Dari Diskusi Abrasi Pantai dan Mitigasi Bencana. Pantai Padang, Mana Pasirmu
MATRANEWS.id — Pantai Padang adalah salah satu destinasi yang menarik minat wisatawan. Waktu terbaik berkunjung adalah menjelang sunset.
Saat matahari ke peraduan, kerlap-kerlip lampu di tepi pantai terlihat sangat indah.
Menikmati angin laut sambil menyeruput kopi panas, jagung bakar, kelapa muda, dan aneka kulier yang tersedia, menjadikan healing Anda sempurna.
Di kawasan Pantai Padang juga sudah muncul beberapa objek wisata baru. Di antaranya Monumen IORA yang sering dimanfaatkan untuk spot foto.
Kemudian ada Monumen Merpati Perdamaian yang berada di tengah-tengah kerumunan cafe payung. Terbaru, muncul Pantai Purus dengan teras yang lega.
Teras ini berfungsi sebagai ajang perhelatan berbagai event budaya, seperti Festival Siti Nurbaya.
Meski begitu, ada satu hal yang seperti hilang saat berada di bibir pantai Padang. Hamparan pasir. Oh pantai yang indah, mana pasirmu?
Adalah Doni Monardo yang juga ikut merasakan “kehilangan” pasir pantai Padang. “Tahun 70-an hingga awal 80-an, saya sekolah SMP dan SMA di sini. Pantai ini adalah tempat saya bermain.
Ketika itu, hamparan pantai terbentang antara 50 sampai 70 meter,” ujar Doni saat memberi sambutan pembuka acara Diskusi Rancangan Infrastruktur Abrasi Pesisir Pantai Padang Berbasis Mitigasi Bencana, di halaman Masjid Al-Hikam, di bibir Pantai Padang, Senin (6/2/2023) sore.
Kini, tambahnya, sebagian besar air laut sudah menyentuh garis pantai, bahkan badan jalan.
“Harus ada upaya mitigasi dan revitalisasi untuk menyelamatkan pantai. Sebab, jika dibiarkan bisa menjadi ancaman masyarakat Kota Padang,” ujar purnawirawan jenderal bintang tiga, itu.
Risiko Gempa dan Tsunami
Terlebih, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap bahwa Kota Padang merupakan salah satu wilayah di Indonesia dengan risiko gempa bumi dan tsunami yang tinggi.
Ini karena letak pantainya di bagian barat berhadapan dengan zona sumber gempa bumi Megathrust, Samudera Hindia.
Untuk mengantisipasinya, semua pihak harus bekerja keras, berbuat sesuatu untuk melindungi rakyat.
“Salus populi suprema lex esto. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi,” ujar Doni mengutip Cicero, seorang filsuf ternama.
Doni selaku warga perantauan, bersama perantau Minang lain termasuk yang menaruh kepedulian tinggi terhadap problem laten Pantai Padang, yakni abrasi.
“Secara pribadi saya sudah pernah meyampaikan hal ini kepada Menteri PUPR, Pak Basuki Hadimuljono. Beliau berjanji akan mendukung program yang hari ini kita diskusikan,” ujar mantan Danjen Kopassus itu.
Meski begitu, urusan mitigasi bencana bukan hanya tugas pemerintah. Bencana adalah urusan bersama. “Karena itu, harus ada kepedulian semua pihak agar dua, tiga, lima tahun ke depan kita bisa kembali melihat pasir di pesisir Pantai Padang,” tegas Doni.
Belajar dari Jepang
Diskusi pun dimulai. Penyiar TVRI Sumatera Barat, Sherly Zulkarnaen memandu. Narasumber antara lain Walikota Padang Hendri Septa, Dr Abdul Muhari, Pakar Gempa dan Tsunami BNPB.
Juga Jarot Widyoko, Dirjen SDA Kementerian PUPR, Fathol Bari, Kepala Dinas Sumber Daya Air Provinsi Sumatera Barat, dan Medi Iswandi, Kepala Bappeda Provinsi Sumbatera Barat.
Hadir pula Komjen Pol (Purn) Suhardi Alius, putra kelahiran Minang yang terakhir menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI).
Tampak pula Kapolda Sumatera Barat, Irjen Pol Suharyono, Danrem 032/Wirabraja, Kolonel Kav Rayen Obersyl, widya iswara utama BNPB, Dody Ruswandi, tokoh adat, serta pejabat Forkopimda Pemprov Sumbar dan Pemkot Padang.
Abdul Muhari, memulai presentasinya dengan infografis yang menarik tentang peristiwa gempa dahsyat disusul tsunami yang memporakporandakan Sendai, Jepang tahun 2011.
Aam, panggilan akrab lelaki kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat ini, kebetulan sedang berada di Jepang dalam rangka program doktoral di sana, saat tsunami menghantam Sendai.
Ia bahkan menjadi satu di antara 16 tim yang dibentuk pemerintah Jepang dalam menanggulangi pasca tsunami.
Aam, yang sehari-hari menjabat Plt Kapusdatinkom BNPB itu mengatakan, tsunami adalah gelombang tinggi dengan intensitas lama.
“Tsunami bukan hanya gelombang besar yang sekali datang, setelah itu surut. Tidak. Di Jepang, bahkan tiga hari setelah peristiwa tsunami, tinggi gelombang masih sekitar tiga meter dan menggenangi darartan,” ujarnya.
Ia lalu menunjukkan slide-slide bagaimana Jepang merestorasi kerusakan wilayah di sana.
Aam berharap, model infrastruktur harus dibikin sedemikian rupa agar revitalisasi pantai Padang bukan saja menangkal abrasi, tetapi bisa memunculkan kembali pasir sehingga nantinya bisa dilakukan penanaman pohon yang sesuai.
“Dengan begitu, kita berharap Padang ke depan bisa menjadi waterfront city yang terkonsep dengan baik, serta ,” kata Abdul Muhari pula. Penanganan pantai Padang harus menjadi satu-kesatuan. Tidak bisa parsial.
Sementara itu, Dirjen SDA Kementerian PUPR, Jarot Widyoko mengatakan pihaknya telah melakukan analisa situasi, survei dan model test, serta rencana program yang bisa dilakukan di tahun 2023.
Dari garis pantai sepanjang 18 km, PUPR telah membangun pemecah ombak sejauh 13,5 km.
Sejak tahun 70-an hingga 80-an, PUPR telah membangun pelindung pantai. Program itu terus dilakukan.
“Tahun 2023, kami akan memakai dana loan untuk membangun pelindung pantai dengan elevasi 4,5, dengan prioritas di sekitar bangunan masjid Al-Hikam ini,” katanya. (*)
- BACA JUGA: majalah EKSEKUTIF edisi Februari 2023, klik ini