Budaya  

Mengenang 1000 Hari Kepergian N. Riantiarno: Panggung Puitis di Graha Bhakti Budaya

MATRANEWS.id Mengenang 1000 Hari Kepergian N. Riantiarno: Panggung Puitis di Graha Bhakti Budaya

Sore itu di tengah gerimis, Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki dipenuhi para undangan memperingati wafatnya almarhum N Riantiarno.

Di tempat inilah, Minggu (26/10), para sahabat, keluarga, dan murid berkumpul untuk mengenang 1000 hari kepergian Nobertus Riantiarno, atau yang akrab disapa Mas Nano—pendiri Teater Koma, penulis naskah, sutradara, sekaligus jurnalis yang meninggalkan jejak mendalam di dunia seni dan pers Indonesia.

Namun acara ini bukan sekadar doa arwah. Seperti hidupnya yang penuh teater, peringatan bertajuk “Mengenang N. Riantiarno” itu berubah menjadi panggung puitis.

Episode-episode hidup sang maestro disusun lewat pembacaan dramatik naskah, puisi, dan testimoni para sahabat yang menghadirkan kembali semangat, tawa, dan kesunyian Nano di atas pentas.

Di antara yang tampil: Deddy Mizwar, Netta Kusumah Dewi, Jajang C. Noer, Dewi Matindas, Jose Rizal Manua, Shanaz Haque, dan Tio Pakusadewo. Mereka bukan sekadar membacakan teks; tiap kalimat seolah memanggil roh teater yang dulu pernah hidup bersama Nano.

Episode demi episode kehidupan sang maestro disusun dalam bentuk dramatik: pembacaan naskah, puisi, dan testimoni.

Tak ada air mata berlebihan, hanya kata-kata yang menyalakan kembali semangat dan tawa Nano, sosok yang tak pernah benar-benar pergi dari panggung Indonesia.

Bersama sang istri, Ratna Riantiarno, ia mengubah teater menjadi ruang kritik yang hangat dan lucu. Dari “Sampek Engtay” hingga “Opera Sembelit”, karya-karyanya tak sekadar hiburan, tapi juga cermin sosial yang tajam.

Di acara peringatan itu, nama Ratna kerap disebut—bukan hanya sebagai pasangan hidup, tapi sebagai rekan seperjuangan yang menyeimbangkan kerasnya idealisme Nano dengan kelembutan sehari-hari.

Nano tak pernah lepas dari Ratna Riantiarno, istri sekaligus rekan seperjuangannya di Teater Koma. Keduanya dikenal sebagai pasangan yang saling meneguhkan, membangun teater sebagai ruang bagi suara rakyat. Nano mendirikan teater yang berani bicara tentang kekuasaan, kemanusiaan, dan Jakarta yang riuh.

Bagi dunia teater, Nano Riantiarno adalah guru yang tak menggurui—pelatih yang menanamkan disiplin dan keberanian bersuara lewat karya. Namun bagi kalangan jurnalis, ia juga dikenal wartawan bersama istri Gus Dur Sinta Nuriyah di Majalah Zaman dan Pemred Majalah MATRA: “bos rasa teman”, begitu istilah yang muncul berulang dalam kesaksian.

Tulisan-tulisan kenangan dari Andy F. Noya, S.S. Budi Raharjo, UU Suhardi, Cendrawati, Irfan Budiman, Widjayanto, Nurdin Kalim, Ismunandar, Tantyo Bangun, Urry Kartopati, hingga Drigo L. Tobing turut dibacakan secara bergantian.

Dalam sepuluh menit di Andy F Noya dan Meike Malaon membacakan potongan demi potongan tulisan kenangan, yang membentuk mosaik kecil tentang sosok yang mereka panggil Mas Nano: seorang guru kemandirian, pemimpin yang menegur tanpa suara tinggi, dan teman yang selalu menemukan alasan untuk tertawa di tengah tekanan.

Di akhir layar panggung, kru MATRA saat di bawah grup majalah TEMPO foto-foto sekalian reuni. Ada Upiek istri Mas Andy Noya, Gogor Ugroseno, Dian S Andriyanto, Debra Yatim, Gemala mewakili Ricardo Iwan Yatim, dan Laksamana Sukardi yang datang mewakili Wina Armada yang selain Fikri Jufri almarh mantan Pemred MATRA.

Sejatinya, komunikasi mereka sebelumnya terjalin hangat lewat grup WhatsApp “NR 1000 HR”, yang dipandu Satriana Yudanti dan Sari Madjid.

Mereka datang tak hanya untuk mengenang, tapi juga untuk melanjutkan percakapan yang dulu sempat terhenti: tentang seni, kerja keras, dan keberanian berpikir merdeka.

https://www.hariankami.com/profile-kami/23616149346/mengenang-1000-hari-kepergian-n-riantiarno

  • BACA JUGA: MAJALAH MATRA edisi OKTOBER 2025, Klik ini