Berita  

UNHAN dan IPSI Mendorong Modernisasi Pertahanan Komprehensif sebagai Respons terhadap Kerentanan Wilayah Indo-Pasifik

Acara ini dibuka oleh sambutan Rektor UNHAN, Letnan Jenderal TNI Jonni Mahroza, Ph.D., yang dibacakan oleh Dekan Fakultas Strategi Pertahanan (FSP), Mayjen TNI Dr. Priyanto

MATRANEWS.id – Universitas Pertahanan RI (UNHAN), bekerja sama dengan Indo-Pacific Strategic Intelligence (IPSI), menggelar Diskusi Kelompok Fokus (Focus Group Discussion/FGD) di Kampus Pascasarjana UNHAN, Jakarta, pada tanggal 5 Januari 2024, dengan tema “Kerentanan Kawasan Indo-Pasifik, Kesiapan Indonesia.”

Acara ini dibuka oleh sambutan Rektor UNHAN, Letnan Jenderal TNI Jonni Mahroza, Ph.D., yang dibacakan oleh Dekan Fakultas Strategi Pertahanan (FSP), Mayjen TNI Dr. Priyanto.

Dalam sambutannya, Rektor UNHAN mengapresiasi kegiatan ini sebagai langkah awal kerja sama institusional antara UNHAN dan IPSI.

Letnan Jenderal TNI Jonni Mahroza menekankan pentingnya sinergi dengan lembaga penelitian untuk merumuskan rekomendasi kebijakan berbasis data dan analisis strategis.

Oleh karena itu, UNHAN berkomitmen untuk memperkuat kolaborasinya dengan IPSI guna mewujudkan visi sebagai universitas kelas dunia.

Sebagai Pendiri/Penasehat Utama IPSI, Dr. Muhammad Hadianto, yang juga menjadi moderator dalam FGD ini, menyampaikan bahwa IPSI dibentuk sebagai wadah untuk menghimpun pemikiran yang berorientasi pada kebijakan, dengan fokus pada dinamika geostrategis di wilayah Indo-Pasifik dan upaya meningkatkan kesiapan nasional, khususnya melalui modernisasi tata kelola industri pertahanan.

FGD menghadirkan tiga pembicara utama, yakni Laksda TNI Dr. Ir. Agus Adriyanto (Wakil Rektor I UNHAN), Prof. A.A. Banyu Perwita (Guru Besar Hubungan Internasional, UNHAN), dan Aisha R. Kusumasomantri (Manajemen Eksekutif IPSI), yang menyoroti empat topik kunci: isu pengungsi Rohingya, keamanan di Papua, situasi di Laut Tiongkok Selatan, dan teknologi pertahanan 5.0.

Terkait isu pengungsi Rohingya, FGD menekankan penerimaan Indonesia terhadap pengungsi Rohingya, meskipun bukan sebagai pihak dalam Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951.

Diskusi merekomendasikan pendekatan kebijakan yang memperkuat koordinasi dalam unsur keamanan maritim Indonesia, terutama perlunya Maritime Strategic Command (MSC) di bawah koordinasi bersama kementerian terkait, termasuk Kementerian Pertahanan, dengan akses telekomunikasi dan satelit langsung ke seluruh pangkalan TNI AL.

Mengenai keamanan di Papua, FGD menyarankan bahwa pemerintah Indonesia perlu mengadopsi kebijakan terukur di wilayah Pasifik Selatan, termasuk evaluasi kerja sama teknis yang ada.

Secara domestik, pendekatan berbasis sosio-kultural, seperti nilai-nilai agama dan adat, serta peningkatan kapasitas melalui pendidikan vokasi dan beasiswa khusus bagi pemuda Papua yang bersekolah di luar negeri, direkomendasikan.

Dalam konteks kerentanan Kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS), panelis menekankan statusnya sebagai zona merah keamanan antara AS dan China. FGD mendorong Indonesia untuk mengevaluasi kembali strategi mitigasi bencana nuklir, termasuk penanganan pengungsi akibat radiasi nuklir.

Diskusi juga menyoroti perlunya antisipasi terhadap kecenderungan intrusif China melalui penguatan teknologi militer Indonesia, dengan menekankan program Deftech 5.0.

Topik terakhir membahas perkembangan teknologi pertahanan sebagai antisipasi perang non-konvensional. FGD mengingatkan akan kondisi tidak stabil di kawasan Indo-Pasifik dan rencana pemindahan ibu kota ke Nusantara, mendorong para pembuat kebijakan untuk mengevaluasi strategi nasional.

Diskusi menyerukan adaptasi cepat pemerintah, terutama melalui teknologi, mengingat kondisi militer Indonesia yang tidak seimbang dan kebutuhan akan akuisisi teknologi militer terkini dengan cepat dan efektif.

Sebagai kesimpulan, peserta FGD sepakat bahwa meskipun Indo-Pasifik menyimpan potensi ekonomi besar, wilayah ini sangat rentan terhadap ancaman keamanan dan pertahanan.

Oleh karena itu, kesiapan Indonesia perlu ditingkatkan, termasuk melalui modernisasi pertahanan komprehensif berbasis perubahan karakter perang, reformulasi doktrin pertahanan dan keamanan nasional, penguatan kapasitas SDM, terutama dalam aspek sains, teknologi, rekayasa, dan matematika (STEM), serta peningkatan kemampuan domestik untuk produksi alat kebutuhan militer yang transparan, akuntabel, dan ber-tata kelola baik, dengan dukungan kajian strategis dan insentif fiskal.

Tinggalkan Balasan