MATRANEWS.id – Hari ini, kita memperingati 54 tahun sejak Muammar Khadafi, tokoh kontroversial asal Libya, menggulingkan Raja Idris I dan memimpin negaranya. Kepemimpinan Khadafi tidak hanya mencuatkan karena metodenya yang unik dalam merebut kekuasaan, namun juga karena sikapnya yang tegas terhadap Barat, terutama Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.
Tak lama setelah menjadi Presiden Libya pada 1969, Khadafi mengusir militer AS dan Inggris dari tanah Libya serta melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing.
Pandangan ekstremnya terhadap Barat, sebagaimana diulas oleh Alison Pargeter dalam Libya: The Rise and Fall of Qaddafi (2012), mencakup gagasan menyatukan dunia Arab menjadi satu negara berdaulat melalui konsep “nasionalisme Arab”.
Meskipun banyak pemimpin di kawasan menolak gagasan ini, Khadafi memandangnya sebagai bagian integral dari dunia Arab, terutama dalam konteks kemerdekaan Palestina.
Sebagai upaya merealisasikan idealnya, Khadafi mendukung berbagai organisasi perjuangan kemerdekaan di seluruh dunia dan menyumbang dana serta persenjataan untuk organisasi-organisasi tersebut, terutama yang berfokus pada Palestina.
Pendekatan ini membuatnya dikenal sebagai negara pendukung terorisme oleh AS sejak 1975, menciptakan ketegangan yang semakin meningkat.
Puncak kemarahan terjadi pada 1986, saat Presiden AS Ronald Reagan menyebut Khadafi sebagai “Anjing gila dari Arab” setelah serangkaian pengeboman di Berlin yang diyakini berasal dari perintahnya.
Julukan ini kemudian menjadi pandangan umum di Barat, memperburuk citra Khadafi.
Meski di mata dunia Barat dia dipandang sebagai ancaman dan diktator yang brutal, di internal Libya, kekuasaan Khadafi memimpin negara ke dalam pusaran otoritarianisme.
New York Times mencatat bahwa selama masa pemerintahannya (1970-2011), tidak ada kebebasan demokrasi yang berarti, dengan kekayaan negara dimanfaatkan untuk memperkaya dirinya dan kelompok elit politiknya.
Terlepas dari kritik internasional dan kekacauan dalam negeri, Khadafi mempertahankan kekuasaannya hingga 2011, ketika gelombang Arab Spring dan intervensi militer oleh AS dan NATO mengakhiri pemerintahannya. Khadafi sendiri tewas pada 20 Oktober 2011.
Sayangnya, setelah kepergiannya, Libya belum mampu menemukan stabilitas dan keamanan yang diinginkan.