MATRANEWS.id – Wabah virus corona yang bermula dari Kota Wuhan, China, kini sudah merepotkan banyak negara, termasuk Indonesia. Masing-masing pemerintah di berbagai negara sibuk untuk memproteksi wilayahnya agar warganya tak tertular virus yang penyebabnya masih misteri ini.
Dalam beberapa pekan, melalaui pemerintahnya, beberapa negara (di luar China) telah merilis kabar bahwa ada warga negaranya yang positif terjangkit virus ini dan meninggal.
Namun demikian amat beda dengan Indonesia. Meski kekhawatiran publik sudah memuncak, namun Pemerintah masih menyebut bahwa Indonesia masih aman-aman saja.
Reaksi sejumah kalangan pun mencuat, hingga akhirnya mucnul persepsi bahwa Pemerintah Indonesia berada dala posisi “diam seribu basa” terhadap terjadinya wabah ini.
Sikap “diam” yang dipegang teguh pemerintah selama ini pada akhirnya “terkuak” dengan ditemukannya dua pasien yang diduga sangat kuat telah terjangkit virus corona.
Konfirmasi pada Senin (2/3), Indonesia memiliki dua kasus virus corona telah mengakhiri berminggu-minggu klaim para pejabat bahwa negara ini tidak terdampak virus tersebut.
Para pasien adalah seorang wanita berusia 31 tahun dan ibunya yang berusia 64 tahun yang tinggal di Depok, Jawa Barat, tepat di luar ibu kota Indonesia, Jakarta. Sang anak telah melakukan kontak dengan seorang warga Jepang yang terinfeksi dari Malaysia pada Februari 2020 dan diyakini telah menginfeksi ibunya.
Sekarang terdapat enam pasien suspek corona lain yang diduga telah terjangkit virus dan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso sedang menunggu hasil tes mereka.
Terungkapnya enam suspek corona ini, makin memperkuat dugaan banyak kalangan bahwa Pemerintah Indonesia kurang transparan dalam menangani virus corona. Wali Kota Depok Mohamad Idris mengakui minggu ini kepada kanal berita VIVAnews, kedua wanita itu dites positif corona sehari sebelum pengumuman Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun menurut kabar yang beredar, Walikota Depok diminta oleh pemerintah pusat untuk tetap diam.
Menurut Muhammad Zulfikar Rakhmat dan Dikanaya Tarahita dari South China Morning Post, jika motivasi untuk menunda pengumuman semacam itu adalah untuk mencegah timbulnya kepanikan massal, gagasan itu tentu tidak logis.
Masyarakat Indonesia selama berminggu-minggu telah menyimpulkan negara ini pasti diam-diam memiliki kasus COVID-19, mengingat negara-negara tetangga termasuk Singapura dan Malaysia telah mengonfirmasi banyak kasus mereka sendiri.
Indonesia merupakan negara tujuan yang populer di kalangan wisatawan dari China. Wabah virus corona sendiri dimulai pada Desember 2019 di Kota Wuhan di bagian tengah. Hanya masalah waktu sebelum kasus penyakit itu mulai muncul di Tanah Air.
Ketidakpercayaan Publik
Menahan penyampaian informasi hanya meningkatkan ketidakpercayaan publik, dan memberi orang lebih banyak alasan untuk cemas di tengah epidemi yang berkembang. Menurut data yang sudah dirilis di berbagai media, wabah virus corona telah menjangkiti lebih dari 92.000 penderita di seluruh dunia dan menewaskan lebih dari 3.200 pasien.
Bahkan upaya oleh pihak berwenang untuk bersikap transparan telah menimbulkan kebingungan. Laporan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto tentang garis waktu penularan untuk dua perempuan Indonesia itu berbeda dari pernyataan yang dibuat oleh pejabat pemerintah lainnya dan wawancara yang diberikan pasien berusia 64 tahun kepada Kompas.
Pada Senin (2/3), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan terdapat 115 orang di ibu kota yang dicurigai memiliki virus corona, tetapi konon Menkes Terawan membantahnya. Mungkin ini yang dinamakan anomali informasi.
Pada Selasa (3/3), Kompas menerbitkan sebuah wawancara dengan pasien yang berusia 64 tahun di mana dia mengaku dirinya dan sang putri atas inisiatif sendiri telah meminta dites virus corona. Tindakan mereka dilakukan setelah mendengar pengunjung Jepang yang ditemui putrinya telah didiagnosis dengan COVID-19. Ibunya mengaku, sang putri pada awalnya didiagnosis menderita bronkitis.
Pada hari yang sama, otoritas kesehatan setempat di Cianjur, sekitar 100 kilometer di selatan Jakarta, mengumumkan seorang pria telah meninggal, sementara tesnya untuk virus corona yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan hasil negatif. Namun, ketika Kemenkes diminta memberikan komentar lebih lanjut, mereka bahkan mengaku tidak memiliki informasi tersebut.
Bagaimana bisa masyarakat dapat mempercayai pihak berwenang ketika lembaga pemerintah tidak merilis informasi yang konsisten? Ini sungguh masalah yang cukup serius.
Penularan Lokal di Indonesia
Saat ini, pemerintah telah mengidentifikasi sekitar 80 orang yang dicurigai sebagai pasien suspek virus corona karena mereka telah melakukan kontak dengan para pasien yang terinfeksi.
Sekitar 50 dari mereka adalah anggota keluarga pasien dan karyawan Rumah Sakit Mitra Keluarga di Depok, di mana pasien pertama kali dirawat. Sebanyak 30 orang lainnya adalah pengunjung ke klub malam di Kemang, Jakarta Selatan yang banyak didatangi kaum ekspatriat dan telah dikunjungi oleh pelancong Jepang sebelum terjangkit virus.
Hal ini menjadi indikator yang nyata bahwa penyakit COVID-19 telah memasuki tingkat “penularan lokal” di Indonesia. Tampaknya, Pemerintah harus merevisi langkah-langkah pendeteksiannya untuk berfokus pada kasus-kasus yang berasal dari luar negeri dan ditularkan oleh para pelancong asing.
Pemerintah juga perlu mendorong masyarakat umum untuk segera mencari pengobatan, jika mereka mengalami gejala virus corona seperti batuk, pilek, dan demam.
Para dokter dan rumah sakit juga sudah semestinya memperketat tindakan deteksi mereka untuk menangani wabah. Dokter harus mencari informasi lebih terperinci tentang pasien, termasuk interaksinya dengan orang asing dari negara-negara yang telah menunjukkan infeksi COVID-19.
Saat ini, pasien yang dicurigai yang lulus pemeriksaan awal atau yang tidak menunjukkan gejala tidak diharuskan untuk melakukan tes usap. Tentu saja itu mendorong orang untuk bertanya-tanya tentang akurasi proses deteksi penyakit virus corona. Semestinya perlu berubah, karena ada kasus di seluruh dunia yang dites positif walaupun tanpa menunjukkan gejala apa pun.
Menkes Terawan juga harus menunjukkan bahwa ia menangani krisis kesehatan masyarakat dengan serius. Sebelum kasus virus corona yang pertama dikonfirmasi di Indonesia, Terawan mengaitkan kurangnya infeksi di negara ini dengan kekuatan doa.
Terawan juga menyebutkan, “COVID-19 adalah penyakit yang dapat menyembuhkan dirinya sendiri.”
Pernyataan seperti itu tentu saja membuat warga enggan untuk segera mencari perawatan, seperti yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pernyataan mcam ini juga dapat menyebabkan orang yang jatuh sakit untuk meremehkan gejala mereka sebagai flu biasa, sehingga pada akhirnya dapat membahayakan.
Sudah selayaknya, Indonesia perlu memastikan lembaga-lembaga pemerintah menyampaikan pesan yang sama, mengikuti rekomendasi kesehatan oleh WHO, dan meningkatkan transparansi untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga negara, serta mencegah epidemi virus corona agar tidak meningkat. (Abdul Kholis/Diolah dari berbagai sumber)