Berkeddip: Ketika Kebun di Belakang Kelas Menjadi Laboratorium Hidroponik yang Hidup

MATRANEWS.ID – Di antara deretan meja dan papan tulis, di sebuah sekolah di wilayah pinggiran kota cibubur kampung pondok ranggon, terdapat kebun kecil yang berdenyut dengan kehidupan.

Pagar sekolah mungkin tampak biasa—namun di baliknya, di lahan kosong yang dulu sepi dan tak terpakai, terbentang sistem hidroponik lengkap dengan sayuran hijau yang tumbuh dengan penuh semangat.

Inilah program Berkeddip (Berkebun Dapat Duit dan Ilmu Pengetahuan), yang digelar selama tiga bulan di SD Islam Alam & Sains Al Jannah.

Bukan sekadar proyek sekolah semata. Ini adalah ruang di mana anak-anak kelas 5 bukan cuma belajar tentang selada dan kangkung, tetapi juga tentang ketekunan, kebersamaan, dan tanggung jawab — segala hal yang sering kita pikir hanya terjadi di luar sekolah.

Benih yang Ditabur, Pembelajaran yang Berputar

Program ini lahir dari lahan belakang sekolah yang selama ini kosong dan terabaikan.

Para guru kemudian melihat potensi: “Mengapa tidak kita jadikan sebagai ruang belajar aktif?” dengan pendekatan hidroponik yang ramah lingkungan.

Anak-anak mulai memasang rak sederhana, menyiapkan media tanam, mengukur pH, memantau nutrisi, dan menanam sayuran seperti selada, kangkung, dan bayam.

Hidroponik sendiri bukan hal asing di dunia pendidikan Indonesia.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa program hidroponik dapat menumbuhkan sikap peduli lingkungan, rasa ingin tahu, dan kemampuan berpikir kritis siswa.

Semantic Scholar Sistem ini ideal untuk lahan terbatas—menghemat air, meminimalkan penggunaan pestisida, dan cocok untuk sekolah yang ingin “praktik langsung” di tengah kota. (axaxl.com)

Di sini, anak-anak tak hanya membaca buku tentang fotosintesis; mereka menyentuh, mengamati, dan mengukur.

Saat satu sela-daun menguning atau angka pH air naik, mereka berkumpul, berdiskusi, dan mencari solusi bersama.

Bocah-bocah itu tak hanya menjadi “pengamat”; mereka menjadi ilmuwan kecil yang bertumbuh.

“Kenapa pH-nya naik? Apa yang salah?”

Suatu hari, sekelompok siswa berdiri di depan tangki air, dengan cangkir kecil dan tes pH di tangan.

Mereka terdiam sejenak ketika angka pH menembus zona yang tak ideal. “Wah, kita harus turunkan,” ujar salah satu siswa.

Forum kecil pun dimulai: “Apakah kita terlalu banyak kasih nutrisi? Atau airnya kurang sirkulasi?”

Diskusi itu bukan sekadar basa-basi; itu adalah latihan berpikir kritis yang secara nyata mengasah logika. Dalam program berkebun ini, mereka tidak dibiarkan pasif.

Guru mengajak mereka aktif berpikir: permasalahan nyata = tugas nyata.

Bukti riset memperlihatkan bahwa pembelajaran hidroponik seperti ini mampu memperkuat karakter “nalar kritis” siswa. (ResearchGate)

Saat panen tiba, kegembiraan meledak. Anak-anak menyambut sayuran yang tumbuh dari tangan mereka sendiri—tidak sekadar melihat, tapi memetik, menghitung, bahkan menjualnya.

Wow. Dari penyemaian hingga penjualan, seluruh proses dijalani bersama. Disini, sains, alam, dan kewirausahaan berbaur dalam satu kegiatan.

Penjualan, Kas Kecil, dan Belajar Mengelola Uang

Ketika sayur-sayur “keluar” dari kebun, bukan hanya dipetik dan dibawa pulang, melainkan dijual ke warga sekolah.

Keuntungan dari penjualan itu tidak masuk kantong siapa-saja, melainkan dikelola bersama demi keberlanjutan program.

Anak-anak ikut menghitung keuntungan, menyepakati penggunaan uang bersama: “Untuk bibit baru”, “Untuk pupuk”, “Untuk perbaikan rak”.

Kegiatan ini bukan hanya menanam sayur; ini menanam tanggung jawab.

Mereka belajar konsep dasar ekonomi: modal, produksi, hasil, keuntungan — dalam bahasa sederhana yang bahkan anak kelas 5 bisa pahami.

Dan yang paling penting: mereka belajar bahwa kerja nyata memiliki hasil nyata.

Karakter Islam, Cinta Alam, Unggul dalam Sains

Sekolah ini memiliki visi yang jelas: “Terwujudnya Pemimpin Berkarakter Islam, Cinta Alam, dan Unggul dalam Sains.” Program Berkeddip ternyata menjadi wujud konkret dari visi itu.

  • Karakter Islam: Anak-anak diajak untuk bersyukur atas hasil panen, berbagi keuntungan dengan sesama, dan menjaga ciptaan Tuhan.
  • Cinta Alam: Dari bermula di lahan kosong hingga rak hidroponik yang hijau—mereka melihat, merasakan, dan merawat alam dengan penuh rasa memiliki.
  • Unggul dalam Sains: Tidak sekadar pelajaran teoritis; mereka menerapkan pengukuran nyata, variabel, dan eksperimen. Sains menjadi hidup, bukan hanya rincian buku.

Dalam penelitian di sekolah dasar Indonesia, ditemukan bahwa program hidroponik dapat menanamkan rasa tanggung jawab lingkungan yang tinggi — “sebagai tabungan budaya peduli” yang kemudian menjadi kebiasaan.

Di SD Islam Alam & Sains Al Jannah, rasa peduli itu tumbuh bersama selada dan bayam di rak sempit.

Tantangan yang Tidak Terlihat

Tentu, tidak semua berjalan mulus. Kegiatan seperti ini juga menghadapi hambatan nyata: hujan yang tiba-tiba, hama yang datang tanpa undangan, nutrisi yang kadang kurang tepat.

Guru-guru pun harus lebih fleksibel: menyesuaikan jadwal pengukuran, menawarkan modul baru, mencari solusi bersama anak-anak ketika sesuatu “tidak berjalan”.

Ada juga tantangan yang lebih “besar”: mempertahankan motivasi anak-anak agar tetap konsisten merawat tanaman, bukan hanya saat panen.

Penelitian mengungkap bahwa tahap panen sering kali paling rendah tingkat partisipasi karena anak-anak merasa “kerja sudah selesai”.

Tantangan lainnya: menjaga bahwa program ini bukan cuma episodik, tapi terkelola agar berkelanjutan.

Memerlukan dukungan sekolah, guru, serta pemeliharaan fasilitas. Tapi ketika anak-anak melihat bahwa hasil panen mereka dijual dan kembali menjadi modal baru—disinilah rasa memiliki tumbuh.

Menguak Makna Lebih Dalam dari Kebun Sekolah

Saat kita melihat anak-anak menanam, merawat, dan panen sayuran sendiri, satu hal jadi jelas: kegiatan ini menghubungkan titik-titik yang sering terpisah dalam sistem pendidikan: sains, karakter, kewirausahaan, dan kepedulian lingkungan.

Kebun ini juga mencerminkan perubahan paradigma pendidikan: dari “guru berbicara” menjadi “anak bekerja, guru membimbing”.

Dari “pelajaran lokal” menjadi “pelajaran global” — sebab isu perubahan iklim, lahan sempit, dan keamanan pangan tak lagi hanya di koran; mereka menyampaikan ini ke dalam aktivitas harian anak.

Pendekatan ini pun sesuai dengan kurikulum Merdeka yang menitikberatkan pembelajaran kontekstual, lintas disiplin, dan berbasis proyek nyata. (ResearchGate) Anak-anak bukan hanya belajar “apa” tetapi juga “bagaimana” dan “mengapa”.

Melangkah ke Depan: Dari Kebun Sekolah ke Masa Depan yang Lebih Hijau

Apa selanjutnya bagi Program Berkeddip? Ruang potensi yang bisa dikembangkan tak sedikit:

  • Diversifikasi tanaman: selain selada, kangkung, dan bayam — bisa ke sayuran eksotis, atau sistem vertikal untuk ruang lebih terbatas.
  • Kolaborasi dengan komunitas: warga sekitar bisa diajak menanam bersama, memperluas dampak sosial dan lingkungan.
  • Digitalisasi pengukuran: anak-anak bisa menggunakan sensor atau aplikasi untuk melacak pertumbuhan tanaman—menggabungkan IoT dengan praktek sains.
  • Event panen terbuka: menjadikan acara tahunan panen sebagai ajang sekolah, komunitas, dan bisnis kecil bersama.
  • Kapitalisasi hasil panen: hasil penjualan bisa masuk ke program kewirausahaan sekolah, atau sebagai donasi sosial — menumbuhkan nilai berbagi.

Semua itu bukan sekadar ide manis. Penelitian menyebut bahwa pelibatan anak dalam proyek hidroponik meningkatkan kompetensi sains dan kesadaran lingkungan mereka secara nyata. (ResearchGate)

Menanam Masa Depan dengan Tangan Kecil

Di balik rak-rak hidroponik sederhana di SD Islam Alam & Sains Al Jannah, tumbuh satu kisah: bahwa pembelajaran bisa lahir dari tanah — walau tanpa tanah.

Bahwa karakter bisa terbentuk bersama tanaman, bukan hanya di ruang kelas.

Bahwa anak-anak tidak hanya akan pintar membaca dan menulis, tetapi juga mampu memecahkan masalah nyata, mencintai lingkungan, dan mengambil peran sebagai pemimpin kecil di masa depan.

Program Berkeddip mengajarkan sebuah kebenaran sederhana namun mendalam: ketika kita memberi anak-anak kesempatan untuk “melakukan”, bukan hanya “mendengar”, maka ilmu akan tumbuh lebih cepat, cinta akan bertunas lebih hijau, dan masa depan akan terasa jauh lebih nyata.

Seperti selada yang tumbuh dari air jernih dan sinar matahari pagi—maka anak-anak kita pun bisa tumbuh kuat, hijau, dan siap menyerap cahaya masa depan dengan penuh gairah.

Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran mendalam mengenai program edukatif-ramah lingkungan di sekolah dasar di Indonesia, berangkat dari praktik nyata hingga implikasi jangka panjang. Semoga menginspirasi pendidik, orang tua, dan pembuat kebijakan yang peduli masa depan generasi bangsa.