Anang Iskandar: Penyalah Guna Narkotika Dipenjara itu Tidak Rasional dan Tak Berdasarkan Ketentuan Yang Berlaku

Anang Iskandar: Penyalah Guna Narkotika Dipenjara itu Tidak Rasional dan Tak Berdasarkan Ketentuan Yang Berlaku

MATRANEWS.id — Dalam memeriksa perkara narkotika seperti Nia Rahmadani cs, tidak rasional dan tidak berdasarkan ketentuan UU narkotika yang berlaku, bila hakim menjatuhkan hukuman penjara. Kalau Nia Rahmadani cs dapat dibuktikan dan terbukti sebagai pengedar maka hakim wajar menjatuhkan hukuman penjara

Ini penjelasan UU nya.

Mari kita lihat UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, secara khusus menyatakan bahwa tujuan penegakan hukum adalah memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi soial bagi penyalah guna dan pecandu.

Artinya misi penegak hukum adalah “memberantas peredaran gelap narkotika” dan “menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu”.

Tugas penegak hukum mulai dari penyidik narkotika, jaksa penuntut dan hakim yaitu “menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi”.

Masalahnya: Misi dan tugas penegak hukum narkotika serta tujuan penegakan hukum tersebut “diabaikan oleh penegak hukum”. Penegak hukum lebih senang menggunakan model penegakan hukum pidana berdasarkan KUHP dan KUHAP sehingga penyalah guna dijatuhi hukuman penjara.

Bagaimana kebijakan hukum Pemerintah dalam P4GN?

Kebijakan pemerintah dalam menanggulangi masalah narkotika P4GN (Pencegahan dan Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika) termaktup dalam UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika adalah melarang penyalahgunaan narkotika secara pidana dan menjamin serta mewajibkan penyalah guna dan pecandu menjalani rehabilitasi dan bentuk hukuman bagi penyalah guna berupa rehabilitasi.

Itu sebabnya penyalah guna dikriminalkan oleh UU narkotika (pasal 127/1), tujuan penegakan hukumnya dijamin mendapatkan rehabilitasi (pasal 4d), pelaku kriminal tersebut diwajibkan oleh UU untuk menjalani rehabilitasi (pasal 54) melalui wajib lapor pecandu (pasal 55) dan hakim diberi kewenangan dapat memutuskan atau menetapkan penyalah guna untuk menjalani rehabilitasi (pasal 103).

Baca juga :  Prof Dr Jenderal TNI AM Hendropriyono Tentang Presiden 2024

Apakah kebijakan demikian apa tidak ambigu?

Tidak, pendekatan penanggulangan perkara penyalahgunaan narkotika menggunakan 2 pendekatan yaitu penekatan kesehatan dan pendekatan hukum.

1. Pendekatan kesehatan untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan narkotika dimana penyalah guna diwajibkan melakukan lapor ke IPWL untuk mendapatkan perawatan berupa rehabilitasi, dengan melakukan kewajiban tersebut status pidananya gugur, berubah menjadi tidak dituntut pidana.

Model wajib lapor dengan pendekatan kesehatan tersebut sebagai “prioritas utama” penanggulangan masalah narkotika karena prosesnya tidak menakutkan, biaya penanggulangannya murah, merupakan pendekatan tanpa menghukum kriminalnya.

Model pendekatan kesehatan tersebut, yang mestinya disosialisasikan dengan sungguh kepada masarakat.

2. Pendekatan hukum pidana, dalam rangka menanggulang masalah penyalahgunaan narkotika dimana penyalah guna yang ditangkap disidik, dituntut serta diadili, tanpa menggunakan sanksi pidana. Sanksi bagi penyalah guna berlaku sanksi rehabilitasi sebagai sanksi pengganti.

Model pendekatan hukum ini selektif dilakukan karena menguras sumberdaya penegakan hukum, dengan biaya mahal, karena pemerintah harus menanggung biaya penegakan hukum, biaya rehabilitasi atas perintah penyidik, perintah jaksa dan putusan atau penetapan hakim.

Makin serius penyidik menangkapi penyalah guna narkotika dan dibawa ke pengadilan untuk mendapatkan rehabilitasi, kerugian negara makin besar. itu sebabnya penanggulangan masalah narkotika dengan model ini tidak diprioritaskan.

Karena tidak ada ketetuan tentang prioritas tersebut, maka penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika, perlu dibuatkan aturan tentang prioritas penanggulangannya oleh Pemerintah, agar tidak seperti sekarang, mengutamakan pendekatan hukum pidana dengan penegakan hukum bahkan penyalah guna dijatuhi hukuman penjara.

Rehabilitasi adalah hukuman pengganti pidana.

Rehabilitasi atas perintah penyidik, penuntut umum dan/atau putusan atau penetapan hakim adalah bentuk hukuman, dimana dinyatakan dalam pasal 103/2 bahwa masa menjalani rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim “diperhitungkan” sebagai masa menjalani hukuman.

Baca juga :  Soft Launching Tiga Buku Mantan KSAL, Ade Supandi

Sehingga berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika siapapun yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika baik artis, pelajar, polisi, jaksa, hakim, pejabat negara atau politisi kalau ditangkap karena perkara penyalahgunaan narkotika wajib diproses berdasarkan UU narkotika yaitu diproses secara pidana, selama proses pemeriksaan ditempatkan di Rumah Sakit atau Lembaga rehabilitasi milik pemerintah; dan

Penjatuhan hukumannya berupa rehabilitasi sebagai hukuman yang bermanfaat bagi pelakunya, bermanfaat bagi masyarakat dan bermanfaat bagi pemerintah dalam rangka membangun kesehatan masarakat.

Itu sebabnya secara khusus penyidik, penuntut umum dan hakim dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika diberi kewenangan untuk “menempatkan” tersangka atau terdakwa ke dalam rumah sakit atau lembaga rehabilitasi milik pemerintah selama proses pemeriksaannya agar misi dan tugas penegak hukum dalam mewujudkan tujuan UU dapat tercapai.

Hakim diberi kewajiban khusus berdasarkan pasal 127/2 untuk menggunakan kewenangan dapat memutuskan atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi baik terbukti bersalah maupun tidak bersalah melakukan tindak pidana narkotika berdasarkan pasal 103/1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Namun implementasinya, hakim tidak melaksanakan kewajiban khususnya atas dasar UU narkotika, malah berdasarkan KUHAP dalam memeriksa dan mengadili perkara penyalahgunaan narkotika dan menjatuhkan hukuman penjara berdasarkan pasal 10 KUHP.

Perlu diketahui bahwa hukuman rehabilitasi bagi penyalah guna itu berlaku secara global, namun ada 7 negara termasuk indonesia yang implementasi penegakan hukumnya menghukum penyalah guna dengan hukuman penjara.

Pertanyaan kritisnya!

Rasional atau tidak kah, kalau penyalah guna di jatuhi hukuman penjara berdasarkan KUHP sedangkan UU narkotika secara khusus mengatur bentuk hukuman bagi penyalah guna narkotika berupa rehabilitasi ?

Jawabannya tentu tidak rasional, karena penyalah guna adalah seorang penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika yang bersifat kambuhan, dijamin UU mendapatkan upaya rehabilitas, kalau ditahan dan dihukum penjara, maka kemungkinan relapsenya sangat tinggi, atau kalau tidak relapse ya sakau di dalam Rutan atau Lapas

Baca juga :  Apa Benar di Masa Covid 19 Prevalensi Penyalahgunaan Narkotika Naik?

Penyalah guna menderita sakit ketergantungan narkotika, bukan karena “salahnya sendiri” tapi karena dibujuk ditipu dirayu diperdaya atau dipaksa menggunakan narkotika; dan

Penyalah guna membeli narkotika bukan karena kebanyakan uang atau untuk bersenang senang atau sengaja melanggar hukum apalagi dengan niat jahat. Para penyalah guna tidak punya niat jahat, mereka membeli narkotika karena tuntutan fisik dan psikis akibat sakit yang dideritanya agar tidak “sakau”.

Masak iya sih penyalah guna seperti itu, tidak mendapat perhatian dari pemerintah ! Atas nama supaya jera dan efek jera kemudian dijatuhi hukuman penjara.

Rasanya tidak masuk akal meskipun perbuatan penyalah guna dinyatakan sebagai perbuatan pidana.

Itu sebabnya mendesak untuk disosialisasikan kepada penegak hukum narkotika, khususnya hakim yang secara explisit diberi kewenangan (pasal 103) dan kewajiban (127/2) untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi dalam memeriksa perkara narkotika, yang terbukti sebagai penyalah guna untuk diri sendiri.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.

#anang-iskandar

Penulis Dr Anang Iskandar SH, MH  adalah  Komisaris Jenderal purnawirawan Polisi. Merupakan Doktor, yang dikenal sebagai bapaknya rehabilitasi narkoba di Indonesia.

Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Bareskrim Polri, yang kini menjadi dosen, aktivis anti narkoba dan penulis buku.

Lulusan Akademi Kepolisian yang berpengalaman dalam bidang reserse. Pria kelahiran 18 Mei 1958 yang terus mengamati detil hukum kasus narkotika di Indonesia. Baru saja meluncurkan buku politik hukum narkotika.

Tinggalkan Balasan