Anang Iskandar: Menkes Bertanggung Jawab Memberikan Layanan Rehabilitasi Bagi Penderita Sakit Adiksi Narkotika di Seluruh Indonesia

Anang Iskandar: Menkes Bertanggung Jawab Memberikan Layanan Rehabilitasi Bagi Penderita Sakit Adiksi Narkotika di Seluruh Indonesia

MATRANEWS.id — Menteri Kesehatan sebagai Menteri yang membidangi masalah narkotika, bertanggung jawab membuka layanan rehabilitasi di rumah sakit diseluruh indonesia agar dapat melayani penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika dan tidak boleh membiarkan penderita sakit adiksi, dipenjara.

Kemenkes juga tidak boleh mengabaikan penderita sakit adiksi narkotika tanpa layanan rehabilitasi, dengan alasan penderita adiksi itu karena salahnya sendiri, sengaja mencari penyakit dengan membeli narkotika untuk dikonsumsi secara illegal.

Mereka secara juridis adalah penderita sakit adiksi narkotika, yang dikriminalkan UU karena konsensus internasional, bukan karena niat jahat, mereka diwajibkan UU untuk melakukan wajib lapor guna mendapatkan layanan rehabilitasi, baik melalui program wajib lapor pecandu maupun rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim.

Pertanyaan kritisnya, apakah kemenkes sudah membuka layanan rehabilitasi di Rumah Sakit milik pemerintah bagi penderita adiksi narkotika di setiap kab/kota di indonesia agar mereka mendapatkan perawatan berupa rehabilitasi ? Jawabannya bisa ditebak, pasti belum.

Apakah hakim sudah menjatuhkan hukuman rehabilitasi bagi penyalah guna dalam proses peradilannya ? Jawabannya juga bisa ditebak, ada satu, dua belum banyak.

BACA JUGAPrestasi Penyidik, Ungkap Rekening Jumbo Temuan PPATK

Padahal roh dibuatnya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dalam menanggulangi masalah penyalahgunaan narkotika adalah rehabilitasi, melalui layanan wajib lapor pecandu (pasal 55) dan rehabilitasi melalui perintah penyidik, jaksa dan hakim serta keputusan atau penetapan hakim.

Penyalah guna yang ditangkap disidik, dituntut, diadili ditempatkan di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi (pasal 13 PP 25/2011) berdasarkan surat perintah penyidik, jakasa dan hakim selama menunggu proses pengadilan dan dalam proses pengadilannya, hakim wajib menggunakan kewenangan berdasarkan pasal 103.

Bila terbukti bersalah, hakim “memutuskan” yang bersangkutan menjalani rehabilitasi, bila tidak terbukti bersalah, hakim “menetapkan” yang bersangkutan menjalani rehabilitasi, masa menjalani rehabilitasi atas keputusan atau penetapan hakim diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Disisi lain pengedarnya dilakukan tindakan yang berbeda, setelah ditangkap, disidik dituntut dan diadili secara pidana dengan dijatuhi hukuman penjara, disertai tuntutan perampasan aset pengedarnya dengan pembuktian terbalik di pengadilan dan diputus jaringan peredarannya.

Baca juga :  Persekongkolan Antara Penyalah Guna dan Pengedar Dalam Hukum Narkotika

Penegak hukum WAJIB memperlakukan pengedar dan penyalah guna secara berbeda berdasarkan tujuan UU narkotika yaitu memberantas peredaran gelap narkotika dan menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi.

BACA JUGA:  Ganja Dieksport?  Negara Mana Yang Mengimport

Kontroversi terjadi pada praktek wajib lapor pecandu dan penegakan hukumnya, sejak berlakunya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, wajib lapor justru tidak berjalan sesuai yang diharapkan dan penegakan perkara terhadap penyalah guna narkotika justru dijatuhi hukuman penjara. Ya pantas penjara over kapasitas dan terjadi anomali dalam penjara di indonesia.

Secara de jure

Bentuk hukuman berdasarkan UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika, 1961 beserta protokol yang merubahnya yang menjadi sumber hukum narkotika di Indonesia menyatakan bahwa hukuman bagi penyalah guna adalah hukuman alternatif berupa rehabilitasi (pasal 36).

Berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, penyalah guna diatur hanya dalam satu pasal yaitu pasal 127/1 dengan unsur pembeda yaitu “digunakan bagi diri sendiri”, diancan pidana maksimum 4 tahun penjara.

Proses penegakan hukum perkara narkotika tujuannya dibedakan, terhadap pengedar diberantas dan terhadap penyalah guna narkotika dijamin UU untuk mendapatkan upaya rehabilitasi (pasal 4d).

Sehingga penerapan pasal dakwaan bagi penyalah guna, “tidak boleh dipaksakan” cara dengan dituntut secara komultif atau subsidiaritas dengan pengedar seperti selama ini terjadi karena beda tujuan.

BACA JUGA:  Narkotika, Bisa Menghilang Seperti Covid19

Dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika, hakim diberi serangkaian kewajiban (pasal 127/2): pertama, memperhatikan riwayat pemakaian narkotika dan taraf ketergantungannya apakah penyalah guna termasuk pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika melalui hasil assesmen dari TAT (pasal 54)

Kedua, Hakim wajib untuk memperhatikan apakah status pidana penyalah guna telah gugur dan berubah menjadi tidak dituntut pidana (pasal 55 jo pasal 128/1) dan

ketiga, hakim wajib menggunakan kewenangan yang diberikan UU narkotika yaitu dapat menghukum rehabilitasi (pasal 103).

Baca juga :  Kehebatan Prajurit TNI AL dalam Upacara HUT RI ke-78 di Tengah Samudra Atlantik Utara

Kalau penyalah guna telah diketahui riwayat pemakaian narkotika dan taraf ketergantungannya melalui hasil assesmen maka berdasarkan kewenangan pasal 103, hakim wajib menjatuhkan hukuman rehabilitasi.

Bentuk hukuman rehabilitasi dinyatakan secara jelas dalam pasal 103/2 yaitu masa menjalani rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim diperhitungkan sebagai masa menjalani rehabilitasi.

Secara de fakto

Bentuk hukuman bagi penyala guna menggunakan dasar KUHP pasal 10 yaitu menggunakan hukuman penjara, penggunaan dasar KUHP tersebut melanggar asas lex specialis derogat lex generalis.

Hukuman penjara bagi penyalah guna yang mempunyai riwayat menggunakan narkotika dan taraf ketergantungan tertentu, membahayakan masa depan penyalahguna narkotika dan merugikan negara.

Proses penegakan hukum narkotika menggunakan dasar KUHAP, memungkinkan penyalah guna didakwa secara komulatif atau subsidiaritas dengan pasal lain dan ada alasan penyalahguna dilakukan penahanan selama proses pemeriksaan.

Putusan pengadilan terhadap penyalah guna selama berlakunya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika tidak mencerminkan tujuan penegakan hukumnya yaitu menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi, tetapi justru menambah nestapa dan menyengsarakan masarakat serta merugikan negara.

BACA JUGA:  Penyalah Guna Narkotika Dipenjara itu Tidak Rasional dan Tak Berdasarkan Ketentuan Yang Berlaku

Mestinya penyalah guna tanpa pandang bulu hukumannya berupa rehabilitasi tetapi faktanya sebagai berikut:

Pertama, penyalah guna sebagian besar dijatuhi hukuman penjara.

Hal ini menyebabkan terjadinya lapas over kapasitas berkepanjangan yang sampai sekarang belum menemukan solusinya, terjadinya perkara penyalah guna keluar masuk penjara (residivisme penyalahgunaan narkotika), terjadinya penyalahgunaan dan peredaran gelap dalam penjara.

Kedua, penyalah guna sebagian kecil dijatuhi hukuman rehabilitasi seperti yang tejadi di Pengadilan Negeri Medan, dimana seorang kuli bangunan bernama Denny Hendra Darin warga jalan Rahmadsyah Ruko Town House Kelurahan Kota Matsun 1 Kecamatan Medan Area dengan dengan dakwaan berdasarkan pasal 127 ayat 1 hurup a,

Majelis Hakim berpendapat perbuatan terdakwa Denny Hendra Darin terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar pasal 127 ayat 1 huruf a UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Baca juga :  Sikap dan Bahasa Tubuh Anjing yang Normal dan Bisa Didekati

Keputusan majelis hakim, memvonis Denny Hendra Darin, kuli bangunan tersebut untuk menjalani rehabilitasi selama 6 bulan di Loka Rehabilitasi BNN Diliserdang, dikurangi masa rehabilitasi yang telah dijalani.

BACA JUGA:  Nia Rahmadani Dihukum Penjara, itu Salah Tapi Kaprah

Di Pengadilan Negeri Lampung tengah, lebih dari tujuh perkara penyalahgunaan narkotika yang dituntut dan didakwa didakwa berdasarkan pasal 127 ayat 1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dan hakim menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap penyalah guna dilaksanakan dilaksanakan di Loka Rehabilitasi BNN Kalianda

Kedua, penyalah guna dijatuhi hukum penjata dan hukuman rehabilitasi seperti terjadi di Pengadilan Negeri Surabaya, Jaksa penuntut umum menuntut terdawa dengan tuntutan rehabilitasi namun hakimnya memutuskan empat bulan pidana penjara dan rehabilitasi selama tiga bulan di Rumah Sakit JIwa Menur Surabaya.

Ketiga, penyalah guna dijatuhi hukuman rebilitasi oleh Pengadilan Negeri setelah selesai menjalani hukuman rehabilitasi, dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan lebih tinggi. ini menimpa artis Rhido Rhoma, padahal hukuman rehabilitasi itu bersifat final baik terbukti maupun tidak terbukti (pasal 103).

Keempat, terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jaksa Penuntut Umum menuntut Nia Rahmadani sebagai penyalah guna dengan tuntutan menjalani rehabilitasi di RSKO Cibubur, putusan hakimnya menjatuhkan hukuman penjara.

Semoga kedepan hakim tidak melakukan misuse dalam menentukan bentuk hukuman bagi penyalah guna narkotika, penyalah guna memang diancam secara pidana tapi bentuk hukumannya berupa rehabilitasi. rehabilitasi.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.

#anang-iskandar

Penulis adalah adalah  Komisaris Jenderal purnawirawan Polisi.  Dr Anang Iskandar SH, MH merupakan Doktor, yang dikenal sebagai bapaknya rehabilitasi narkoba di Indonesia.  Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Bareskrim Polri, yang kini menjadi dosen, aktivis anti narkoba dan penulis buku.

BACA JUGA: Majalah MATRA edisi Februari 2022, klik ini

Tinggalkan Balasan