“Untuk mengetahui lebih jauh hak photografer mengenai kepemilikan karya fotografi, kami mengundang pihak ahli dari HAKI,” ujar Triyudha Ichwan dalam release-nya kepada members IPPA (Indonesia Professional Photographer Association).
Acara diskusi akan berlangsung 18 April 2018 jam 10.00 WIB, bertempat di Sekretariat IPPA, Kompleks Timah nomer 6, Jl RS Fatmawati, Jakarta Selatan.
Bapak Erik Saropie S.Sos merupakan Subdirektorat Pemeriksaan Patenb, Departemen, Direktorat Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang.
“Merupakan nara sumber yang kompeten,” ujar Tigor Lubis, pengurus IPPA. Selanjutnya, “Hasil diskusi ini akan dijadikan acuan, untuk diserahkan ke Bekraf dan Kementrian Hukum dan HAM agar dijadikan bahan sosialisasi HAKI dalam fotografi.”
Acara saweran ini menjadi ajang kumpul, diskusi dan silaturahmi untuk members IPPA. Pasalnya, di era internet, foto sebagai karya ciptaan sangat rentan menjadi persoalan hukum. Maka, diskusi bertajuk: Kepemilikan Hak Cipta Foto di Era Digital akan menjadi menarik.
Tertarik hadir? bisa kontak 0813-8124-0250
***
#catatan pinggir
Foto yang berseliweran, yang selalu muncul di depan mata kita sejak bangun tidur hingga sebelum lelap, dilekati oleh apa yang disebut copyright and related rights—yang kemudian di Indonesia ditulis sebagai Hak Cipta dan Hak Terkait.
Copyright adalah term dalam hukum untuk menyebut hak yang dimiliki oleh pencipta (dalam fotografi adalah fotografer), sedangkan related rights adalah hak yang juga dipegang oleh institusi berupa lisensi—misalnya suratkabar di mana jurnalis foto bekerja, atau bisa studio fotografi.
Copyright and related rights adalah satu bentuk Intellectual Property.
Fotografer, sebagai pemilik copyright memiliki hak eksklusif, yaitu hak untuk mereproduksi/memperbanyak, memajang karya, mempublikasikan, membuat karya turunan, menyewakan atau meminjamkan, dan menjual karya.
Secara kodrat, copyright melekat secara otomatis ketika shutter release lepas atau kamera telah selesai menjepret. Sama halnya ketika penulis selesai mengetik tulisannya.
Dalam copyright terdapat Hak Ekonomi (Economic Rights) dan Hak Moral (Moral Rights).
Hak Ekonomi secara sederhana adalah hak pencipta untuk mendapatkan keuntungan ekonomi atas karyanya, sedangkan hak moral adalah pengakuan sebagai penghormatan atas penciptaan.
All right reserved Indonesia meratifikasi Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works serta World Intellectual Property Organization Copyright Treaty (Geneva, 20 Desember 1996) sejak 1997.
Dan perjalanan undang-undangnya adalah UU No.12/1997, kemudian UU No.19/2002, lalu DPR baru saja mengesahkan RUU menjadi UU aturan baru tentang Hak Cipta dalam UU No. 28/2014.
Yang berbeda di negara kita adalah pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 28/2014, “Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Yang perlu dicermati adalah term “prinsip deklaratif” yang membuat suatu karya harus diumumkan barulah perlindungan oleh negara melekat.
Term di atas memungkinkan seorang fotografer yang hanya menyimpan fotonya dan orang lain mencuri fotonya lalu mempublikasikannya (misalnya lewat Facebook), maka si pencuri justru lebih kuat di mata hukum bila kelak terjadi gugatan atau sengketa. Hanya karena si pemilik asli tidak menjalankan “prinsip deklaratif”.
Lalu mari melihat masa perlindungan atas Hak Cipta. Menurut Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works (yang diamandemen terakhir pada 28 September 1979) Pasal 7 ayat (1) “The term of protection granted by this Convention shall be the life of the author and fifty years after his death.”
Yang menjamin perlindungan copyright seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah kematiannya. Kemudian negara-negara di Eropa dan Amerika memberi perlindungan atas copyright seumur hidup ditambah 70 tahun setelah kematian.
Tapi di Indonesia, perlindungan atas karya fotografi yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) UU No. 28/2014, “…berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan Pengumuman.”
Merujuk pada pasal di atas, yang sulit diterima nalar adalah ilustrasi kasus ini: Seandainya seorang fotografer membuat foto di usia 25 tahun dan mengumumkannya di usia yang sama, maka bila usianya mencapai 75 tahun lebih satu hari, maka perlindungan atas Hak Cipta karyanya telah hangus.
Artinya foto itu kemudian menjadi public domain, dan bisa digunakan untuk apa saja oleh siapa saja. Alangkah lucu bila seorang fotografer masih sehat di usia 75 tahun ia tak berhak lagi hak ekonomi atas karyanya, sehingga orang lain bisa saja menggunakan foto miliknya untuk membuat iklan tanpa perlu memberi royalti padanya.
Kebingungan lain pada UU No. 28/2014 adalah pengaturan tentang potret pada Pasal 1 ayat (10), di mana Hak Ekonominya diatur dalam mekanisme persetujuan tertulis dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2).
Fotografer harus memiliki surat izin yang tertandatangani oleh orang di dalam foto untuk penggandaan, pengumuman, pendistribusian dan penggunaan komersial (pengecualian, atau bisa tanpa persetujuan objek foto, adalah untuk kepentingan keamanan; kepentingan umum; jurnalistik; keperluan proses peradilan).
Susah memahami misalnya seorang preman jalanan sebagai “yang dipotret” tapi hak atas karya fotografi menjadi bagian dari haknya. Semestinya negara memasukkan pengaturan tentang potret ini dalam undang-undang yang mengatur privasi, pencemaran nama baik, atau hukum perdata.
Iktikad yang terdapat dalam pasal ini baik, yaitu agar orang yang difoto tidak dieksploitasi secara komersial, tapi sepertinya Direktorat Jendral HAKI di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. dan pembuat undang-undang latah. Karena potret bagian dari fotografi, maka dimasukkanlah perkara ini dalam Undang-undang Hak Cipta.
Dengan melihat pasal-pasal yang membingungkan di atas, fotografer di era online semakin dihadapkan pada tantangan yang lebih berat. International Association of Chief’s of Police (IACP) mengumumkan data bahwa setiap hari 350 juta foto diunggah ke Facebook, dan lebih dari 60 juta foto diunggah di Instagram. Dan menurut International Intellectual Property Alliance (IIPA), pada 2013 sebanyak 23.37% dari lalu lintas di dunia maya adalah pelanggaran copyright.
Langkah paling aman yang bisa ditempuh fotografer agar tidak terlibat sengketa mengenai Hak Cipta adalah jangan pernah menggunakan karya foto orang lain tanpa izin tertulis, jangan pernah membuat potret tanpa izin tertulis untuk keperluan pameran atau komersial, dan disiplin mengisi EXIF foto.