Di era digital marketing, media massa harus bersaing memperebutkan kue iklan yang “lari” ke media sosial, blogger dan Youtuber. Ini bisa disebut senjakala media massa digital.
MATRANEWS.id — Di kala Dewan Pers masih tenggelam memverifikasi, setiap media massa yang ingin didata oleh Dewan Pers harus berbadan hukum satu saja, tidak boleh dicampur dengan usaha lain. Jurnalisme, media dan tren teknologi sudah berlari meninggalkan hal-hal “lawas” semacam itu.
Dari 4.300 media online (siber), paling yang sudah diverifikasi 400-an saja. Bukan berarti, hanya jumlah itu yang disebut media profesional. Media digital yang belum diverifikasi Dewan Pers, banyak yang menerapkan kode etik jurnalistik dengan baik. Mereka sudah layak disebut pers.
Terlepas, apakah aturan itu perlu diperbaharui atau tidak, sesungguhnya media cetak, radio dan televisi memasuki wajah baru.
Idealnya, tugas pers mengembangkan visi dan misi yang futuristik. Melampaui jaman kekinian, memang tak mudah. Bukan hanya tampilan dan model jurnalisme, cara bertahan mencari pemasukan untuk menyeimbangkan pengeluaran, yang terlanjur besar juga merupakan tantangan tersendiri.
Media massa melakukan strategi reposisi merek, distribusi, promosi termasuk sumber daya manusia yang disebut profesional. Realitasnya, bisnis model media di revolusi teknologi, justru ter-disrupsi dalam pemasukan pendapatan.
Semua terjadi dengan kecepatan dan kompleksitas. Teknologi 4.0 telah mengubah manusia dalam mengkonsumsi media. Jutaan berita dan informasi masuk ke medsos, menyebar dari satu grup ke grup media lain. Tim buzzer media, yang lebih menikmati untung saat ini.
Jurnalis media digital bukan pintar di dunia jurnalistik saja, tapi harus belajar dari “misteri” SEO (Search Engine Optimization), kata kunci, hastag, dan lain-lain, agar tulisannya di-klik banyak orang.
Tulisan tersebut di posting ke grup-grup media sosial yang punya fans, banyak anggotanya. Pasalnya, ponsel pintar memberikan kenyamanan dalam melihat berita, serba gratis pula.
Di tengah banjir informasi, media massa mainstream (cetak) menjadi clearing house — tempat orang mengecek informasi benar. Dimana, media cetak masih diminati karena lebih humanis, mendalam, kadang dijadikan sebagai souvenir dan dibaca kaum elit (premium). Apalagi investigasinya seru!
Apa lacur, banyak pemasang iklan bisnis, malah mengalihkan belanja iklannya ke medsos, bukan ke media digital. Padahal, media massa sudah woro-woro ikut memasuki konvergensi media.
Vlog hingga channel di TV digital dengan server pinjam atau titip ke Youtube, lebih diminati. Pemirsanya, kalau dengan tim buzzer bisa memiliki pemirsa hingga jutaan.
Seorang pakar humas mencatat, ada Youtubers, yang satu miliar video views per harinya. Ada empat juta foto per jam yang diunggah di Instagram.
Facebook menyebutkan setidaknya ada tiga miliar likes & comment yang mereka dapatkan setiap harinya dan 15 juta foto yang di-upload per jam. Arus informasim mengalir sangat deras. Facebook malah panen iklan, demikian Google.
Sekarang, publik adalah media! Dan kita, adalah jurnalis.
Riset Visa bertajuk Consumer Payment Attitudes Study menyebutkan, orang Indonesia menghabiskan 6,4 jam sehari di smartphone atau 25%-an dalam keseharian mereka. Sekitar tiga jam hanya untuk urusan media sosial.
Bisa diartikan, masyarakat kita lebih sibuk dengan akun media sosial ketimbang menaruh perhatian pada media mainstream yang menawarkan trust dan kredibilitas.
Di era digital marketing, media massa harus bersaing memperebutkan kue iklan yang “lari” ke media sosial, blogger dan Youtuber. Ini bisa disebut senjakala media massa digital.
Tidak salah jika saat ini sebagaimana Richard Edelman, CEO Edelman, menjelaskan bahwa: every organization is a media organization!
Era digital membuat semua bisa memiliki media sendiri, termasuk perusahaan. Cukup membuat website, mempekerjakan tiga-empat orang, membuat konten, dan mempublikasikannya. Bahkan, search engines dan social network bisa menjangkau audiens secara langsung. Sesuai target readers-nya.
Kita juga memasuki, era kecerdasan artifisial.
Era Kecerdasan Artifisial, apa itu?
Kecerdasan buatan adalah kecerdasan yang ditambahkan kepada suatu sistem yang bisa diatur dalam konteks ilmiah atau bisa disebut juga intelegensi artifisial.
Artificial Intelligence atau hanya disingkat AI, didefinisikan sebagai kecerdasan entitas ilmiah. Dalam teknologi AI, perancang atau yang membuat berita bisa saja dilakukan oleh mesin saat ini.
Jadi, di tahun-tahun mendatang, kita tidak lagi hanya bertanya apa yang benar atau hoax. Pertanyaan berikut, apakah informasi itu dihasilkan oleh manusia?
Karena bisa saja, berita itu yang membuat adalah mesin, dengan coding atau sari dari ragam medsos atau dicuplik dari media arus utama, tanpa klarifikasi jurnalistik.
Metafora jenis konvergensi antara dunia nyata dan dunia digital.
Eng-ing-eng. Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) pernah melakukan survei internal, terhadap para pemimpin media. Hasilnya menunjukkan, bahwa yang dianggap ancaman, bukan lagi sesama media massa, tapi kekuatan platform semacam Google, Youtube atau Facebook yang menyedot potensi belanja iklan.
Di tengah banyak media massa kesulitan membayar kesejahteraan SDM-nya dengan layak, aplikasi digital memudahkan setiap orang memiliki media massa sendiri. Perusahaan yang paling cerdas akan menggabungkan data dan algoritma dengan konten hebat.
Tak pelak, pers Indonesia, apapun platform-nya, mau tak mau harus berkolaborasi dengan Google, Twitter, atau Instagram, Facebook hingga memiliki tim buzzer di medsos.
Organisasi media semacam Aliansi Jurnalis Independen dan Persatuan Wartawan Indonesia, sedang mentranformasi diri dan berupaya terus mengedukasi anggotanya, dalam era digital sekarang ini. Inovasi mutlak bagi media arus utama agar bertahan. Karena sesungguhnya, publik masih membutuhkan informasi dan konten bermutu.
Terima kasih kepada sembilan orang anggota Dewan Pers periode 2016-2019 yang sudah: kerja-kerja-kerja. Tapi, bagi kebanyakan media digital yang tergabung di Forum Pimpinan Media Digital (red-ini merupakan komunitas di medsos) soal verifikasi menjadi hits.
Yang muncul, lebih banyak pada keluhan. Dewan Pers disebut belum kerja optimal dalam memverifikasi media digital, mulai dari kurang orang staf. Para startup media digital juga media mainstream, sudah daftar lewat online tapi dibebani aturan PT yang untuk satu media dan khusus di bidang media.
Kiranya, sembilan nama anggota Dewan Pers periode 2019-2022, lebih inovatif dan punya terobosan. Salam erat.
#s.sbudirahardjo, #CEOeksekutif, #PemredMATRA
baca juga: majalah MATRA edisi cetak — klik ini —