MATRANEWS.id — Di perayaan Sumpah Pemuda 28 Oktober ini, Majalah MATRA sengaja menulis pendapat senior tentang FAKTA Pemuda soal Covid-19.
Penasihat senior Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dr. Bruce Aylward mengingatkan, COVID-19 salah satu penyakit paling serius yang akan Anda hadapi dalam hidup Anda dan bisa dialami siapa saja termasuk kaum muda.
Dia seperti dilansir Time, ia menegaskan, walau risiko komplikasi parah atau kematian jauh lebih tinggi pada orang berusia lebih tua dan mereka yang memiliki penyakit penyerta atau komorbid, COVID-19 lebih berbahaya bagi kaum muda daripada yang disadari banyak orang.
Hal senada diungkapkan profesor bedah di Rumah Sakit Universitas Pennsylvania di Philadelphia, Dr. Lewis Kaplan.
Menurut dia, bahkan orang-orang yang masih muda dan tidak memiliki kondisi kesehatan yang mendasarinya dapat menjadi sangat sakit.
“Tidak ada populasi yang tidak berisiko,” kata dia merujuk pada fakta tidak ada satu orangpun bisa kebal terhadap COVID-19.
Tindakan pencegahan yang wajar ini mencakup 3M (menggunakan masker, mencuci tangan selama 60 detik dengan air dan sabun serta menjaga jarak minimal 1 meter), lalu menggunakan hand sanitizer, menghindari jabat tangan dan menghindari kerumunan.
Hanya saja, edukasi yang menyasar anak muda, melalui video di media sosial TikTok misalnya dianggap angin lalu. Di kelompok usia 17-30 tahun banyak yang tak mematuhi 3M.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dr. Daeng M Faqih menyoroti sejumlah fakta di lapangan terkait respons anak-anak muda dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Ketidakpercayaan bisa tertular penyakit akibat virus SARS-CoV-2 itu.
Dia mengutip data survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 tentang perilaku masyarakat di masa pandemi COVID-19 menuturkan, sebanyak 17 dari 100 responden yang masih tidak percaya dirinya bisa terkena COVID-19 ini berasal dari kelompok usia 17-30 tahun.
“Yang percaya COVID-19 tidak ada, tidak mungkin menular banyak di usia muda yang banyak berhubungan dengan orang karena mobilitas tinggi, banyak berhubungan dengan orang karena terikat dengan internet,” kata Daeang.
Ketum IDI sangat menyayangkan, jika masyarakat kita masih ada saja yang tidak percaya COVID-19 itu ada.
“Banyak yang tidak menerapkan protokol kesehatan itu karena merasa imunitas lebih baik sehingga tidak mudah tertular,” kata dia dalam peluncuran kampanye #PesanPemuda (Program Edukasi Perilaku Hidup Bersih Sehat dari dan untuk untuk Pemuda) secara virtual, Rabu.
Di sisi lain, Daeng juga menyinggung protokol kesehatan yang belum masyarakat Indonesia terapkan secara menyeluruh dengan berbagai alasan, namun umumnya karena tidak ada sanksi (lebih dari 55 persen) dan menganggu pekerjaan (33 persen).
Menurut data BPS, orang masih enggan menerapkan protokol kesehatan juga karena alasan tidak ada kejadian penderita COVID-19 di lingkungan sekitar mereka (33 persen), harga masker lalu cairan pembersih tangan yang cenderung mahal (23 persen) dan mengikuti orang lain yang tak menerapkan protokol kesehatan (21 persen).
Sejalan dengan temuan BPS ini, dokter Nadia Alaydrus mengatakan, merasa imunitas tubuh lebih baik juga menjadi alasan kalangan pemuda tidak menerapkan protokol kesehatan.
Nadia tak menampik, rasa jenuh dan ingin kembali ke masa normal sebelum pandemi dirasakan sebagian masyarakat termasuk kalangan muda sehingga ini juga menjadi alasan mereka kemudian enggan mematuhi protokol kesehatan.
Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainudin Amali mengatakan bahwa pemuda harus bersatu dan berperan besar untuk menjadi pioner di masa pandemi COVID-19.
Pionir yang dimaksud adalah bagaimana para pemuda Indonesia bisa menjadi contoh penerapan protokol kesehatan COVID-19 di lingkungannya masing-masing.
“Sumpah Pemuda tahun ini harus menjadi momentum bagi pemuda bangkit menghadapi keterpurukan di berbagai lini dan sektor kehidupan, tetapi pemuda Indonesia juga memiliki peran besar di masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan COVID-19 dengan menerapkan 3M,” kata Zainudin dalam sambutannya pada puncak peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-92 di Jakarta, Rabu.
Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-92 yang mengusung tema “Bersatu dan Bangkit” tahun ini sebetulnya, menurut Zainudin, masih relevan dengan peristiwa 92 tahun silam.
Ketika para pemuda kala itu berjuang menggerakkan kesadaran bersama untuk membebaskan diri dari penjajahan, maka semangat persatuan 92 tahun lalu itu seharusnya juga masih bergema kala ini dalam berjuang mengatasi pandemi COVID-19.
Namun untuk bisa mewujudkan kebebasan dari pandemi juga diperlukan semangat dan daya juang yang sama seperti 92 tahun lalu.
Menurut Zainudin, meski pemuda juga menjadi bagian yang terdampak COVID-19, tetapi pemuda harus mempunyai semangat yang lebih besar bersatu bersama-sama memberi perubahan.
Dengan peran besar pemuda dalam mengatasi pandemi, maka bukan tak mungkin reputasi Indonesia di mata dunia pun bisa bangkit setelah COVID-19 menghantam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
“Pandemi memberi dampak luas bagi sendi-sendi kehidupan di masyarakat termasuk anak muda Indonesia. Oleh sebab itu, dibutuhkan semangat bersama untuk membangkitkan kembali Indonesia di mata dunia,” pungkas dia.