Presiden Jokowi Kembali Jenguk Habibie di RSPAD Senin Ini

Presiden Jokowi Kembali Jenguk Habibie di RSPAD Senin Ini

 

Presiden Jokowi, ketika beberapa waktu lalu menjenguk.

MATRANEWS.id –Kondisi Habibie (Presiden Ketiga Republik Indonesia),  kembali menurun dalam beberapa hari terakhir ini.

Presiden Jokowi menjenguk, Senin, 9 September 2109.  Sekitar 18.23 WIB, Jokowi didampingi Sekretaris Negara Pratikno tiba di rumah sakit.

BJ Habibie dirawat di Cerebro Intensive Care Unit (CICU), Paviliun Kartika RSPAD Gatot Subroto. Terkait kondisi saat ini, B.J Habibie masih berada dalam pengawasan ketat dan harus banyak istirahat.

Setelah sekitar 10 menit berada di ruangan, Jokowi kemudian meninggalkan RSPAD. Tampak mendampingi, Kepala RSPAD Gatot Subroto dr Terawan Agus Putranto.

BJ Habibie masuk RSPAD sejak 1 September 2019,  dalam pengobatan yang konprehensif mencakup gangguan organ. Aktivitas Habibie memang padat, yang menyebabkan kelelahan.

Pria yang pada usia 62 tahun ini, memang  sosok yang ramah.  Ia sempat ngobrol hangat dengan Pemred Majalah MATRA saat perayaan 17 Agustus di istana negara.

BJ Habibie sehat, berbincang hangat dengan CEO Eksekutif & Pemred Majalah MATRA, saat perayaan 17 Agustus di istana negara.

Profesor Dr B.J Habibie Tokoh Panutan.

Menjadi kebanggaan bagi banyak orang di Indonesia. Selain dikenal sebagai orang paling cerdas dan ahli pesawat terbang, ia juga dikenal sebagai Mantan presiden ketiga Republik Indonesia.

Pria kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 itu sempat sakit. Tapi, pada peringatan ulang tahun RI ke 73 tahun, Habibie hadir walau usia sudah terbilang senja.

Bersahabat untuk diminta foto bersama dan mau berkisah tentang gagasan. Masih tetap menggebu-gebu dalam menyampaikan nasihat-nasihatnya.

Baca juga :  Buah Untuk Atasi Asam Urat, Klik ini

“Kalau ditanya Habibie umur berapa? Saya jawab 90-10, namun jiwanya saya tetap 17 tahun, karena hidup ini hanya 24 jam sehari maka kita perlu melakukan hal yang bermanfaat,” ujar bapak Teknologi Indonesia ini, masih dengan semangat.

Anak keempat dari delapan bersaudara dari pasangan pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo ini, menyebut gagasan untuk membangun “eksekutif klub” sebagai aset bangsa.

“Orang baik dan hebat, memang harus bersatu,” ujarnya kepada S.S Budi Rahardjo alias Jojo.

Sementara itu pesannya kepada pemimpin Indonesia.

“Pemimpin itu, harus mengutamakan hubungan relasi penuh kasih sayang dan penuh penghargaan. Bukan untuk penghargaan tapi untuk melayani sesama manusia. Jangan karena status kekuasaan semata,” ujar Habibie.

“Pemimpin itu harus bisa menerima kritik, rendah hati, memahami orang lain dan paling penting adalah mengenali dirinya sendiri.”

Mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi selama 2 dekade mulai dari 1978 hingga 1998 di era Presiden Soeharto.  Lalu, 14 Maret 1998 Habibie terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia dalam Kabinet Pembangunan VII.

Ia juga menduduki posisi ketua umum ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) saat masih menjadi menteri. Habibie sudah menunjukkan kecerdasannya sejak dini.

Tragedi Mei 1998

Era Reformasi membawa perubahan posisi Habibie.

Kerusuhan Mei 1998 yang melanda beberapa kota di Indonesia dan berpusat di Jakarta telah menggulingkan Presiden Soeharto yang sudah menjabat selama 32 tahun. Hal itu menyebabkan Habibie naik ke kursi Presiden terhitung sejak 21 Mei 1998.

Baca juga :  Celine Basalamah: Saya Harus Menjaga Performance dan Penampilan Terbaik Sebagai Profesional

Habibie Mengawal Reformasi.  Kala itu, Habibie memimpin Indonesia dengan menghadapi ketidakstabilan dan disintegrasi pasca kerusuhan Mei 1998.

Meski singkat menjadi presiden, tapi Habibie berhasil membuat trobosan untuk Indonesia di antaranya yaitu Undang-Undang Anti Monopoli atau Undang-Undang Persaingan Sehat, Undang-Undang Partai Politik, dan Undang-Undang Otonomi Daerah.

Selain itu juga, Habibie menciptakan beberapa perubahan seperti membebaskan masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya sehingga banyak lahir partai-partai baru. Ia juga menghapus larangan berdirinya serikat buruh independen dan membuat 12 Ketetapan MPR.

Dari sektor ekonomi, Habibie sukses menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang awalnya berkisar Rp10.000 hingga Rp15.000 dan di akhir pemerintahannya nilai rupiah meroket hingga 6.500 yang belum terulang lagi hingga tahun 2016.

Saat ia menjadi presiden, ada satu hal yang sangat krusial soal otonomi Provinsi Timor-Timur. Atas usul PBB, Presiden Habibie mengadakan jejak pendapat yang diselenggarakan 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET (United Nations Mission for East Timor) dan diikuti oleh penduduk Timor Timur.

Menurut Hasil yang diumumkan di New York dan Dili pada tanggal 4 September 1999 yang diikuti oleh 451.792 penduduk Timor-Timur. Sebesar 78.5% penduduk Timor Timur menyatakan menolak otonomi khusus yang ditawarkan Indonesia.

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka MPR RI dalam Sidang Umum MPR pada 1999 mencabut TAP MPR No. VI/1978 dan mengembalikan Timor Timur seperti pada 1975.

Baca juga :  10 Daftar Ide Kado untuk Sahabat Perempuan Murah dan Berkesan

Dalam bahasa lain, Provinsi Timor-Timur lepas dari Indonesia dan menjadi Negara Timor Leste.

Hal inilah yang memicu pihak oposisi Habibie berusaha keras menjatuhkannya.

Habibie Presiden ke tiga RI

Ia resmi selesai sebagai Presiden RI yang Ke-3 pada tanggal 20 Oktober 1999. ia memutuskan untuk tidak mencalonkan diri lagi setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR.

Setelah tidak menjabat sebagai presiden lagi, Habibie memilih tinggal di Jerman. Namun, pada era kepresidenan SBY, Habibie kembali aktif sebagai penasehat presiden dalam rangka mengawali proses demokrasi di Indonesia melalui organisasi yang didirikannya (Habibie Center). Ia juga aktif kembali di Partai Golkar sebagai Ketua Dewan Penasehat.

Pada tanggal 22 Mei 2010, Habibie harus kehilangan sang istri akibat kanker ovarium yang dideritanya. Sebagai bentuk kecintaan Habibie kepada mendiang istrinya, Ia menulis sebuah buku bertajuk “Habibie & Ainun” setebal 323 halaman yang kemudian diangkat ke film layar lebar dengan judul yang sama.

Sang ayah merupakan seorang ahli pertanian dari Gorontalo dan memiliki keturunan Bugis. Sedangkan sang ibu asal Jawa dan merupakan anak dari dokter spesialis mata di Yogyakarta.

baca juga: majalah MATRA edisi cetak — klik ini

 

 

Tinggalkan Balasan