Fenomena Penyalah Guna Menjadi Pengedar Narkotika

Anang Iskandar bincang dengan Pengurus Asosiasi Media Digital Indonesia (SS Budi Raharjo, Asri Hadi dan Edi Winarto)

MATRANEWS.id Fenomena Penyalah Guna Menjadi Pengedar Narkotika. Wawancara bersama Komjen Pol (Purn) Dr. Anang Iskandar, S.H., M.H.

Komisaris Jenderal Polisi (Purn) Dr. Anang Iskandar, S.H., M.H. adalah seorang perwira tinggi Polri yang dikenal luas karena dedikasinya dalam bidang reserse dan kebijakan narkotika nasional.

Lahir pada 18 Mei 1958, lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1982 ini meniti karier panjang di kepolisian, hingga menduduki jabatan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri pada tahun 2015—2016.

Sebelumnya, ia juga menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), di mana perannya sangat menonjol dalam membangun paradigma baru: bahwa penyalahguna narkotika bukanlah penjahat, melainkan orang sakit yang harus direhabilitasi.

Kini, setelah purna tugas, Anang Iskandar tetap aktif memberikan gagasan dan kritik konstruktif tentang penegakan hukum narkotika di Indonesia.

Dalam wawancara ini, ia membahas fenomena berulang: penyalah guna narkotika yang kemudian di stigma “berkarier” sebagai pengedar — seperti yang terjadi pada kasus publik figur Roy Marten di masa lalu dan Ammar Zoni di masa kini.

Berikut petikan wawancara Dr Anang Iskandar SH, MH di sebuah rumah makan di kawasan Jakarta Selatan.

Pak Anang, fenomena penyalah guna narkotika yang kemudian beralih menjadi pengedar kembali ramai diperbincangkan, terutama setelah kasus Ammar Zoni. Mengapa hal seperti ini bisa berulang?

Fenomena ini memang berulang karena salah pendekatan hukum. Roy Marten awalnya sebagai pengguna narkotika, tetapi dihukum penjara. Disebut berperan sebagai perantara. Baik Roy Marten di masa lalu maupun Ammar Zoni hari ini sama-sama memulai dari posisi sebagai penyalah guna — bukan pengedar.

Mereka menggunakan narkotika karena dorongan ketergantungan fisik dan psikis, bukan karena niat jahat untuk memperdagangkan barang haram itu.

Namun sayangnya, mereka dihukum pidana penjara. Pelaku kejahatan narkotika dihukum pidana jadi masalah.

Padahal, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bukanlah undang-undang pidana murni, melainkan undang-undang kesehatan dan sosial yang menekankan rehabilitasi bagi penyalah guna.

Ketika penyalah guna dimasukkan ke penjara tanpa penanganan medis, mereka mengalami sakau dan tidak sembuh dari adiksi. Akibatnya, ketika keluar penjara, mereka kambuh (relapse), bahkan bisa “naik tingkat” menjadi pengedar karena tidak ada proses pemulihan yang benar.

Artinya, Jenderal menilai hukuman penjara tidak tepat bagi penyalah guna narkotika?

Betul. Tidak tepat dan tidak bermanfaat. Hukuman penjara tidak menyembuhkan ketergantungan narkotika.

Istilah “kapok” atau “jera” hanya dikenal dalam hukum pidana umum. Dalam hukum narkotika, istilah yang tepat adalah “sembuh dan pulih.”

Jadi, ukuran keberhasilan penegakan hukum narkotika bukanlah apakah pelaku jera atau tidak, tetapi apakah mereka sembuh secara fisik dan pulih secara psikis.

Kalau tidak mendapatkan rehabilitasi, maka mereka tidak akan pernah sembuh, dan berpotensi terus menjadi pengguna bahkan pengedar.

Banyak yang bertanya-tanya, apakah penyalah guna seperti Ammar Zoni punya niat jahat untuk menjadi pengedar?

Tidak. Penyalah guna tidak memiliki niat jahat. Mereka membeli narkotika bukan untuk menjual, tetapi untuk dikonsumsi karena dorongan kebutuhan akibat sakit adiksi.

Dalam konteks hukum, mens rea (niat jahat) adalah elemen utama dalam tindak pidana. Tapi penyalah guna narkotika tidak memenuhi unsur itu.

Mereka adalah korban dari kejahatan peredaran gelap narkotika.

Sayangnya, proses penegakan hukum di Indonesia masih menggunakan KUHAP dan KUHP, bukan pendekatan yang diatur secara khusus dalam UU Narkotika.

Itulah yang membuat penyalah guna seperti Ammar Zoni tetap dijatuhi hukuman pidana penjara, bukan rehabilitasi sebagaimana mestinya.

Apakah berarti UU Narkotika kita bermasalah?

Tidak. UU Narkotika kita sebenarnya baik dan lengkap.

Masalahnya bukan pada undang-undang, tetapi pada implementasinya.
UU Nomor 35 Tahun 2009 sudah jelas mengatur dua pendekatan penegakan hukum. Apa itu?

Rehabilitatif bagi penyalah guna, dan Represif bagi pengedar dan bandar.

Namun dalam praktik, penegak hukum sering menyamakan keduanya. Penyalah guna diproses seperti pengedar, padahal seharusnya tidak.

Nah, akibatnya, penyalah guna yang seharusnya direhabilitasi justru dikriminalisasi.

Lalu, bagaimana seharusnya penegakan hukum terhadap penyalah guna dilakukan?

Penegakan hukum terhadap penyalah guna harus dilakukan secara rehabilitatif.
UU sudah memberi panduan yang jelas:

Pasal 54: Pecandu dan korban penyalahgunaan wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.

Pasal 55: Ada kewajiban wajib lapor pecandu untuk mendapatkan perawatan.

Pasal 103: Hakim memiliki kewenangan untuk memutus rehabilitasi, baik dalam kasus terbukti bersalah maupun tidak.

Jadi, penyidik, jaksa, dan hakim wajib memperhatikan pasal-pasal ini. Penyalah guna tidak perlu disidik dan diadili dengan KUHP, kecuali untuk hal-hal yang memang tidak diatur dalam UU Narkotika.

Kalau penyalah guna tetap dipenjara, mereka tidak sembuh, mengalami relapse, dan bahkan berpotensi menjadi pengedar — baik di dalam maupun setelah keluar dari penjara.

Bagaimana dengan kasus Ammar Zoni sendiri, Pak? Apa yang menurut Anda salah dari proses hukumnya?

Dalam kasus Ammar Zoni, hakim sebenarnya menyatakan bahwa ia terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri sesuai Pasal 127 ayat (1). Namun, pasal ini tidak didakwakan oleh jaksa.

Akhirnya, hakim tetap memutus berdasarkan dakwaan yang dibuat berdasarkan KUHAP dan KUHP, sesuai arahan SEMA Nomor 3 Tahun 2015.

Tahu apa akibatnya?

Akibatnya, Ammar Zoni tetap dijatuhi hukuman penjara.

Padahal, jika hakim menggunakan Pasal 103 UU Narkotika, ia seharusnya diputus untuk menjalani rehabilitasi, bukan penjara. Inilah bentuk miskonsepsi hukum yang terus menimbulkan korban baru di antara penyalah guna narkotika.

Apa pesan Bapak bagi para penegak hukum dan masyarakat umum dalam menyikapi fenomena ini?

Saya hanya ingin mengingatkan: hati-hati mengadili perkara narkotika. Jangan samakan penyalah guna dengan pengedar.

Penyalah guna adalah orang sakit yang membutuhkan perawatan, bukan pelaku kriminal yang harus dijebloskan ke penjara.

Jika kita terus menghukum orang sakit dengan cara represif, maka penjara kita akan penuh oleh pecandu — bukan pengedar.

Sudah saatnya kita menjalankan UU Narkotika sebagaimana mestinya, dengan pendekatan kesehatan, sosial, dan kemanusiaan. Hukum seharusnya menyembuhkan, bukan memperparah keadaan.

Demikian rangkuman singkat wawancara dengan aktivis anti narkoba, jurnalis senior ke sosok polisi yang hingga kini masih menulis buku, menjadi youtuber untuk edukasi pentingnya rehabilitasi untuk pengguna narkoba.

Anang menyebut fenomena seperti yang dialami Ammar Zoni hanyalah puncak gunung es dari sistem yang belum menempatkan penyalah guna narkotika sebagai manusia yang harus dipulihkan.

Pesan Komjen Pol (Purn) Dr. Anang Iskandar sederhana tapi tajam: 

“Jangan salah mengadili. Jika penyalah guna terus dipenjara, kita tidak hanya gagal menegakkan hukum — kita juga gagal menyelamatkan manusia.”