Profesionalisme Jaksa Dalam Menuntut Penyalahguna

Profesionalisme Jaksa Dalam Menuntut Penyalahguna

MATRANEWS.id — Oleh  Komjend Pol (P) Dr Anang Iskandar, SIK, SH, MH.

45 tahun yang lalu sejak Indonesia mengadobsi dan meratifikasi konvensi tunggal narkotika 1961 beserta protokol yang merubahnya menjadi UU no 8 tahun 1976 dan memberlakukan UU no 9 tahun 1976 tentang narkotika.

Sejatinya pengadilan sudah harus memberlakukan restoratif justice dalam menyelesaikan permasalah pecandu, penyalah guna dan korban penyalahgunaan narkotika.

Bahkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang  berlaku sekarang ini, dibuat atas dasar UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya.

Yang pada dasarnya proses penyelesaian masalah menyalahgunakan atau menggunakan narkotika untuk diri sendiri menggunakan restoratif justice.

Kewenangan dan kewajiban melakukan restoratif justice berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika diberikan kepada hakim yang mengadili perkara penyalahgunaan narkotika.

Dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Hakim berkewajiban (pasal 127/2) untuk memperhatikan kondisi taraf ketergantungan narkotika terdakwanya.

Kewajiban hukum terdakwanya dan unsur pemaaf atau unsur yang meringankan apabila terdakwa melakukan kewajiban lapor ke IPWL untuk mendapatkan perawatan atau rehabilitasi.

2. Hakim juga diberi kewajiban untuk menggunakan kewenangan justice for health yaitu kewenangan dapat memutuskan untuk memerintahkan terdakwa menjalani rehabilitasi bila terbukti bersalah dan menetapkan untuk memerintahkan terdakwa menjalani rehabilitasi bila terbukti tidak bersalah.

3. Kewenangan memutuskankan atau menetapkan terdakwa menjalani rehabilitasi yang diberikan kepada hakim (pasal 103) adalah, kewenangan untuk mewujudkan penyelesaian masalah penyalahgunaan narkotika secara restoratif justice dengan pendekatan yuridis sekaligus pendekatan medis.

Baca juga :  Perdana Menteri Timur Leste, Mundur

4. Rehabilitasi dinyatakan sebagai bentuk hukuman, masa menjalani rehabilitasi diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Namun dalam prakteknya hakim lebih memilih menjatuhkan hukuman penjara mengikuti tuntutan jaksa, ketika menjatuhkan hukuman kepada penyalah guna meskipun terbukti secara sah sebagai penyalah guna bagi diri sendiri.

Era restoratif justice

Setelah 45 tahun menunggu penyelesaian masalah penyalahgunaan narkotika melalui restoratif justice.

Bersyukur Mahkamah Agung melalui Dirjend Badan Peradilan Umum mengeluarkan keputusan tentang pedomam penerapan restoratif justice di lingkungan peradilan umum, berlaku terhitung tanggal 22 desember 2020.

Dalam pedoman penerapan tersebut, restoratif justice dapat diterapkan pada perkara pecandu, penyalah guna dan korban penyalahgunaan narkotika dengan indikasi kepemilikan terbatas untuk pemakaian sehari.

Penekanan dari pedoman penerapan restoratif justice Mahkamah Agung ditujukan kepada:

1. Para panitera pengadilan negeri untuk memastikan bahwa jaksa telah melampirkan hasil assesmen.

Jika berkas perkara pada saat dilimpahkan tidak dilengkapi dengan hasil assesmen, maka hakim pada saat persidangan dapat memerintahkan jaksa untuk melampirkan hasil assesmen dari tim assesmen terpadu.

2. Hakim dapat memerintahkan terdakwa untuk menghadirkan keluarga atau fihak terkait untuk didengar keterangannya sebagai saksi yang meringankan.

3. Majelis hakim dalam proses persidangan dapat memerintahkan agar pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika untuk melakukan rehabilitasi pada lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial.

4. Pengadilan wajib menyediakan daftar lembaga rehabilitasi, rumah sakit yang ditunjuk oleh  menteri kesehatan yang tersebar diseluruh indonesia dengan berkoordinasi dengan BNN.

Baca juga :  Mahfud MD Menko Polhukam RI: Pemilu Tak Bisa Diundur

Jaksa harus lebih Profesional

Pada era restoratif justice, jaksa penuntut umum dituntut lebih profesinal dalam menangani perkara narkotika.

Perkara narkotika dengan jumlah kepemilikan narkotikanya terbatas dan digunakan untuk dikonsumsi proses penuntutannya mengacu pada tujuan UU yaitu memberantas pengedar narkotika dan menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi.

Dimana tujuan UU narkotika berbeda tujuan dalam menanggulang dan memperlakukan penyalah guna dan pengedar.

Dengan demikian jaksa penuntut umum hanya dapat menuntut penyalah guna yang menjadi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dengan pasal 127/1, tidak dapat dituntut secara subsidiaritas maupun komulatif dengan pasal lain karena penyalah guna hanya diatur dalam pasal 127/1 saja.

Selama ini jaksa menuntut penyalah guna dengan tuntutan secara komulatif dan/atau secara subsidiaritas dengan pengedar sehingga beralasan kalau penyalah guna dilakukan upaya paksa penahanan selama proses penuntutan.

Padahal penuntutan secara komulatif dan/atau subsidiaritas bertentangan dengan tujuan UU narkotika yang berlaku.

Penuntut umum juga dituntut untuk memberikan petunjuk secara profesional kepada penyidik yang menangani perkara penyalahgunaan narkotika agar menuntut dengan pasal tunggal 127/1, dan tidak melakukan penahanan.

Dan memberikan petunjuk kepada penyidik agar setiap perkara kepemilikan narkotika dengan jumlah terbatas untuk dikonsumsi atau disalahgunakan agar dimintakan assesmen kepada tim assesmen terpadu untuk mengetahui taraf ketergantungan narkotikanya.

Dalam menuntut setiap perkara narkotika yang ditanganinya, penuntut umum wajib menanyakan  tujuan kepemilikan narkotikanya.

Baca juga :  Menjadi Karyawan Tak Tergantikan. Bagaimana Kiatnya?

Apakah tujuannya untuk kepentingan dikonsumsi atau untuk diedarkan guna mendapatkan keuntungan?

Beda tujuan kepemilikan tersebut menyebabkan berbeda proses pidana dan pemidanaannya, meskipun penyalah guna dan pengedar keduanya dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana narkotika.

Mudah mudahan surat keputusan Dirjend Badan Peradilan Umum segera direspon oleh para panitera,  para hakim dan Ketua Pengadilan Negeri seluruh Indonesia agar pelaksanaan restoratif justice yang berlaku sejak tanggal 22 desember 2020 dapat diwujudkan.

Saya berharap dimulai dari perkara artis Catharine Wilson yang sedang bergulir di Pengadilan Negeri Depok dan Iyut Bing slamet di jakarta serta penyalah guna lainya yang sedang dalam proses pengadilan, mendapatkan penyelesaian secara restoratif justice.

Dan berharap pedoman restoratif justice bukan sekedar keputusan tentang pelaksanaan restoratif tetapi menjadi pedoman perilaku dan semangat para hakim yang memegang palu keadilan.

Penulis adalah  Komisaris Jenderal purnawirawan Polisi. Merupakan Doktor, yang dikenal sebagai bapaknya rehabilitasi narkoba di Indonesia.

Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Bareskrim Polri, yang kini menjadi dosen, aktivis anti narkoba dan penulis buku.

Lulusan Akademi Kepolisian yang berpengalaman dalam bidang reserse. Pria kelahiran 18 Mei 1958 yang terus mengamati detil hukum kasus narkotika di Indonesia. Baru saja meluncurkan buku politik hukum narkotika.

 

Tinggalkan Balasan