Rifky Effendi Hardijanto: “Kebayang Enggak, Kalau BBM Langka?”

MATRANEWS.id – Masyarakat yang tak mengerti persoalan energi, hingga hari ini masih tersentak. Publik masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya yang terjadi, dibalik stabilitas investasi dan ketahanan energi, serta keterkaitan pembangunan kilang minyak.

Pertamina memastikan stok Bahan Bakar Minyak (BBM) dan elpiji secara nasional cukup aman. Dalam pernyataannya, Perseroan juga telah menyiapkan tambahan suplai untuk mengantisipasi lonjakan permintaan BBM dan elpiji yang biasanya meningkat di penghujung tahun, menjelang Natal dan Tahun Baru.

Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman menyatakan, stok BBM saat ini secara nasional mencapai 25 hari. Sementara itu, stok elpiji mencapai 15 hari. Ia menyebut angka tersebut dinamis, mengikuti tren peningkatan menjelang Natal dan Tahun Baru.

“Menghadapi Natal dan Tahun Baru nanti stok BBM dan LPG sangat aman sejalan dengan optimalisasi kilang dan teknologi yang diterapkan, sehingga bisa lebih mudah mengolah minyak mentah menjadi berbagai produk BBM,” ujar Fajriyah.

Pernyataan ini, seakan mengklarifikasi pernyataan Staf Ahli PT Pertamina (Persero) Rifky Effendi Hardijanto yang mengatakan salah satu persoalan yang dihadapi perseroan saat ini adalah tingkat cadangan alias stock level bahan bakar minyak yang sangat tipis. Ia menyebut, stok cadangan BBM yang dimiliki Pertamina hanya cukup untuk 12 hari.

Staf Ahli PT Pertamina (Persero) Rifky Effendi Hardijanto

Rifky mengatakan persoalan tipisnya stok harus disikapi oleh jajaran petinggi perusahaan, termasuk Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.  Staf Ahli Pertamina beri pesan ke Ahok, soal stok BBM yang hanya cukup buat 12 Hari.

“Sekarang ini stok kita hanya 12 hari, dengan luas wilayah seperti ini, enggak cukup,” ujar Rifky kepada majalah MATRA. “Pertamina kita, jangan direcoki sama kepentingan politik. Kita harus serius urus energy kita,” demikian pesannya.

Idealnya, berdasarkan standar internasional, stok BBM yang mesti dimiliki suatu negara harus mencapai 90 hari. Sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan jepang sudah memiliki stok melebihi standar tersebut. Begitu pula dengan Thailand dan Vietnam yang menuju ke tingkat tersebut.

Bicara soal tingkat cadangan BBM di Tanah Air yang sangat tipis, yakni hanya 12 hari, Staf Ahli PT Pertamina (Persero) Rifky Effendi Hardijanto, menyebut Indonesia bagai kendaraan yang hampir kehabisan bensin.

“Ibarat naik mobil, lampu penanda bensin menyala kedip-kedip, pom bensin di mana kita enggak tahu,” tuturnya dengan analogi yang sama, kita akan lebih nyaman jika sebuah kendaraan bisa memenuhi tangki bahan bakarnya.

Namun, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Indonesia mengalami kendala, yakni kurangnya kilang.

Sebab, pembangunan kilang belum kembali dilanjutkan, setelah era 90-an.  “Terakhir kita bangun kilang balongan kapasitas 125 ribu barel pada tahun 1990-an awal. Sampai sekarang belum ada lagi. Akibatnya, kita harus impor,” ungkap Rifky.

Sedangkan masalah lain yang menanti adalah produksi minyak mentah Indonesia yang juga merosot, dari kisaran 1,6 juta barel ke 760 ribu barel per hari.

Sehingga muncul pertanyaan menyoal bahan baku yang diolah oleh kilang nantinya.

Jika persoalan tingkat cadangan atau stok level bahan bakar minyak tak segera ditangani, Rifky menyebut, kondisi itu bisa menimbulkan dampak politik yang sangat besar.

“Kalau untuk negara ini berbahaya, karena berdampak ke political cost yang luar biasa, ketika rakyat kekurangan bahan bakar,” sambungnya tentang cadangan BBM.

“Kebayang enggak kalau BBM langka? Harga berapa pun itu akan tetap dibeli, biaya menjadi tinggi,” kata Rifky soal tingkat cadangan BBM di Tanah Air memang sangat tipis. Maka, harus disikapi oleh jajaran petinggi perusahaan.

Lebih lanjut ia mengatakan, di era sebelum krisis moneter, tahun 1990-an, Indonesia sempat memiliki tingkat cadangan minyak 35 hari, untuk dijual ke publik.

Namun, ketika perekonomian runtuh, International Monetary Fund datang, meminta perseroan mengurangi biaya peralatan, hingga maksimum 22 hari. Atau sama saja dipotong sebanyak 13 hari.

“Ketika itu, banyak program yang diambil, seperti penghematan dan sebagainya, sehingga memotong biaya perawatan dan investasi,” pungkas Rifky.

Padahal idealnya, berdasarkan standar internasional, stok yang harus dimiliki suatu negara, mencapai 90 hari.

Seperti Amerika Serikat dan Jepang, mereka sudah memiliki stok melebihi standar. Begitupun dengan Thailand dan Vietnam, yang menuju ke tingkat tersebut.

www.majalahmatra.com

Tinggalkan Balasan