Publik Adalah Media! Dan Kita Adalah Jurnalis

Publik Adalah Media! Dan Kita Adalah Jurnalis


Publik Adalah Media

MATRANEWS.id — Tulisan dari Agung Laksamana, Ketua Umum BPP Perhumas Indonesia menarik disimak. Merupakan perspektif Humas: Apakah Peran Media Masih Dibutuhkan di Era 4.0?”

Dengan tag #HariPersNasional (HPN), Industri 4.0, Humas 4.0. Tulisan di wartaekonomi menjadi viral dan menjadi pembahasan banyak rekan-rekan media massa juga para humas.

Berikut tulisannya:

“Frankfurt, Juni 1963. Presiden Amerika Serikat John F Kennedy (JFK) dalam pidatonya berkata, “change is the law of life. And those who look only to the past or present are certain to miss the future.”

JFK sudah menerawang jauh ke depan mengantisipasi cepatnya perubahan.

Era Industri 4.0 dan transformasi digital telah mengubah tataran bisnis. Kita telah merasakan inovasi digital, teknologi baru, perubahan budaya, dan bisnis model yang saling berkompetisi. Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, Uber, Airbnb, Netflix, Amazon mengubah industri secara digital. Selebihnya adalah kisah sejarah sukses bisnis!

Era 4.0 pun mengubah dunia media dan kehumasan. Jika dulu media menjadi pilar keempat demokrasi, kini, media sosial mengubah arus informasi menjadi satu pilar lain dalam kebebasan berpendapat.

Secara esensi, di era 4.0, kita semua bisa menjadi “jurnalis”. Melempar isu via akun media sosial, berharap ada yang like dan share sehingga menjadi viral di antara netizen.

Baca juga : HealthNews.co.id: Zaman Baru, Tetaplah Sehat

Buktinya, ada 6.000 tweet per detik yang ditulis orang. YouTube mencatat ada satu miliar video views per harinya. Ada empat juta foto per jam yang diunggah di Instagram.

Baca juga :  Dibalik Cerita Pose Seksi Tara Basro

Facebook menyebutkan setidaknya ada tiga miliar likes & comment yang mereka dapatkan setiap harinya dan 15 juta foto yang di-upload per jam. Arus informasi mengalir sangat deras. Sekarang, publik adalah media! Dan kita adalah jurnalis.

Riset Visa bertajuk Consumer Payment Attitudes Study menyebutkan, orang Indonesia menghabiskan 6,4 jam sehari di smartphone atau 25%-an dalam keseharian mereka.

Sekitar tiga jam hanya untuk urusan media sosial. Bisa diartikan, masyarakat kita lebih sibuk dengan akun media sosial ketimbang menaruh perhatian pada media mainstream yang menawarkan trust dan kredibilitas.

Tidak salah jika saat ini sebagaimana Richard Edelman, CEO Edelman, menjelaskan bahwa: every organization is a media organization!

Era digital membuat semua bisa memiliki media sendiri, termasuk perusahaan. Cukup membuat website, mempekerjakan 3-4 orang, membuat konten, dan mempublikasikannya. Bahkan, search engines dan social network bisa menjangkau audiens secara langsung. Sesuai target readers-nya.

Namun, kondisi ini sontak berubah ketika humas harus berurusan dengan media konvensional.

Prinsip humas seperti Jean-Louis Gassée, Founder BeOS mengatakan bahwa: “advertising is saying you’re good. PR is getting someone else to say you’re good” adalah mantra!

Artinya, humas perlu media yang kredibel untuk memberikan ulasan positif tentang organisasi dan brand mereka.

Sementara data Dewan Pers menunjukkan ada 47.000 media di Indonesia saat ini.

Baca juga :  Arief Mulya Edie: Rakor Kesiapsiagaan Satpol PP, Jelang Pilkada Serentak Tahun 2020

Itu adalah jumlah media terbanyak di dunia! Humas harus memilah dan memilih. Tentunya, tidak semua media memiliki profil pembaca yang sesuai dengan target perusahaan.

Pertanyannya, apakah peran media masih dibutuhkan di Era 4.0?

Jawabannya tentu saja. Humas tetap membutuhkan trust dan kredibilitas media.

Sekalipun di era digital mampu membuat konten sendiri, humas tetap membutuhkan endorsement pihak ketiga, yaitu media. Dengan catatan, tentunya media yang menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Bukan media yang asyik menyebarkan fake news atau hoax.

Harus kita camkan, banyaknya klik, views, dan endorsement dari influencers bukan berarti berita kita dipercayai (trust). Sama saja dengan viralnya kampanye marketing di media sosial yang tidak otomatis berdampak pada revenue.

Begitu pula dengan dunia humas. Tidak ada gunanya membanjiri jutaan konten, mendapatkan jutaan klik, tapi tidak bisa mengubah imej dan persepsi publik terhadap reputasi perusahaan.

Artinya, humas masih butuh peran kredibel media. Ketika sebuah media yang dipercaya mau melakukan follow-up dari konten positif yang Anda tulis dan publish di media yang bersangkutan, maka trust pun diraih.

Baca juga : Survei Media di Asia Pasifik Tahun 2019

Meskipun transformasi digital telah mengubah dunia dan membuka kesempatan siapa saja menjadi media, bukan berarti love-hate relationship praktisi humas dan media berakhir.

Kedua industri ini harus beradaptasi! Hubungan profesional humas dan media di era 4.0 haruslah berbasis mutual respect dan common goals. Artinya, mereka harus saling melengkapi, bersinergi, dan berkolaborasi.

Baca juga :  BULOG Berduka Kehilangan Putra Terbaiknya

Perspektif saya, tidaklah tepat jika banyak pihak yang berspekulasi bisnis media telah memasuki masa senja. Sebab, humas dan masyarakat Indonesia tetap membutuhkan peran strategis media yang menjunjung tinggi dua hal yaitu trust dan integritas.

Selama ini bisa dipertahankan dan dijaga, niscaya peran media sebagai pilar keempat demokrasi tidak akan tergantikan oleh siapa pun.

Publik Adalah MediaPublik Adalah Media

Publik Adalah MediaPublik Adalah Media

Tinggalkan Balasan