MATRANEWS.id — Arti dan Nilai Penting Perbatasan Negara.
Dalam journal security report terbitan 7 Agustus 2023, ada yang menarik dalam “Demarcation of State Boundaries As A Significant Element Of Improving Border Security, State boundaries delimitation and demarcation are important for defining the territories of states, state sovereignty and territorial integrity.
The territory of a state enclosed by a precisely defined state border is still a distinctive feature of state sovereignty. Regulated state borders are important part of the relations between neighboring countries. It enhances trust, promotes cooperation and improves border security.
State boundaries delimitation and demarcation are important for defining the territories of states, state sovereignty and territorial integrity.
The territory of a state enclosed by a precisely defined state border is still a distinctive feature of state sovereignty. Regulated state borders are important part of the relations between neighboring countries. It enhances trust, promotes cooperation and improves border security etc…”
Bahwa Penetapan batas negara dan demarkasi adalah penting untuk menentukan wilayah negara, kedaulatan negara, dan integritas teritorial.
Wilayah negara yang dikelilingi oleh batas negara, yang telah ditetapkan secara tepat, tetap akan menjadi ciri khas kedaulatan negara tersebut.
Batas negara yang telah diatur dan disepakati bersama antar negara merupakan bagian penting dari hubungan antara negara dan negara tetangganya.
Hal ini penting untuk meningkatkan kepercayaan dan mendorong kerja sama, serta untuk meningkatkan keamanan perbatasan.
Untuk kita Indonesia, tentu tidak mudah mengamankan kedaulatan negara hanya dengan batas fisik atau patok perbatasan negara.
Banyak faktor yang harus dipertimbangkan secara bilateral regional dan multilateral, baik terkait masalah Ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan masalah ketahanan keamanan negara.
Faktanya bahwa semua batas negara harus ditetapkan dengan kesepakatan antar negara atau ditandai dan ditetapkan atas dasar kesepakatan negara negara yang bertetangga.
Menurut praktik di Eropa, garis batas, sebagai suatu peraturan dibuat dalam tiga tahap: tahap pertama menyiratkan persetujuan tindakan penetapan batas internasional.
Tahap kedua adalah penetapan batas yang dilakukan oleh Komite Bersama kedua negara, dan tahap ketiga adalah penunjukan batas yang tepat dan disepakati baik berdasarkan latar belakang historis atau kesepakatan bersama.
Itulah yang telah terjadi dan terjalin pada negara Indonesia dan sepuluh negara tetangganya.
Bagaimana Dengan Kedaulatan Atas Udara
Ini adalah pertanyaan atas judul tulisan ini.
Sungguh menarik, karena secara universal yang sering diulas, di diskusikan, dan dibahas oleh media tentang perbatasan biasanya lebih banyak menyoroti tentang perbatasan negara di darat dan dilaut saja.
Jarang muncul bahasan spesifik tentang batas udara sebuah negara.
Apakah ini Penting?
Ya, sangat penting, karena disinilah juga marwah, harkat, dan kedaulatan negara dipertaruhkan
Kedaulatan itu ada pada FIR (Flight Information Region) adalah wilayah ruang udara tertentu yang menyediakan layanan informasi penerbangan dan layanan peringatan (ALRS).
FIR adalah pembagian ruang udara terbesar yang masih digunakan saat ini.
Setiap bagian atmosfer Bumi adalah bagian dari sebuah FIR. Ruang udara negara-negara kecil dicakup oleh satu FIR, sementara ruang udara negara-negara besar dibagi lagi menjadi beberapa FIR regional.
FIR sudah ada sejak 1947.
Sejumlah FIR melintasi ruang udara darat beberapa negara. Ruang udara laut dibagi menjadi Wilayah Informasi Laut (Oceanic Information Region) dan diserahkan kepada otoritas pengendali yang paling dekat dengan wilayah itu.
Pembagian wilayah dilakukan melalui perjanjian internasional lewat International Civil Aviation Organization (ICAO).
Untuk Indonesia, tercatat dalam sejarah bahwa FIR telah diterapkan sejak tahun 1944 dengan dilaksanakannya Konvensi Chicago tahun 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional.
Hak dan kewajiban menjalani pendelegasian layanan navigasi udara, menjalankan kendali atas wilayah yuridiksi terkait erat dengan kedaulatannya yang merupakanaspek terpenting dari azas atas hukum Internasional.
Dan hukum sangat menekankan agar negara didunia harus menghormati kedaulatan negara lain
FIR secara tegas menyatakan bahwa Kedaulatan suatu negara atas wilayah udaranya bersifat lengkap dan eksklusif, dengan catatan bahwa negara tersebut dapat mendelegasikan pengelolaan Wilayah Informasi Penerbangan (FIR) ke negara lain dengan alasan keselamatan penerbangan.
Akan tetapi, pendelegasian ini harus dipertimbangkan dengan cermat dan saksama karena dapat memengaruhi kedaulatan suatu negara.
FIR adalah divisi reguler wilayah udara terbesar di dunia yang digunakan untuk menyediakan layanan navigasi udara.
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO)berkepentingan untuk mendelegasikan negara mana yang bertanggung jawab atas kendali operasional pada area FIR tertentu.
Ditegaskan pula bahwa suatu negara dapat mendelegasikan pengelolaan layanan FIR ke negara lain.
Tetapi ini tidak boleh diartikan bahwa negara tersebut telah menyerahkan kedaulatan nasionalnya.
Tanggung jawab negara yang menyediakan sangatlah terbatas pada pertimbangan teknis dan praktis operasional dan pengawasan, mengingat FIR bervariasi jangkauannya, mulai dari perpanjangan vertikal wilayah udara suatu negara, hingga meluas jauh ke lautan terbuka.
Negara-negara dapat membentuk FIR mereka sendiri di wilayah udara negara mereka, atau di bagian wilayah udara yang berdekatan atau bersinggungan.
Tersirat dalam Konvensi Chicago 1944 bahwa kedaulatan suatu negara, dan hak eklusif atas yuridiksi udara diatasnya adalah aspek terpenting dalam atas atas hukum Internasional.
Pada Pasal 1 Konvensi Chicago menjelaskan bahwa berdasarkan asas hukum ini, maka setiap negara di dunia harus menghormati hak kedaulatan negara lain.
Negara diberikan kewenangan untuk menjalankan kewenangannya atas semua individu dan entitas dalam batas teritorialnya, termasuk menyediakan layanan navigasi udara.
Namun karena aktifitas ruang udara dapat melampaui batas negara, maka secara universal diakui bahwa yuridiksi suatu negara dapat meluas ke pesawat pesawat yang beroperasi di negara lain sebagai aktifitas transnasional yang diperlukan guidance dan panduan dari petugas darat.
Pasal 28 Konvensi Chicago 1944 menegaskan negara yang terikat berkewajiban untuk menyediakan bandara, layanan radio, layanan meteorologi, dan fasilitas navigasi udara lainnya untuk memfasilitasi navigasi udara internasional, sesuai standar dan praktik yang direkomendasikan atau ditetapkan dari waktu ke waktu, sesuai dengan Konvensi ini.
Perjalanan Pengalihan Flight Information Region Indonesia
Legalitas pengalihan pelayanan lalu lintas udara diatas Kepulauan Riau dan Natuna oleh Singapura adalah hasil Pertemuan Regional Air Navigation (RAN) Asia – Pasifik Pertama pada tahun 1973 di Honolulu Amerika Serikat.
Sementara pelaksanaan RAN 1973 di Honolulu juga didasari oleh kesepakatan pertemuan Navigasi Dunia terdahulu pada tahun 1946.
Point penting dari perjanjian diantaranya adalah kesepakatan penjadwalan pertemuan lanjutan dengan fokus pada rencana membuat forum pragmatis dan konsultatif untuk membuat peta jalan yang komprehensif tentang tantangan, protokol, otorisasi, teknologi, dan fasilitas layanan lalu lintas udara global yang akan ditentukan.
Pertemuan Regional Air Navigation RAN selanjutnya disepakati akan dilaksanakan setiap sepuluh tahun, dan terlaksana dari tahun 1973 hingga tahun 1993.
Anual meeting tentang Navigasi Udara diseluruh dunia telah dibagi dan disesuaikan dengan posisi geografis regiona masing masing. Di Afrika (AFI ), di Asia pasifik (ASIA/PAC), di Karibia (CAR), di Eropa (EUR), di Timur tengah (MID), di Amerika utara (NAM), di Atlantik Utara (NAT), dan di Amerika selatan (SAM), .
Pertemuan yang dijadwalkan adalah wadah untuk membahas berbagai masalah, baik terkait perkembangan sistem keselamatan udara, standar, aturan, termasuk diantaranya sebagai forum bagi anggotanya untuk mendelegasikan atau menuntut kembali hàk hak mereka dalam pengendalian lalu lintas udaranya, seperti halnya yang dilakukan Indonesia.
Pada tahun1995 Pemerintah Singapura dan pemerintah Indonesia telah menandatangani perjanjian untuk menyelaraskan kembali batas antara FIR Singapura dan Jakarta.
Perjanjian itu selànjutnya diratifikasi menjadi hukum Indonesia pada tahun 1996. Terakhir tahun 2022 Indonesia dan Singapura menandatangani perjanjian untuk mendelegasikan FIR, yang dilaksanakan bersama organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) yang mendelegasikan negara mana yang bertanggung jawab atas setiap FIR. FIR sangat bervariasi dan mungkin juga dapat meluas sampai ke lautan terbuka.
Tercermin dalam Pasal 263 Undang-Undang Penerbangan Indonesia Tahun 2009, sebetulnya negara Indonesia adalah negara terbesar di Asia tenggara yang sangat menjunjung tinggi kedaulatan negara serta sangat peduli pada keselamatan Penerbangan.
Kalau Pengelolaan didelegasikan pada negara lain sebetulnya lebih dikarenakan; Struktur rute penerbangan, Arus lalu lintas udara, dan Efisiensi pergerakan pesawat udara. Khusus lalu lintas udara dari Indonesia ke Singapura diatas Kepulauan Riau dan Natuna, pengalihan terjadi lebih karena mengacu pada preseden historis yang telah disepakati dan ditetapkan pada Pertemuan Navigasi Udara Regional (RAN) Asia-Pasifik pertama pada tahun 1973 di Honolulu, Amerika Serikat (AS) itu.
Mekanisme layanan navigasi udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna dari Indonesia ke Singapura secara resmi telah ditandatangani dalam “Perjanjian Antara Pemerintah Republik Singapura tentang Penataan Kembali Batas Antara Wilayah Informasi Penerbangan Singapura dan Wilayah Informasi Penerbangan Jakarta” yang dilaksanakan pada tahun 1995.
Perjanjian tersebut berhasil diratifikasi menjadi hukum nasional melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 7 Tahun 1996.
Seiring berjalannya waktu perjanjian tersebut telah digantikan oleh perjanjian berikutnya pada awal tahun 2022 lalu dan telah diratifikasi oleh Indonesia dengan keluarnya Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2022.
Secara Spesifik pada Pasal 458 Undang-Undang Penerbangan Indonesia Tahun 2009, bahwa. FIR di atas Pulau Riau dan Natuna diharuskan diambil alih sebelum tahun 2024. Untuk merealisaikan pembaruan perjanjian tahun 1995 itulah, maka kedua pemerintah pada tahun 2022 telah menandatangani kesepakatan.
Setelah mendalami ketentuan perjanjian, delegasi dari kedua negara merasa bahwa posisi Indonesia sebagian besar tetap tidak berubah.
Perjanjian tahun 1995 pada Pasal 2 Ayat 2 mengatur tentang pendelegasian pelayanan navigasi udara Indonesia dari permukaan sampai ketinggian tak terbatas untuk Sektor B dan sampai dengan 37.000 kaki untuk Sektor A.
Selain itu, perjanjian tahun 2022 pada Pasal 2 Ayat 1 dan 2 menunjukkan bahwa Indonesia mendelegasikan pelayanan navigasi udara dari permukaan sampai dengan 37.000 kaki kepada Singapura di sektor A dan B.
Dengan demikian, Singapura masih memiliki kendali efektif dalam memberikan pelayanan navigasi udara kepada seluruh pesawat udara yang terbang di atas Kepulauan Riau dan Natuna. Namun, untuk menanggapi perjanjian baru tersebut, Indonesia telah mengklaim kendali dengan tidak mendelegasikan sampai tingkat ketinggian tak terbatas untuk kendali navigasi udara di sektor A dan B.
Indonesia telah berhasil ‘mendapatkan kembali kendali dan menyatukan kendali wilayah udara pada ketinggian di atas 37.000 kaki dalam pelayanan navigasi udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna.
Perjanjian tahun 2022 memiliki dua tingkat dalam struktur perjanjian yang berbeda. Dapat lihat bahwa perjanjian telah dipisahkan menjadi dua bagian.
1) Perjanjian yang ditandatangani oleh Kementerian Perhubungan Indonesia dan Kementerian Perhubungan Singapura yang telah berhasil diratifikasi oleh Indonesia melalui Peraturan Presiden dan telah pula dipublikasikan kepada publik. Perjanjian utama berfungsi sebagai perjanjian menyeluruh untuk perjanjian teknis lainnya.
2) perjanjian kedua adalah Letter of Operational Coordination Agreement (LOCA), ini belum diungkapkan kepada publik.
Kedua perjanjian menekankan aspek teknis, sementara tanggung jawab hukum negara dapat ditemukan dalam perjanjian pertama.
Kalau melihat kinerja dilapangan dan Berdasarkan teknologi dan sumber daya manusia yang tergelar , ATC Tanjung Pinang sebetulnya telah siap mengelola FIR di perairan Natuna.
Untuk mendukung proses penyelarasan, meliputi perangkat keras (PC, radar, tower), perangkat lunak, evaluasi frekuensi, serta kemampuan pemantauan wilayah udara menggunakan instrumen radar untuk mempelajari arus lalu lintas di atas Kepulauan Natuna, Indonesia sangat siap.
Teknologi yang dimiliki ATC Natuna meliputi Data radar diperoleh dari MSSR (Monopulse Secondary Surveillance Radar) dan ADS-B (Automatic Dependent Surveillance–Broadcast).
Komunikasi koordinasi darat ke darat menggunakan very small aperture terminal (VSAT).
ATC Natuna selanjutnya juga memanfaatkan sistem FPL (Flight Plan) dan ATS message serta menghubungkannya dengan Aeronautical Fix Telecommunication Network (AFTN) dan Electronic Flight Plan (EFPL), termasuk data dari BMKG Tanjung Pinang dan BTH yang masuk ke sistem ATC melalui AFTN.
Data radar MSSR diperoleh dari sistem MSSR Tanjung Pinang, MSSR Pekanbaru, MSSR Palembang, MSSR Pontianak, dan MSSR Natuna.
Khusus terkait sumber daya manusia, kesiapan pengelolaan seluruh FIR Natuna sudah siap. Dari total 70 personel usia produktif , 87% staf berusia 20-29 tahun, kesiapan ATC Tanjung Pinang sudah terlihat, sehingga tidak perlu ragu-ragu dalam pengelolaan FIR di wilayah Natuna oleh Indonesia.
Tanjung Pinang mempunyai letak yang strategis, dengan jangkauan pengawasan yang dapat mencapai 100-250 mil laut, sehingga dapat meliputi seluruh ruang udara di atas wilayah Natuna.
Dukungan dari Pemerintah Ibu Kota Kabupaten akan mempermudah proses pengaturan ruang udara tersebut.
Lebih jauh, Singapura telah menyerahkan sebagian kendali ruang udara di atas Kepulauan Natuna kepada ATC Tanjung Pinang, tetapi hanya sampai ketinggian di bawah 10.000 kaki. Jangkauan ruang udara tersebut bukan merupakan wilayah potensial lalu lintas penerbangan, sehingga memiliki nilai strategis dan ekonomis yang rendah.
Berdasarkan pemantauan ATC, lalu lintas udara yang diatur Tanjung Pinang, di bawah 10.000 kaki, hanya mewakili 2% dari total lalu lintas penerbangan yang melalui wilayah udara tersebut.
Fakta ini menunjukkan bahwa tindakan Singapura yang menyerahkan hak pengelolaan FIR di bawah 10.000 kaki hanya sekadar formalitas dan tidak berdampak pada hakikat penyelarasan FIR.
Pengelolaan rentang ketinggian ini kurang menguntungkan bagi Indonesia karena rentang ketinggian tersebut hanya dilintasi oleh pesawat ATR dan CASA, helikopter, dan pesawat amfibi yang jumlahnya sangat sedikit dan terjadi pemborosan bahan bakar untuk penerbangan pada ketinggian kurang dari 10.000 kaki itu.
Mengamati proses pengambil alihan Flight Information Region atas Natuna ini, maka Indonesia harus melakukan langkah langkah yang lebih agresif lagi baik bilateral, regional dan global kepada badan badan internasional demi kedaulatan Indonesia.
Indonesia bisa, Indonesia mampu dan total pengelolaan FIR sudah selayaknya kembali ke ibunya. Amin
Flight Information Region sudah saatnya kembali ke ibunya. Oleh: Hamidin (Kelompok ahli mendagri Bidang pengelolaan perbatasan negara)
- https://www.hariankami.com/kami-indonesia/23613880725/hamidin-flight-information-region-sudah-saatnya-kembali-ke-ibunya