Hukum  

Public Watch Integrity Komentari Jaksa Agung Yang Usul Korupsi Rp 50 Juta Tak Usah Diproses Hukum

Public Watch Integrity Komentari Jaksa Agung Yang Usul Korupsi Rp 50 Juta Tak Usah Diproses Hukum

MATRANEWS.id — Ramai perihal usulan Jaksa Agung yang meminta kasus korupsi di bawah Rp50 juta tak perlu diproses hukum. Polemik pun terjadi, tak hanya di media sosial tapi juga di media mainstream. 

Jaksa Agung RI Sanitiar Burhanuddin menyebutkan bahwa korupsi di bawah Rp 50 juta bisa diselesaikan dengan pengembalian keuangan negara.

“Surat edaran sudah lama sejak 2010 dibuat di Kejaksaan, tapi sebenarnya tidak mempunyai payung hukum,” pernyataan Public Watch Integrity (PWI) terkait silang pendapat usulan ST Burhanudin, Jaksa Agung.

Peraturannya sudah ada, peraturan di bawah Rp50 juta itu bahkan sudah sejak 2010, dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-1113/F/Fd.1/05/2010.

“Implementasi dari pernyataan Jaksa Agung perlu disosialisasikan detil, jangan hanya termuat dalam peraturan di Kejagung. Namun, perlu menjelaskan lebih lanjut aturan yang dimaksudkannya itu,” masih pernyataan PWI.

Berawal dari pertanyaan anggota Komisi III DPR RI Benny K Harman yang pada pokoknya menyampaikan kepada Bapak Jaksa Agung RI,”Kasus korupsi di bawah Rp 1 juta janganlah diproses.”

Realitasnya, sampai saat ini, didapat data banyak kasus korupsi di bawah Rp 1 juta masih diproses. Ini yang kemudian dibilang hukum kita ini tumpul ke atas tajam ke bawah.

“Alangkah baiknya kalau pak JA membuat kebijakan supaya kasus korupsi Rp 1 juta ke bawah tidak diproses. Lebih baik proses kasus besar daripada kasus kecil,” kata wakil rakyat ini.

Baca juga :  Jubir MA Suharto Dilantik Menjadi Ketua Muda Pidana Mahkamah Agung

Kejaksaan memang akhirnya mengklarifikasi hal ini, agar tak terjadi simpar siur .

Kejaksaan Agung (Kejagung) RI perlu meluruskan terkait polemik rencana Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk menyelesaikan kasus korupsi dengan nominal di bawah Rp 50 juta yang tidak perlu melalui proses hukum.

Ia pun mencontohkan bahwa mekanisme pengembalian keuangan negara dapat dilakukan pada kasus pidana terkait dana desa.

Namun, ia menegaskan bahwa mekanisme hukum seperti itu hanya berlaku untuk kasus dengan kerugian negara yang tidak terlalu besar dan tidak dilakukan terus menerus.

“Terhadap perkara yang kerugiannya tidak terlalu besar, dan perbuatan itu tidak dilakukan secara terus menerus, maka diimbau untuk diselesaikan secara administratif dengan cara pengembalian kerugian tersebut,” ujarnya.

Perlu dijelaskan lebih masif, komen Public Watch Integrity, jika kasus korupsi itu melibatkan aparat, tetap akan ada sanksi disiplin yang dikenakan.

PWI, dalam rilisnya menyebut sebaiknya penyelesaian kasus tidak hanya berakhir saat pelaku sudah mengembalikan uang kerugian negara. Kalau pun itu pengembalian melibatkan aparat, kemudian akibat korupsi ini sebesar apa, perlu diperhitungkan juga.

Mekanisme pemberian hukuman secara internal oleh lembaga negara terhadap pelaku tindak pidana, seperti hukuman disiplin.

Aspek lain yang dipertimbangkan terkait dampak kasus korupsi terhadap masyarakat. Tingkat keberulangan korupsi yang dilakukan juga akan dipertimbangkan.

Tentang tindak pidana korupsi ringan di bawah Rp50 juta yang tidak akan diproses hukum masih menjadi perdebatan dan pembahasan menarik. Bahkan, surat edaran itu sempat menjadi pembahasan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Mabes Polri.

Baca juga :  Mahfud Suport Kejaksaan Agung Yang Kena Rumors Kasus ASABRI, BPJS dan Pelindo.

KPK dan Polri masih akan menata kembali perihal surat edaran itu. Meskipun, dalam Undang-Undangnya, lembaga antirasuah ini mempunyai batasan tentang kasus korupsi yang bisa ditangani yaitu Rp1 miliar atau lebih.

Tetapi, dalam beberapa operasi tangkap tangan KPK, nilai suap tersebut seringkali di bawah jumlah yang dimaksud. Namun hal itu, tidak membuat KPK terhalang menjerat pihak-pihak yang melanggar hukum dengan melakukan korupsi.

Surat edaran itu perlu dipaparkan lewat media, agar tersosialisasi ke masyarakat, apakah surat edaran ini sebagai bentuk efisiensi dalam hal penggunaan keuangan negara.

Karena jabarnya, uang yang dikorupsi sekitar Rp10 juta lebih baik uang dikembalikan ke negara dan perkaranya dihentikan. Apabila ditindaklanjuti mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan proses persidangan akan menghabiskan uang negara lebih dari Rp50 juta.

Apakah Anda punya pendapat, tentang mekanisme tersebut dipilih sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan berbiaya ringan?

BACA JUGA: majalah eksekutif edisi Januari 2022, klik ini

 

Tinggalkan Balasan