MATRANEWS.id — Jujur saja. Salah satu pos pengeluaran yang paling saya benci adalah “sumbangan”, apa pun bentuknya.
Bukan, bukan, jangan salah paham, saya bukan orang pelit. Cuma, kata “sumbangan” seharusnya lebih bersifat sukarela daripada wajib. Ya, enggak?
Enggak tahu kenapa, kata ini buat saya lebih terkesan memaksa ketimbang sekadar terserah mau ngasih atau enggak. Ketika ia menjadi wajib, yang ada, kita menjadi kesal setengah mati.
Hal lain yang bikin saya kesal, pada beberapa kesempatan, besarnya angka sumbangan yang kita berikan ikut menentukan besarnya image orang terhadap kita.
Saya jadi ingat kalau kita datang ke undangan pernikahan.
Jujur saja, di banyak pesta pernikahan, terutama kalau salah satu orang tua pengantin tersebut adalah pejabat, orang tua yang mengadakan acara masih sering menghitung seberapa besar amplop yang diberikan masing-masing tamunya.
Pernah saya melihat, ketika si orang tua membuka amplop, dia berkata, “Oooh, dia ngasih segini…. Aaah, dia cuma ngasih segitu…. Si ini ngasih berapa? Si itu ngasih berapa? Waduh, dia kan pejabat, temen saya sudah lama, kok, dia cuma ngasih segini, sih?”
Halah, halah…, masak, image orang diukur dari seberapa besar angka sumbangan yang diberikan? Mangkel enggak sih mendengarnya?
Sekarang begini saja. Anda mangkel atau tidak, kenyataannya itu memang terjadi.
Dan Anda, pembaca MATRA yang terhormat, suka atau tidak, berada di komunitas masyarakat yang seperti itu. Jadi, Anda tidak punya pilihan selain mengikuti saja aturan seperti itu, biarpun hati Anda mangkel setengah mati.
Tapi, tentu saja, saran saya, jangan sekadar menuruti. Yang perlu Anda lakukan adalah menyiasatinya.
Ya, dong, jangan sampai Anda bayar-bayar sumbangan, tapi nanti penghasilan Anda malah habis hanya untuk bayar sumbangan.
Sebab, jujur saja, sering kali permintaan sumbangan sangat-sangat besar. Dari kerabat (dalam acara pernikahan, misalnya), dari saudara (ini sih bukan lagi sumbangan, tapi setengah memaksa), dari klien, dari lingkungan, halah… halah…, pusing kita dibuatnya.
Jadi, sekarang Anda perlu tahu bagaimana cara yang baik dalam menyiasati keuangan untuk membayar sumbangan-sumbangan wajib tersebut. Oke?
Ini dia:
-Perhatikan Kebutuhan Sebenarnya
Kalau Anda perhatikan, permintaan sumbangan wajib datang dari pihak yang berbeda-beda. Seperti yang saya bilang, bisa dari kerabat, saudara, klien, lingkungan, atau bahkan dari acara yang sulit Anda tolak.
Kalau memang demikian, cobalah membiasakan diri untuk memperhatikan seberapa besar kebutuhan sebenarnya dari permintaan sumbangan tersebut.
Prinsipnya, ngapain amat memberikan sumbangan gede-gede kalau Anda tahu bahwa pihak itu sebetulnya masih mampu membiayainya sendiri?
Mendingan Anda menyumbang ke rumah yatim. Ya, enggak?
Kalau Anda perhatikan, hanya karena itu permintaan sumbangan, sering Anda langsung memberikan uang begitu saja tanpa melihat-lihat seberapa besar kebutuhan sebenarnya dari pihak yang minta sumbangan.
-Jangan Terlalu ‘Show Off’
Oke, saya tahu Anda sukses di karier Anda. Tapi, sesukses-suksesnya Anda, cobalah jangan terlalu show off.
Percaya sama saya, Anda sendiri yang akan susah kalau terlalu sering show off. Kenapa? Karena permintaan sumbangan biasanya akan datang pertama kali kepada pihak yang dianggap punya banyak uang.
La, kalau Anda sering show off, itu namanya Anda menunjukkan diri kepada banyak orang bahwa Anda sukses dan punya banyak uang, sehingga biasanya Andalah yang menjadi target pertama kali kalau ada yang minta sumbangan.
La, kalau Anda mendapatkan banyak sekali permintaan sumbangan, Anda sendiri yang akan kerepotan. Sebab, “Nolak enggak enak, tapi ngasih juga enggak enak kalau sedikit….”
-Bujet-Bujet-Bujet
Saya tahu Anda mampu. Tapi cobalah memberikan batasan kepada diri Anda sendiri tentang berapa besar sumbangan yang bisa Anda berikan kepada orang lain.
Contohnya?
Katakan saja Anda punya penghasilan sepuluh juta sebulan, mungkin batas sumbangan yang bisa Anda kasih adalah, misalnya, sejuta sebulan.
Atau hitungannya bisa juga dari simpanan yang Anda punya. Katakan saja simpanan uang tunai Anda di bank Rp 100 juta. Ini berarti batas sumbangan Anda adalah, misalnya, Rp 10 juta.
Tentu enggak ada aturan yang ideal berapa besar persentase sumbangan yang harus Anda kasih dari penghasilan atau simpanan Anda.
Tapi, dengan membuat batas untuk diri Anda sendiri, Anda bisa mengontrol jangan sampai permintaan sumbangan itu menghabiskan penghasilan Anda.
Toh, Anda juga punya pengeluaran lain yang harus dibayar, enggak melulu untuk bayar sumbangan.
Terakhir dari saya, saya tahu Anda mampu menyumbang berapa pun itu. Tapi, seperti yang saya bilang, jangan sampai hanya gara-gara gengsi, permintaan sumbangan itu menggerogoti keuangan Anda.
Kalau Anda pernah naik pesawat, di awal penerbangan pramugarinya selalu bilang, “Apabila tekanan udara di kabin berkurang, masker oksigen akan turun, dan pakailah masker tersebut.
Bagi Anda yang membawa anak-anak, pakaikan dulu masker tersebut ke diri Anda, baru pakaikan ke anak Anda.”
Sama juga, jangan pernah ngasih sumbangan yang terlalu banyak kalau itu sama saja dengan menggerogoti keuangan Anda.
Cukup jelas, bukan?
baca juga: majalah Matra edisi cetak — klik ini
www,majalahmatra.com