Warung Kaleng atau Kampung Sampay di Puncak Bogor Kembali Bergeliat?

Warung Kaleng atau Kampung Sampay di Puncak Bogor Kembali Bergeliat?

MATRANEWS.id — Di masa pandemic, kampung Arab puncak disebut  bangkrut ditinggal wisatawan Timteng.

Covid-19 membuat suasana redup. Penduduk sekitar, menyebut “surga yang hilang” bagi turis dari negara-negara Timur Tengah.

Minimarket bertuliskan Arab itu nampak kosong. Di musim yang biasanya ramai, kini tak ada aktivitas jual beli di sana. Di dalamnya tak ada barang dagangan apalagi transaksi dengan bahasa Arab.

Lantai putih minimarket itu pun benar-benar kotor. Berdebu dan berkerak. Pun dengan kaca minimarketnya, kusam dan dihinggapi debu.

Tidak jauh dari minimarket itu, sebuah barber shop dengan tulisan Arab juga nampak kosong melompong.

Radar meliput, tidak ada kursi cukur di sana. Hanya bangunan 3×4 meter dengan kaca depan bertuliskan barber shop dalam bahasa Arab.

Semenjak pandemi melanda Indonesia, kawasan yang dikenal Kampung Arab itu sepi. Banyak pengusaha gulung tikar.

Kenapa?

Lantaran tak ada satupun turis Timteng (Timur Tengah) yang datang berlibur ke kawasan Puncak.

Dengan tidak adanya wisatawan Arab (Timteng) ini sangat berdampak bagi masyarakat. Mulai dari toko kelontongan yang biasa menjual perlengkapan wisatawan, pangkas rambut, salon, rumah makan juga rental mobil.

Padahal, popularitas nama Puncak bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga di mancanegara, wabil khusus Timur Tengah, wabil khusus lagi Arab Timur Tengah, wabil khusus lagi Jazirah Arab.

Sangking terkenalnya nama “Puncak” ini, (sebagian) masyarakat Arab hafal di luar kepala kata “Puncak” meskipun sering tidak tahu nama lokasi, daerah, provinsi tempat Puncak tersebut.

Di daerah itu ada “Toko Puncak” yang menjual berbagai kebutuhan rempah-rempah Indonesia (meskipun tentu saja tidak selengkap pasar tradisional di Indonesia).

Puncak begitu “melegenda. Bisnis kelon yang customer utamanya adalah para turis Arab, meskipun tentu saja tidak semua turis Arab melakukan praktik ini.

Bisnis ngencuk Berbalut Agama

Sempat menghidupkan ekonomi berbagai pihak: pemerintah lokal, aparat keamanan, satpam, pedagang, pemilik kos-kosan dan villa, tukang ojek, germo dan masyarakat lokal tentunya.

Bisnis crat-crut berjalan karena fulus. Ada lagi yang beralasan “untuk perbaikan keturunan” dengan asumsi orang Arab itu cakep-cakep, sebuah asumsi yang syarat kebahlulan.

Demikian seorang kolumnis menyebut kata bahlul. Kata umpatan yang banyak diartikan dengan maksud “bodoh”. Padahal, ungkapan kata dari bahasa Arab itu sebenarnya bukanlah umpatan seperti yang diucapkan orang, tapi sebenarnya memiliki arti cerdas dan pintar.

Nah, kalau sebutan “zawaj al-misyar” atau “nikah misyar” alias “kawin turis”, selain “nikah sirri” dan “nikah kontrak”. Bagaimana?

Ada periode kawin kontrak dilaksanakan di sejumlah vila dan hotel. Namun, karena sering digerebek polisi, belakangan kawin kontrak pun dilakukan di dalam kendaraan.

Pelancong asal Timur Tengah mengenal Puncak, dari sesama turis yang lebih dahulu datang. Pemasaran dari mulut ke mulut atau Word of Mouth (WOM marketing) dalam dialog sehari-hari mereka.

Ada kemungkinan peran “mak comblang”, yakni biro wisata, restoran timur tengah, atau kampung Arab yang sudah lebih dulu ada di Jabodetabek.

Keindahan alam, keramahan penduduk, harga barang dan jasa yang terjangkau, dan banyaknya bangunan usaha yang memenuhi kebutuhan turis Timur Tengah. Daya pikat itu membuatnya memutuskan untuk kembali menikmati Puncak.

Istilah “hiyal”, yaitu semacam trik untuk menghalkan sesuatu berganti menjadi “kawin singkat”, biaya lebih murah, efisien, ekonomis, dan bisa dengan siapa saja tidak harus dengan perempuan dalam sistem “kawin kontrak.”

Dalam masa kawin kontrak itu, seorang perempuan mendapatkan bayaran mencapai Rp30 juta-Rp50 juta. Praktik kawin kontrak ini biasanya dilakukan secara terselubung di vila. Dengan motif mendapat keuntungan yang menggiurkan tak sedikit warga lokal yang mendukung aktivitas tersebut.

Baca juga :  Mengajak Kita Semua Untuk Selalu Berpikir Positif

Turis-turis dari padang pasir itu merindukan suasana yang berbeda dengan negeri mereka yang panas dan berpantai. Mereka mengidamkan berlibur di kawasan pegunungan yang sejuk dan hijau.

Di Puncak ini, memang banyak bunga, air mengalir, lingkungannya hijau dan indah. Wisata ke Puncak antara lain menikmati lanskap kebun teh, udara sejuk, kolam renang, air terjun, menginap di vila menjelajah kampung, dan memuaskan diri dengan jajanan dan kuliner Nusantara.

Puncak di Bogor yang meliputi tiga kecamatan, yakni Cisarua, Megamendung, dan Ciawi, merupakan tempat keberadaan hampir 1.500 penginapan berupa vila, losmen, dan hotel serta 250 restoran dan kedai.

Perputaran uang dalam pariwisata akhir pekan atau masa libur, menurut catatan Kompepar Puncak, bisa tembus Rp 20 miliar per hari. Saat libur, Puncak bisa diserbu 200.000 turis per hari.

Kawasan Puncak dulu adalah salah satu konsentrasi komunitas Tionghoa. Komunitas itu biasanya mendekati jalan raya dan pusat ekonomi (pasar).

Tak mengherankan jika di Cisarua dulu juga ada komunitas Tionghoa yang kemudian berbaur, bahkan melebur, bersama komunitas Muslim setempat. Seusai membangun jalur menembus Puncak sampai Cianjur dan Bandung, pihak kolonial membangun perkebunan teh.

Yang masih tersisa di Cisarua ialah Gunung Mas milik PTPN VIII. Adapun Perkebunan Teh Ciliwung telah bangkrut dan Perkebunan Teh Cisarua Selatan sudah tidak berbekas.

Puncak menjadi lokasi pemerintah kolonial membangun vila peristirahatan; taman wisata, seperti Riung Gunung; monumen, seperti Istana Cipanas; dan pusat penelitian botani, seperti Kebun Raya Cibodas.

Masyarakat tradisional, bekerja menggarap lahan partikelir, yakni menjadi petani, pekebun, dan peladang.

Puncak dikenal bukan sekadar penghasil teh, melainkan juga sayur, buah, dan obyek wisata.

Catatan dari berbagai sumber, wisatawan mancanegara (wisman) asal Timur Tengah mulai ramai mendatangi kawasan Puncak Bogor, terutama Cisarua sejak 1985. Selain dari Arab Saudi, juga banyak turis asal Kuwait, Iran, Irak, dan Maroko.

Biasanya mereka datang ke kawasan tersebut pada musim-musim tertentu, antara lain seusai musim haji, hari raya Maulid Nabi, dan pertengahan bulan Maret.

Bakda Maghrib, turis-turis muda Arab itu semakin mudah dilihat. Mereka hilir-mudik untuk berbelanja, makan di restoran, ke salon, money changer atau sekadar jalan-jalan santai menikmati udara dingin Puncak.

Siangnya, mereka biasanya berkunjung ke objek-objek wisata terdekat seperti ke Taman Bunga Nusantara, Taman Raya Cibodas, Taman Safari Indonesia, Taman Wisata Alam Telaga Warna, Curug Cilember, dan lainnya.

Di Taman Safari mereka biasanya senang melihat Cowboy Show. Sedangkan di Cimory, mereka suka belanja susu dan mencicipi aneka makanan lezat di Restoran Cimory.

Saat di Telaga Warna, biasanya turis Arab bersantai sambil duduk-duduk di tikar di tepian telaga. Tak sedikit yang menjajal flying fox atau naik getek mengelilingi telaga serta belanja aneka buah dan sayuran khas Puncak.

Lain lagi  di Taman Bunga Nusantara, para turis kawasan Timur Tengah yang terpantau berkunjung  bukan cuma dari kalangan keluarga Arab, pun kelompok laki-laki Arab dewasa yang terpesona dengan aneka bunga di taman itu.

Ada yang menyebut para pelancong Timur Tengah, terutama wisatawan mudanya mulai suka wara-wiri di daerah Cipanas terutama di sepanjang Jalan Hanjawar Pacet (Hancet), Loji, sampai Cineungah.

 Musim Arab di Juni hingga Agustus

Kawasan Warung Kaleng atau Kampung Sampay di Puncak, Cisarua, mulai menunjukkan tanda-tanda aktivitasnya. Ada harapan, untuk suasana kembali hidup seperti sediakala. Pada Juni hingga Agustus.

Kampung ini menjadi istimewa buat turis Arab karena banyak bidadari dan secara sosial lingkungan di sini longgar, warganya tak begitu peduli dengan urusan orang lain.

Baca juga :  Peserta Vaksinasi Merdeka Disapa Jokowi, Mereka Menyapa Apa?

Bagi orang Arab, Warung Kaleng bukan hanya jabal ahdor, tapi juga jabal al jannah, gunung surga. Bidadari-bidadari itu didatangkan dari desa lain yang cukup jauh.

Singkat cerita, “kerasan”lah turis-turis itu berlibur di Jabal Al Jannah.  Warga setempat pun menyambut para turis Arab dengan terbuka. Apa boleh buat, secara nyata, mereka memang mendatangkan fulus. Penginapan terisi, makanan terjual, sumbangan pun mengalir.

Tapi, tak seluruh penduduk mengangguk-angguk dan mengucapkan: “Ahlan Wasahlan” kepada tamu-tamu Timur Tengah itu. Ada banyak juga  tokoh masyarakat Kampung Sampay, merasa tak enak melihat perilaku para turis itu.

Para ulama, katanya, pasti tidak setuju warga di sini memfasilitasi para turis itu ber-dugem ria alias berdunia gemerlapan. Mereka itu enggak bener. Masa sih ada Arab zina.

Sementara itu para turis dimanja oleh pemandu wisata, mencarikan kambing korban, mengantar si turis dengan ojek, mencarikan vila, sampai menjadi preman penjaga keamanan. Mereka mendapatkan penghasilan.

Kendati warga setempat bisa berbahasa arab, mereka tidak bisa menjadi pemandu wisata. Soalnya, untuk menjadi guide, mereka harus terdaftar di Ikatan Guide Puncak yang pengurusnya adalah pendatang.

Itulah, dari pemandu wisata, penerjemah, pengelola trans-portasi, sampai pengelola penyewaan mobil, hampir semuanya orang Jawa Tengah ”terutama dari Solo dan sekitarnya dan dari Jakarta. Juga toko-toko yang berderet di Warung Kaleng, sebagian besar dimiliki pendatang.

Seringnya turis Arab datang ke kampung itu membuat di sana ada istilah Musim Arab. Dampak positif ‘musim arab’ itu, selain seluruh vila yang dijaga warga setempat full karena di-“booking” selama empat bulan ke depan.

Warung Kaleng saat ini dikenal dengan sebutan kampung Arab karena keberadaan deretan bangunan usaha beraksara Arab nyaris tanpa tulisan Indonesia di sana.

Sepanjang 50 meter di kiri dan kanan Jalan Raya Puncak di daerah itu sesak oleh salon, toko wewangian, toko swalayan, tempat penukaran uang, biro wisata, toko peralatan, dan restoran timur tengah.

Di antara bangunan-bangunan bernuansa Timur Tengah itu terselip warung bubur ayam, rumah makan minang, dan kedai internet. Jangan heran jika di Warung Kaleng berseliweran orang Timur Tengah. Mereka campuran dari pelancong, imigran, atau pengungsi.

Tak perlu mengernyitkan dahi mendengar warga lokal kini fasih berbahasa Arab. Bisa juga terdengar orang Timur Tengah yang terbata dan terdengar lucu saat berbahasa Indonesia atau Sunda.

Sebelum menjadi kampung Arab, deretan bangunan usaha di sana dikuasai warga keturunan Tionghoa, Arab, atau Sunda. Mereka memanfaatkan tanah partikelir untuk berusaha.

Lahan di belakang deretan bangunan usaha saat itu belum padat oleh pembangunan vila dan permukiman. Ketua Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar) Puncak Teguh Maulana mengingat, julukan “Warung Kaleng” sudah ada sejak zaman kolonial.

Julukan itu konon karena toko-toko dan kedai di kawasan itu dulu beratap seng yang mirip bahan kaleng.

Sekitar 1970, Jalan Raya Puncak warisan kolonial itu mulai diaspal. Aspal digodok di dalam drum-drum kaleng.

Ada saudagar Arab yang memanfaatkan drum-drum bekas itu untuk dinding bangunan usaha. Julukan Warung Kaleng pun kian lekat di kawasan itu. Warung yang dimiliki warga keturunan Arab menjual permadani, lampu pelita, dan berbagai perkakas. Warung orang Sunda menjual makanan dan minuman.

Di Warung Kaleng sempat sangat maju. Telah muncul lebih dari 10 tempat penukaran uang, lebih dari 10 peternakan kambing dengan penjualan sampai 75 kambing per hari per peternak.

Ada lebih dari 20 restoran timur tengah, hampir 30 komunitas wisata, 200 ojek sepeda motor dan persewaan mobil, serta 200 orang dalam dua kelompok juru masak khusus (hadamah). Semua melayani kebutuhan turis Timur Tengah.

Baca juga :  Peran Dispenal Dalam Melaksanakan Kontra Opini dan Penanggalan Massa

Warung Kaleng tidak didesain menjadi kampung Arab. Perubahan yang drastis terjadi karena desakan industri pariwisata. Karena yang datang dan lama menginap adalah komunitas Timur Tengah.

Warung Kaleng pun merespons dengan menyediakan segala kebutuhan. Jadilah ada kecenderungan arabisasi atau kearab-araban.

Warung Kaleng berubah menjadi kampung Arab.

Ada periode, mereka sampai memberi julukan kawasan berudara sejuk itu sebagai Jabal al-Jannah, Gunung Surga.

Bagaikan Sepotong Surga di Dunia.

Ketika itu (baca: sebelum pandemi), banyak turis Arab yang wara-wiri di sini. Ada yang berpakaian kasual, tak sedikit yang mengenakan pakaian ala padang pasir, termasuk perempuan Arab yang mengenakan baju muslimah bercadar serba hitam.

Ada sejumlah rumah makan atau resto yang menjajakan menu Timur Tengah, nasi kebuli dan tak ketinggalan penjual syisyah alias rokok khas Arab.

Geliat kehidupan orang-orang Arab di Kampung Sampay ditandai dengan berdirinya plang yang menjadi penanda toko atau bangunan tertentu ditulis dengan menggunakan huruf Arab.

Kalau Anda bertanya kepada penduduk sekitar tentang Kampung Arab, mereka tampak terbengong-bengong. Satu atau dua orang yang tiba-tiba memahami arah pertanyaan akan menjawab:, “Maksudnya Warung Kaleng?”

Benar, nama Warung Kaleng lebih dikenal dari Kampung Sampay atau Kampung Arab. Bahkan, dikenal bukan saja oleh warga setempat, tapi juga sopir taksi di Bandara Soekarno-Hatta.

Masuklah ke sembarang taksi, lalu sebut Warung Kaleng; dijamin Anda akan sampai ke Desa Sampay, Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Bogor.

Para turis Arab itu biasanya menyewa vila atau hotel di wilayah Ciburial dan Warung Kaleng di sekitaran Cisarua. Kedua daerah tersebut memang langganan orang Arab untuk memanjakan diri.

Selain itu, mereka pun mudah untuk mendapatkan hidangan makanan yang cocok dengan lidah mereka. Sebab, sepanjang jalan Cisarua banyak berdiri restoran Arab dengan harga terjangkau.

Restoran tersebut menjadi tempat nongkrong turis Arab. Keramaian orang Arab akan terlihat pada malam hari. Mereka betah berkumpul berjam-jam dengan para koleganya dengan nyaman.

Bagi warga lokal yang datang ke restoran Arab sedikit merasa aneh. Meski harganya cocok, suasana dan para pengunjung yang didominasi orang Arab akan membuat tak ingin lama-lama duduk di sofa khas Timur Tengah yang empuk.

Dalam restoran tidak ada minuman beralkohol. Para turis Arab biasanya mengincar sisha atau rokok khas Timur Tengah untuk memanjakan diri. Tentu diselingi makanan dan minuman khas Arab juga.

Tidak hanya makanan, acara televisi pada restoran juga berbahasa Arab. Bahkan, kasir pada restoran itu merupakan orang Arab. Keberadaannya tentu makin membuat pengunjung khususnya turis Arab lebih mudah mendapat informasi mengenai sajian pada restoran itu.

Warung Kaleng merupakan gerbang Kampung Arab. Di kawasan warung itulah pusat lalu lintas turis Arab (kebanyakan dari Arab Saudi, Bah-rain, Kuwait, dan Qatar).

Soalnya, sejauh ini, hanya di warung-warung itu tersedia segala kebutuhan turis Arab yang khas: mulai dari minuman (vodka yang didatangkan dari Jakarta), tembakau dan bumbunya (yang langsung diimpor dari Timur Tengah) untuk merokok gaya Arab, sampai roti arab (buatan lokal).

Di kawasan ini, para turis itu boleh merasa setengah di rumah sendiri, setidaknya dalam hal makan, karena di jalan ini ada dua rumah makan khas Timur Tengah.

Akibat pandemi, kunjungan wisman asal Timur Tengah ke Indonesia termasuk ke kawasan Puncak Bogor Cianjur merosot tajam.

Akankah setelah pandemi berakhir, predikat surga wisata turis Arab, Oasis Timur Tengah-nya Indonesia, dan atau “Little Arab”-nya Indonesia bakal kembali disandang kawasan Puncak Bogor Cianjur?

 

Tinggalkan Balasan