MATRANEWS.id — Membangun Benteng Digital. Memerangi Judi Online dan Memperkuat Ketahanan Siber Nasional.
- Oleh: Ardi Sutedja K.
Presiden Prabowo Subianto membawa isu itu hingga panggung APEC Economic Leaders’ Meeting di Gyeongju, 2 November 2025. Ia menyebut angka yang membuat seisi ruangan terbelalak: Indonesia kehilangan sekitar Rp134 triliun per tahun akibat judi online.
Untuk konteks sebuah negara berkembang yang tengah mengonsolidasikan transformasi digital, itu bukan sekadar statistik—itu adalah skala kerusakan ekonomi nasional.
Dalam beberapa tahun terakhir, judi online berubah dari operasi kriminal kecil menjadi jaringan kejahatan digital lintas yurisdiksi.
Di kantor saya, Indonesia Cyber Security Forum, pola ini kami catat sebagai gejala kerusakan sistemik. PPATK memprediksi perputaran dana judi online menembus Rp1.200 triliun pada 2025. Skala ini menandai tren eskalatif yang tak lagi bisa dipandang sebagai “gangguan digital” biasa.
Dampaknya jelas: konsumsi rumah tangga bocor, risiko kredit macet meningkat, likuiditas lokal tersedot keluar lewat payment gateway ilegal, dan negara kehilangan potensi pajak raksasa.
Di lapangan sosial, kerusakan lebih sunyi tapi lebih dalam: perceraian naik, kekerasan domestik meningkat, pelajar dan remaja terjerumus, dan kriminalitas keluarga membengkak. Ini bukan sekadar ekonomi hitam—ini infeksi sosial sistemik.
Pemerintah tak tinggal diam. Kemkomdig telah menurunkan 2,2 juta konten terkait judi daring hingga September 2025. OJK memblokir 23.929 rekening terkait. Polri mengungkap 235 kasus, menyeret 259 tersangka.
Ada penurunan awal: nilai transaksi Q1 2025 turun menjadi Rp47 triliun dari Rp90 triliun pada periode sama 2024. Strategi embargo finansial mulai terasa. Tapi ekosistemnya tak runtuh.
Server operator justru bergerak semakin jauh ke yurisdiksi yang melegalkan judi. Supply chain mereka lengkap: influencer, affiliate marketing, wallet lokal, crypto settlement, payment processor lintas batas.
Inilah medan perang yang sesungguhnya.
Pendekatan reaktif hanya membuat negara selalu selangkah terlambat. Satu domain ditutup, puluhan domain cermin muncul kembali. Satu rekening dibekukan, jaringan baru tumbuh dalam hitungan jam.
Maka strategi perang berikutnya tak bisa lagi sepotong-sepotong. Perlu whole-of-government. Perlu whole-of-nation.
Target operasional harus berbasis SLA agresif:
-Takedown konten maksimal 4 jam.
-Pemblokiran rekening maksimal 24 jam.
-Re-spawn domain tak boleh lebih dari 10% per bulan.
-Penurunan daily active user minimal 30%.
Pembentukan Satgas Pemberantasan Judi Online lewat Keppres 21/2024 tepat, namun mandatnya perlu diperluas: penegakan pencucian uang sebagai front utama, perampasan aset para pengendali, filtering telekomunikasi berbasis DNS resolver nasional, regulasi platform global yang lebih tegas, audit periodik ekosistem QRIS dan merchant digital.
Dan satu hal yang sering terlupakan: service recovery.
Negara tak bisa hanya memukul. Negara harus memulihkan.
Keluarga korban judi online perlu konseling, perlu intervensi adiksi, perlu social safety net.
Judi online kini bukan sekadar kriminal finansial, tapi isu kedaulatan digital nasional. Ada dimensi geopolitik, ada cross border crypto laundering, ada risiko intelijen dan harvesting data warga skala besar.
Jika Indonesia mampu mengunci kerja sama internasional, membangun cyber intelligence yang proaktif, menutup rantai uang real-time, serta menggerakkan literasi digital berbasis korban—kita bisa menjadi role model regional penanganan financial cyber crime.
Membangun benteng digital bukan tujuan akhir. Itu fondasi masa depan digital yang sehat.
Presiden Prabowo sudah mengirim sinyal eskalasi politiknya.
Sekarang lintas lembaga harus bergerak: cepat, presisi, dan terukur.
Inilah perang digital paling menentukan dekade ini.
Dan bangsa ini tak boleh kalah.

- https://www.hariankami.com/berita-kami/23616189780/ardi-sutedja-k-menulis-kolom-mengenai-judi-online-klik-ini






