Sinta Nuriah Mengenang Majalah Zaman, Yang Kini Menjadi Majalah MATRA
MATRANEWS.id- Istri mendiang Gus Dur alias Abdurrahmad Wahid ini masih teringat ketika sering berinteraksi dengan kru majalah Matra, saat berkantor di Senen kemudian pindah ke Warung Buncit Raya, Jakarta Selatan.
Sinta Nuriyah Wahid tetap cantik, seperti yang dulu. Ramah, bersahabat dan doyan guyon.
Ketika diajak berfoto selfie atau pose-pose lucu, seperti anak-anak yang kekinian, istri Abdurrahman Wahid ini manut saja. Klik!-klik!
catatan: Pose adegan sebelum virus Corona merebak
Tak ada jaim-nya, sebagai istriĀ Presiden RI ke-4.
“Kami mengenal kru-kru majalah Matra dengan baik, dulu pak Budi Raharjo ini masih menjadi stringer, saya sudah wartawan,” ujar Sinta Nuriah mengenang sahabatnya yang kala itu menjadi redaktur pelaksana Majalah Matra, yakni Kun S Hidayat dan Syarif Hidayat.
Semasa muda Sinta pernah berprofesi sebagai wartawan di Majalah Zaman — cikal bakal majalah Matra antara tahun 1980-1985 dan berhenti karenaa majalahnya ditutup. Lalu berpindah membantu Syu’ban Asa di majalah TEMPO.
Meskipun Gus Dur telah meninggal, Sinta tetap konsisten seperti suaminya yang selalu menyuarakan Hak Asasi Manusia, pemberdayaan perempuan, dan kebebasan beragama.
Perempuan kelahiran Jombang, 8 Maret 1948 ini menikah denganm Abdurrahman Wahid pada tanggal 11 September 1971 dan dikaruniai 4 anak; Alissa Qotrunnada Munawaroh (Lissa), Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus (Nita), Inayah Wulandari (Ina).
Sinta dibesarkan dalam lingkungan pesantren. Bahkan pendidikan dasar hingga menengah tak jauh dari lingkungan agama. Puncaknya, ia mengikuti pendidikan pesantren mualimat khusus perempuan.
Memasuki usia remaja. Dia dijodohkan dengan anak kiai besar Nahdlatul Ulama (NU) Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Kisah cinta Sinta dengan Abdurrahman Wahid ini menarik. Gus Dur merupakan gurunya ketika belajar di Muallimat.
Mereka dijodohkan oleh Kiai Fatah, pamannya Abdurrahman Wahid. Gus Dur segera mengiyakan tawaran itu. Namun, Sinta belum bersedia lantaran trauma dengan salah seorang guru yang pernah meminangnya ketika dia masih berusia 13 tahun.
Celakanya, nama guru itu juga Abdurrahman. Namun, akhirnya Sinta mulai simpati kepada Gus Dur setelah saling berhubungan melalui surat, melalui surat-surat itulah Sinta bisa mengetahui kepribadian Gus Dur yang lembut dan tajam pikirannya.
Setelah sekian lama bertukar surat, Gus Dur pun melamarnya, namun Sinta masih bimbang, tapi lama-lama kelamaan akhirnya dia memutuskan menerima Gus Dur sebagai teman hidupnya. Pada pertengahan 1966, Gus Dur meminangnya, dan keduanya lalu bertunangan.
Dua tahun kemudian, September 1968, Gus Dur akhirnya menikahi Sinta. Tapi pernikahan keduanya bisa dibilang unik.
Sebab Gus Dur berada jauh di Kairo, Mesir, sekitar 12.000 kilo meter dari Jombang, Jawa Timur, Indonesia, tempat Sinta Nuriyah berada. Karena Gus Dur tidak bisa datang saat pernikahan, akhirnya dia diwakili kakeknya, Kiai Bisri Syansuri yang berusia 81 tahun dan membuat heboh tamu undangan.
Keduanya sepakat bakal menikah lagi setelah sama-sama lulus kuliah. Dan benar saja, sepulang dari Mesir, yang pertama dilakukan oleh Gus Dur adalah nikah lagi dengan gadis yang dicintainya Sinta Nuriyah.
Ia aktif sebagai aktivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan bergabung dalam beberapa organisasi, yaitu menjadi anggota Kongres wanita Indonesia (Kowani) dan anggota Komite Nasional Kedudukan wanita Indonesia (National Commission on the Status of Women).
Aktivitas Sinta tak jauh berbeda dengan suaminya yang lebih super sibuk lagi dalam hal berorganisasi. Sinta selalu mendampingi suaminya dengan setia. Tak hanya menjaga fisik, tapi juga ikut membantu dan memahami pemikiran-pemikiran Gus Dur yang acap kali dibilang “kontroversial”.
Mulai mendampingi Gus Dur sebagai aktivis, pemikir, ketua PBNU, hingga menjadi Presiden RI ke-4. Sinta tetap konsisten seperti suaminya yang selalu menyuarakan Hak Asasi Manusia, pemberdayaan perempuan, dan kebebasan.
Bersama organisasi-organisasi perempuan, seperti ditulis di situs yayasannya, Sinta mendirikan Yayasan Puan Amal Hayati yang memiliki arti “Pesantren Untuk Pemberdayaan Perempuan” pada 3 Juli 2000, namun baru beroperasi pada tahun 2001, untuk menghindari menghindari kemungkinan timbulnya persepsi buruk di masyarakat, sebab tidak mau dikatakan memanfaatkan kedudukan Ibu Negara untuk mendirikan yayasan.
Sinta tak hanya bersuara untuk orang lain, tapi dia juga tetap mengembangkan dirinya dengan kuliah hingga S2. Ia berhasil menyelesaikan jenjang S2 pada Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia pada 1999.
Pada saat semester empat, iaĀ sempat mengalami kecelakaan lalu lintas yang menyebabkannya harus banyak beraktivitas di atas kursi roda, namun tak menyulutkan semangatnya untuk menyelesaikan pendidikannya.
Bahkan setelah suaminya wafat, Sinta tetap seperti yang dulu.
DiaĀ tak pernah lelah menyuarakan kebebasan beragama dan membela hak-hak konstitusional kelompok minoritas. Sinta diapresiasi sebagai srikandi pemberdayaan perempuan.
KELUARGA Ā Ā Ā Ā
Nama SuamiĀ Ā Ā : Abdurrahman Wahid
AnakĀ Ā Ā Ā Ā Ā Ā Ā : Alissa Qotrunnada Munawaroh (Lissa)
Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny)
Anita Hayatunnufus (Nita)
Inayah Wulandari (Ina)
PENDIDIKAN
SD, Jombang
SMP, Jombang
Mualimat, Jombang
Program S-2 Studi Kajian Wanita, Universitas Indonesia, Depok
KARIER
Wartawan di Majalah Zaman, 1980-1985
Pendiri dan Pimpinan Yayasan PUAN Amal Hayati, 2000
Anggota Kongres wanita Indonesia (Kowani)
Anggota Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (National CommissionĀ Ā Ā Ā on the Status of Women).
Ibu Negara, 1999-2001.