MATRANEWS.id — Di tengah hiruk-pikuk kota, di balik dinding-dinding kantor Kejaksaan Agung, terdapat sosok yang perlahan menarik perhatian publik.
Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Jampidsus yang baru, berada di persimpangan antara tanggung jawab besar dan sorotan tajam media.
Ketika dia berusaha mengedepankan perkara-perkara serius yang tengah ditangani, sebuah pertanyaan tentang jam tangan yang dikenakannya mengalihkan perhatian.
“Saya ingin konsentrasi pada perkara yang kita tangani, tetapi wartawan malah menanyakan soal jam tangan,” ujarnya dalam senyum. Wajahnya kocak menahan tawa.
“Kawan-kawan (awak media) selalu meliput konferensi pers dengan saya, lihat juga ‘kan saya memakai jam ini,” masih kata Abdul Quhar.
Bagi dia, itu adalah lambang perjalanan hidupnya—jam yang dibeli lima tahun lalu, sebelum namanya melambung dalam dunia hukum. Ia juga mengaku tidak tahu merek jam tangannya.
“Jam tangan ini saya pakai, sudah saya beli sejak lima tahun lalu, dan selalu saya pakai. Kenapa baru sekarang ditanya?” ungkapnya sambil mengucap terima kasih punya klarifikasi dari medsos, yang nyinyir kepada dirinya.
Dia menjelaskan dengan detail, “Harganya hanya empat juta rupiah. Bagi saya, itu sudah mahal. Jangan disandingkan dengan jam mewah yang disebut-sebut di media sosial.”
“Kalau kurang yakin, panggil ahli jam, periksa bersama-sama,” ujarnya menegaskan.
Qohar pun menyayangkan bahwa jam tangannya menjadi polemik di tengah masyarakat lantaran disebut mirip dengan jam tangan mewah dengan harga mencapai miliaran rupiah.
Warganet menduga bahwa jam tangan yang dikenakan Qohar bermerek Audemars Piguet dan diperkirakan harganya mencapai Rp1 miliar.
“Saya bukan membeli jam saat menjadi direktur penyidikan,” tegasnya, menunjukkan bahwa prestise dan kekayaan bukanlah tujuan hidupnya. “Saya bukan orang yang terjebak dalam dunia kemewahan.”
Di saat-saat sulit, ketika banyak yang berusaha merobohkan reputasinya, Abdul Qohar tetap tegar.
Dia tahu, di balik setiap kasus besar yang ditangani, terdapat kepentingan dan tekanan dari berbagai pihak—baik dari mereka yang terjerat hukum maupun orang-orang yang ingin mengacaukan nama baiknya.
Sebagai seorang yang pernah mengecap pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Jember, Abdul Qohar bukan hanya sekadar pengemban tugas.
Karirnya melesat dari Kajari Malang hingga posisi strategis di Jampidsus, di mana berbagai inovasi dan program pengabdian hukum kepada masyarakat diluncurkannya.
Dia mampu melakukan penyelidikan dan penyidikan yang berhasil menyelamatkan keuangan negara miliaran rupiah, menjadikannya figur yang disegani.
Namun, di balik prestasi yang gemilang, tantangan juga mengintai. Sorotan media dan opini publik sering kali lebih menyasar pada aspek pribadi daripada kinerja.
Abdul Qohar, dengan segala pencapaian dan tantangannya, menjadi simbol harapan bagi masyarakat akan hukum yang bersih dan transparan.
Setiap langkahnya, meski tertutup oleh sorotan media, merupakan bagian dari perjalanan yang lebih besar—sebuah perjalanan menuju keadilan yang sesungguhnya.