jokowi. (*)