Sang Rice Flower: Luka, Seni, dan Upaya Menemukan Rumah di Dalam Diri

citra guru

MATRANEWS.ID“Aku suka bunga,” ujar Citra lirih sambil tersenyum. “Karena mereka berani hidup indah meski tahu akan layu.”
Kalimat itu seolah menjadi cermin perjalanan hidupnya: seorang wanita yang memilih tetap lembut meski dunia pernah menorehkan luka.

Citra, 34 tahun, guru seni di sebuah SMP di Depok, dikenal murid-muridnya sebagai sosok sabar dan inspiratif. Namun di balik ketenangan wajahnya, ada kisah panjang tentang perjuangan batin, kehilangan arah, dan proses menemukan makna hidup melalui seni.

Sejak kecil, Citra tumbuh dalam suasana yang tidak mudah. Ia mengaku pernah menjadi korban bullying sejak duduk di bangku SD hingga kuliah.

Pengalaman itu menorehkan luka mendalam yang membentuk karakternya hingga dewasa.

“Dulu aku sering dianggap aneh karena pendiam. Tapi aku cuma gak mau ribut,” ujarnya.

Daripada marah, Citra memilih diam. Ia mengalihkan rasa sakitnya dengan membaca dan menulis. Buku menjadi pelarian, sementara bunga menjadi tempatnya belajar arti keteguhan.

Setiap kali menanam bunga di halaman rumah, ia merasa seolah sedang menumbuhkan dirinya sendiri. “Setiap kelopak yang tumbuh,” katanya, “selalu mengingatkanku bahwa aku masih bisa bertahan.”

Pernikahan dan Rumah yang Sunyi

Ketika dewasa, Citra berharap kehidupan berumah tangga akan memberinya ketenangan. Namun, pernikahan yang ia impikan tak berjalan seperti harapan. Ia merasa salah memilih tempat pulang.

“Aku gak punya rumah,” tulisnya dalam catatan pribadinya. “Bukan karena gak ada atap, tapi karena gak ada hati yang bisa aku pulangi.”

Rasa kecewa dan kehilangan itu membuatnya sempat mempertanyakan keadilan Tuhan.

Namun, di tengah pergulatan batin itu, ia justru menemukan arah baru — bahwa Tuhan mungkin tidak diam, hanya berbicara lewat cara yang berbeda.

“Kadang Tuhan gak menjawab lewat doa,” ujarnya. “Tapi lewat kesunyian, atau lewat angin di gunung.”

Gunung dan Seni Sebagai Terapi

Citra mulai mendaki gunung untuk mencari ketenangan. Di alam terbuka, ia menemukan ruang untuk bernapas tanpa harus menjelaskan apa pun. “Di gunung, aku gak perlu kuat,” katanya. “Aku cuma perlu jujur.”

Kegiatan itu beriringan dengan profesinya sebagai guru seni. Di ruang kelas, Citra tidak hanya mengajarkan teknik menggambar, tapi juga mengajarkan murid-muridnya mengenal perasaan.

“Seni bukan soal indah,” tuturnya. “Seni adalah cara memahami diri.”

Dari hasil pengamatannya terhadap murid, banyak anak yang merasa canggung mengekspresikan emosi. Ia lalu menggunakan pendekatan psikologis dalam pengajaran, agar seni menjadi alat terapi kecil bagi siswa yang diam-diam terluka seperti dirinya dulu.

Rice Flower: Filosofi Hidup

Filosofi yang paling melekat pada Citra adalah tentang bunga padi — Rice Flower.

Menurutnya, padi adalah simbol manusia yang berisi namun tetap menunduk. “Semakin berisi, semakin menunduk. Itu artinya semakin bijak,” ujarnya.

Ia menanam padi dalam pot kecil di rumahnya sebagai pengingat bahwa kedewasaan lahir dari kerendahan hati. “Bunga padi tumbuh di lumpur, tapi menghasilkan kehidupan,” tambahnya. “Aku ingin hidup seperti itu.”

Kini, setiap sore Citra rutin menyiram bunga di taman kecilnya. Ia memperlakukan setiap bunga seperti sahabat lama yang mendengar tanpa menghakimi. Dari sana, ia belajar bahwa keindahan sejati tidak perlu diakui siapa pun.

Dari Madilog ke Refleksi Diri

Selain seni dan alam, Citra gemar membaca karya filsafat. Salah satu bukunya yang paling berkesan adalah Madilog karya Tan Malaka.

Ia menyebut buku itu sebagai cara menata pikirannya yang sering kalut. “Tan Malaka ngajarin aku berpikir logis, tapi bunga ngajarin aku untuk merasa,” katanya tersenyum.

Bagi Citra, hidup tidak cukup dijelaskan dengan logika. Ada ruang batin yang hanya bisa dipahami lewat rasa. Di titik inilah ia menemukan keseimbangan antara berpikir dan merasakan.

Menemukan Tuhan Lewat Keheningan

Citra mengaku sempat marah pada Tuhan karena rasa kehilangan yang menumpuk.

Namun, proses itu justru membuat imannya lebih matang.

Ia menemukan spiritualitas bukan lewat ritus besar, melainkan dalam hal-hal kecil: tawa murid, embun di pagi hari, atau aroma bunga yang baru mekar.

“Tuhan gak selalu menyembuhkan,” katanya tenang. “Kadang Ia cuma menemani sampai aku bisa sembuh sendiri.”

Profil Empatik

Dari sisi psikologi, Citra menunjukkan ciri kepribadian INFJ/INFP — sensitif, reflektif, dan empatik tinggi. Ia cenderung menyerap emosi orang lain namun sulit membagikan emosinya sendiri.

Ia menggunakan seni dan tulisan sebagai bentuk sublimasi, yakni menyalurkan energi emosional ke hal produktif dan kreatif.

Menurutnya, seni adalah jalan tengah antara berpikir dan berdoa. “Aku gak perlu kuat,” tulisnya di jurnalnya, “aku cuma perlu damai.”

Wanita yang Menjadi Taman

Kini, Citra tak lagi mencari rumah di luar dirinya. Ia membangun taman kecil dalam hati — taman yang dipenuhi bunga, warna, dan ketenangan.
Setiap bunga yang ia rawat adalah bagian dari dirinya yang telah belajar berdamai.

“Bunga gak takut layu,” ujarnya. “Mereka percaya setiap musim punya waktunya sendiri.”

Citra sadar hidup tidak harus sempurna. Ia hanya ingin mekar, meski perlahan. Ia memilih untuk tetap lembut di dunia yang sering keras.

Refleksi Akhir

Kisah Citra adalah potret bagaimana luka tidak selalu menghancurkan, tapi bisa menumbuhkan. Ia menunjukkan bahwa kesunyian pun bisa melahirkan keindahan, jika kita mau mendengarnya dengan hati.

Aku cuma mau tetap mekar,” katanya menutup percakapan. “Walau kadang tangkai ini nyeri, aku tahu aku masih hidup.