MATRANEWS.ID — Kecerdasan buatan (AI) memang menjanjikan efisiensi luar biasa dan peningkatan produktivitas, Jakarta (19/9/24).
Namun di balik kilau manfaatnya, ada ancaman serius bagi pekerja, khususnya bagi perempuan yang bekerja di sektor-sektor yang mudah diautomatisasi.
Hal ini disoroti dalam laporan terbaru IMD World Talent Ranking 2024, yang menunjukkan betapa AI semakin mengancam posisi mereka di dunia kerja.
Arturo Bris, Direktur IMD World Competitiveness Center (WCC), menekankan bahwa AI berpotensi mengubah secara drastis struktur lapangan kerja yang ada saat ini.
Tapi, yang menjadi pertanyaan besar adalah, apakah AI akan menambah atau justru mengurangi pekerjaan? Hingga kini, belum ada jawaban yang pasti.
AI Lebih Berdampak di Negara Maju
Data dari Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) PBB menunjukkan bahwa AI akan menggantikan 5,5% pekerjaan di negara-negara maju, jauh lebih tinggi dibandingkan negara berpenghasilan rendah yang hanya 0,4%.
Ketimpangan ini bisa terjadi karena akses teknologi di negara berkembang masih terbatas, tetapi di negara maju, pekerja dihadapkan pada perubahan besar-besaran.
Pekerja Perempuan Lebih Terdampak
Salah satu poin kritis yang disampaikan oleh Bris adalah bias gender dalam automasi pekerjaan. Di negara maju, 7,9% pekerja perempuan diperkirakan akan terdampak oleh AI, dibandingkan dengan hanya 2,9% pekerja laki-laki.
Sementara itu, di negara berkembang, meski dampaknya lebih rendah, perempuan tetap menghadapi risiko lebih besar (2,7%) dibandingkan laki-laki (1,3%).
Dengan semakin masifnya penggunaan AI dalam perekrutan, promosi, hingga evaluasi kinerja, diskriminasi gender yang sudah ada bisa diperburuk oleh algoritma yang bias. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan perusahaan untuk meninjau kembali keadilan dan akuntabilitas algoritma yang digunakan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk mengatasi dampak ini, pemerintah diimbau segera merancang langkah antisipasi. Pelatihan ulang untuk pekerja yang terdampak AI, terutama kaum perempuan dan kelompok marginal, menjadi solusi utama.
Jika tidak segera ditangani, ancaman pengangguran bisa memicu gejolak sosial dan mengurangi daya tarik suatu negara bagi talenta asing. Pada akhirnya, ini juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Indonesia Harus Belajar dari Singapura
Meskipun Indonesia telah mencatat peningkatan daya saing keahlian SDM ke peringkat 46 dunia pada tahun 2024, negara ini masih memiliki pekerjaan rumah besar jika ingin bersaing dengan negara-negara lain, khususnya Singapura, yang menduduki peringkat kedua dunia.
Singapura dikenal gesit dalam merespons perkembangan teknologi dengan segera mengintegrasikannya ke dalam kurikulum pendidikan.
Bris menyoroti bahwa Singapura tidak hanya unggul dalam kesiapan tenaga kerja, tetapi juga mampu menarik talenta asing dengan efektif.
Catatan untuk Pendidikan Indonesia
Di sisi lain, Indonesia memiliki daya tarik yang meningkat bagi tenaga ahli asing, melonjak dari peringkat 31 menjadi 17 di dunia.
Namun, masih ada dua aspek penting yang perlu diperbaiki: kesiapan tenaga kerja dan investasi pendidikan.
Dengan memperbaiki sistem pendidikan dan menambah anggaran per siswa, Indonesia dapat meningkatkan daya saing SDM dan meraih lebih banyak talenta berkualitas.
“Bukan soal seberapa besar anggaran yang diberikan, tetapi seberapa baik kita mengelolanya,” ujar Bris, menutup diskusinya.