Beberapa teman meminta saya agar menulis tanggapan mengenai kehebohan terkait Dr dr Terawan Agus Putranto, SpRad yang mendapat “hukuman” dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI.
Semula, saya enggan menulis ini karena selain banyak kesibukan, saya khawatir dianggap “untuk apa ikut-ikutan”.
Tetapi akhirnya, saya penuhi juga setelah saya melihat dan membaca semakin banyak orang yang seharusnya tidak berkompeten, ikut memberikan pendapatnya yang tentu tidak berbasis ilmiah kedokteran.
Saya juga tergerak menulis ini, setelah membaca berita tentang komentar Promotor ketika Dr Terawan menempuh Program Doktor di Universitas Hasanudin.
Seperti diberitakan oleh detikhealth, Prof Irawan Yusuf Sang Promotor mengatakan, “Namun perlu dicatat, metode yang digunakan dr Terawan harus ada uji klinik terlebih dahulu, meski beberapa pasien menganggap program dan metode yang digunakan dalam mengobati pasien berhasil”.
Membaca ini, muncul pertanyaan di benak saya, “Ha!! Memangnya dr Terawan tidak melakukan uji klinik, padahal dikabarkan sudah memberikan DSA kepada sekian banyak orang?”.
Sebelumnya, saya sempat membaca surat terbuka dari Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia (Perdossi), Prof Dr dr Moh Hasan Machfoed, SpS-K yang berisi pertimbangan ilmiah mengenai apa yang disebut metode “Brain wash” itu.
Bagi masyarakat di luar dunia Kedokteran, pejabat sekali pun, sangat mungkin istilah uji klinik terasa asing.
Bagi masyarakat umum, yang penting keluhan hilang. Padahal hilangnya keluhan belum berarti sembuh atau mungkin terjadi keluhan lain sebagai efek samping obat dan karena penyakit dasarnya tidak sembuh.
Coba tanya kepada semua orang “Sakit kepala apa obatnya?”. Saya yakin semua atau hampir semua akan menjawab “Panadol”.
Kok bisa?
Ya karena setiap hari iklannya muncul di televisi. Itulah the Power of advertisement.
Apa itu salah?
Tidak salah, tapi kurang tepat.
Mengapa?
Karena sakit kepala hanyalah gejala yang dapat disebabkan oleh banyak hal, mulai dari stres karena ditinggal istri sampai karena tumor otak. Kalau setiap hari minum obat sakit kepala, ya sakitnya hilang sementara, tapi tumor di otak semakin besar. Ya, tunggu saja malaikat maut menjemput.
Uji klinik
Uji klinik adalah suatu tahap penelitian yang dilakukan pada manusia setelah sebelumnya dilakukan pada binatang.
Ada 3 fase uji klinik, sebelum akhirnya dapat diterima dan diterapkan pada manusia. Setelah beredar pun, tetap dilakukan uji klinik fase 4 untuk mengetahui apakah memang benar bermanfaat dan aman setelah digunakan secara luas oleh masyarakat.
Ada syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan uji klinik, antara lain:
1. Peneliti harus seorang dokter yang berkompeten di bidang yang akan diteliti,
2. Semua subyek atau pasien harus mempunyai masalah dengan latar belakang yang sama,
3. Subyek atau pasien harus diberitahu dan mengerti bahwa ini dalam rangka penelitian, bukan telah resmi sebagai obat atau cara pengobatan.
Untuk ini harus jelas tertulis pada Surat Persetujuan setelah Penjelasan (Informed Consent),
4. Diperlukan juga Kelayakan Etik (ethical clearance) dari Komisi Etik Penelitian. Uji klinik seharusnya dimulai setelah Kelayakan Etik diterima,
bukan sebelumnya.
Peneliti uji klinik haruslah orang yang berkompeten secara ilmiah dan profesi di bidangnya.
Kalau menyangkut jantung, haruslah seorang dokter Spesialis Jantung & Pembuluh Darah. Atau kalau uji klinik itu menyangkut juga bidang ilmu lain yang terkait, tepat sekali kalau di dalam tim peneliti uji klinik ada seorang spesialis di bidang itu.
Apalagi saat ini di dunia kedokteran semakin jelas terlihat peranan interdisiplin beberapa spesialisasi kedokteran.
Lebih detil, tentu ada persyaratan lainnya, termasuk yang menyangkut metode dan teknis penelitian, misalnya ada tidaknya kelompok pembanding, yaitu kelompok pasien yang diberikan obat atau cara pengobatan yang sudah biasa dipakai. Syarat lain ialah bagaimana cara melakukan pengukuran adanya perubahan sebelum dan sesudah mendapat pengobatan secara objektif ilmiah.
Lalu ada satu syarat lagi yang harus dipenuhi oleh peneliti yang beretika, yaitu pasien yang ikut dalam uji klinik seharusnya tidak dibebani biaya penelitian. Kalau pun harus mengganti biaya tertentu, seharusnya disampaikan dengan jelas dan tertulis pula.
Tidak selalu mudah melakukan uji klinik. Beberapa masalah yang umum terjadi, antara lain dalam memasukkan subyek atau pasien ikut dalam penelitian. Cukupkah peneliti hanya berdasarkan keluhan umum pasien yang belum tentu benar? Mungkin saja seorang pasien mengeluh “Saya terkena stroke”.
Benarkah keluhan “stroke” dia sama dengan “stroke” sebenarnya menurut ilmu kedokteran?
Belum tentu benar.
Mungkin juga pasien akan mengatakan, “Saya ingin mencoba pengobatan baru ini”.
Tahukah pasien bahwa cara ini memang belum pernah digunakan sebelumnya atau sedang dalam penelitian uji klinik?
Di sinilah kredibilitas total seorang dokter yang sedang melakukan uji klinis dipertaruhkan.
Efek plasebo
Ada satu hal yang mungkin banyak orang tidak tahu, yaitu adanya efek plasebo. Efek plasebo adalah efek yang dirasakan positif oleh pasien seolah karena mendapatkan cara pengobatan itu, padahal apa yang diterima bukan obat yang sebenarnya itu.
Apakah itu berarti pasien sudah sembuh?
Tentu tidak. Pasien yang hanya mengalami efek plasebo, tinggal menunggu waktu penyakitnya muncul kembali.
Dalam dunia uji klinik, secara internasional efek plasebo cukup tinggi, bahkan dapat mencapai 25-30%, dan ada yang lebih.
Artinya apa?
Sekitar 25-30% pasien yang mendapatkan “bukan obat yang sebenarnya” juga merasa sembuh seperti pasien yang mendapat obat sebenarnya. Bedanya akan tampak kemudian. Pasien yang hanya merasakan efek plasebo akan mengalami lagi masalahnya.
Kebetulan saya pernah melakukan beberapa kali uji klinik. Saya juga mendapatkan sekitar 30% subyek yang mendapat plasebo atau “bukan obat yang sebenarnya” juga merasa mengalami perbaikan.
Konsekuensinya, setelah uji klnik berakhir, para pasien itu harus saya berikan obat yang sebenarnya. Ini merupakan bentuk pertanggungjawaban etik dan sekaligus ilmiah dalam uji klinik.
Kelompok pasien yang mendapat plasebo atau boleh juga kelompok obat standar mutlak diperlukan sebagai pembanding untuk menyimpulkan bahwa obat baru tersebut memang benar bermanfaat.
Dokter juga manusia
Pada zaman Hipokrates dulu, para dokter dianggap manusia setengah dewa, seolah tidak pernah salah.
Kini, tentu saja anggapan itu terdengar konyol dan membuat kita tertawa terpingkal-pingkal.
Pastilah dokter bisa salah, bisa tidak ilmiah, bisa melanggar etika, bisa ikut menjual produk tidak ilmiah, bisa terseret dalam iklan bohong.
Dokter bisa juga mengiklankan diri, bisa juga terlibat korupsi, bisa salah ketika menjadi pembimbing penelitian, bisa protes ketika gajinya hanya di bawah UMR, dan mungkin ada seribu bisa lainnya.
Dokter juga manusia, bukan?
Apalagi dokter yang tidak mau atau tidak sempat meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan klinisnya.
Kesalahan memberikan informasi bahkan juga disampaikan oleh dokter yang hanya berdasarkan informasi dari mbah Google yang dianggap pasti benar. Akibatnya, masyarakat meneruskan informasi itu bahkan menerapkan dalam kehidupannya.
Karena itulah tetap diperlukan adanya institusi yang harus siap mengingatkan agar dokter tidak merasa diri sebagai manusia setengah dewa, apalagi dengan menyeret nama pejabat.
Di pihak lain, dokter jangan merasa masukan atau kritik yang disampaikan oleh sejawatnya langsung dilawan dengan cara yang tidak ilmiah dan profesional. Lambat atau cepat cara seperti ini pada akhirnya akan menjatuhkan nama baiknya sendiri.
Hal yang mutlak penting juga, dokter harus memahami bahwa apa yang dilakukan dalam prakteknya benar harus berdasarkan temuan ilmiah terkini yang diakui secara internasional, yang dikenal dengan sebutan Evidence-based Medicine (EBM).
Kalau tidak, maka dokter akan jatuh menjadi sekualitas dengan para penjual produk abal-abal seperti yang marak diiklankan di TV.
Iklan bohong
Ketika dokter tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Kedokteran terkini, maka dia akan menjadi dokter tak berkualitas, bahkan bisa menjadi dokter abal-abal.
Karena itulah dokter jangan terseret menjadi Jeng Anu atau Jeng ahli kanker, atau yang lain seperti yang sering ditayangkan di iklan jualan TV.
Siapa bilang produk abal-abal yang diiklankan itu tidak ramai pembeli?
Siapa bilang tidak ada nama terkenal yang membeli produk abal-abal itu?
Masyarakat sering mengatakan “sembuh” setelah mengonsumsi produk abal-abal yang diiklankan di TV itu. Lalu masyarakat mengatakan “hebat dia”, karena itu pembelinya atau pasiennya banyak. Inilah yang sering dijadikan pegangan oleh penjual abal-abal di iklan TV itu.
Celakanya, ini diberlakukan juga untuk dokter. Banyak orang mengatakan, dokter itu pasiennya banyak, berarti dia hebat. Padahal masyarakat tidak benar mengerti, arti sembuh itu yang seperti apa. Bukan berarti kalau gejalanya hilang, penyakitnya pasti sudah hilang juga.
Karena itulah di dunia kedokteran sering juga obat yang sudah beredar sekian tahun, kemudian ditarik dari peredaran. Mengapa? Karena berdasarkan uji klinik fase 4, ternyata obat atau cara pengobatan itu menimbulkan akibat buruk.
Masyarakat juga tidak mengerti bahwa nomor registrasi BPOM pada kemasan produk kesehatan, bukan berarti BPOM menyetujui manfaat dan keamanannya. Karena itu banyak sekali produk herbal dan kosmetik yang kemudian ditarik dari peredaran.
Cara terhormat dan ilmiah profesional
Menghadapi kontroversi Dr Terawan ini, tentu diperlukan cara yang terhormat dan ilmiah profesional. Kontroversi ini tidak dapat diselesaikan hanya melalui pernyataan dan testimoni dukungan, walaupun menggebu-gebu melalui video sekalipun.
Pihak MKEK IDI tentu punya alasan mengapa pada akhirnya sampai mengeluarkan Surat Keputusan itu, dan ini harus kita hargai karena merupakan keputusan organisasi, bukan pribadi. Karena itu saya pikir tidak benar kalau ada yang menduga keputusan itu hanya karena alasan pribadi.
Sebagai informasi, Ketua MKEK yang menandatangani Surat Keputusan itu ternyata juga seorang Spesialis Radiologi, sama dengan spesialisasi Dr Terawan.
Saya kembali pada pernyataan Promotor Dr Terawan ketika mengambil Program Doktor di Universitas Hasanudin, Prof Irawan Yusuf. Ikuti sarannya, “Harus ada uji klinik”. Tentu sesuai dengan persyaratan ilmiah sebuah uji klinik.
Saya yakin sebagai seorang ilmuwan dan profesional, Dr Terawan akan dan mampu membuktikannya. Hasil uji klinik merupakan bukti ilmiah yang tak terbantahkan, walaupun kemudian harus didukung oleh uji klinik di banyak tempat lain.
baca juga majalah MATRA cetak (print): Klik ini