Hukum  

Justice For Health, Hakim Harus Peduli Terhadap Penyalahguna Narkoba Agar Lapas Tidak Over Kapasitas

 

MATRANEWS.id — Hakim yang mengadili perkara kepemilikan narkotika  untuk digunakan sendiri, dengan barang bukti kepemilikan jumlahnya terbatas untuk pemakaian sehari, harus memahami.

Bahwa tujuan UU narkotika dalam menanggulangi masalah narkotika adalah memberantas peredaran gelap narkotika dan  menjamin penyalah guna narkotika mendapatkan upaya rehabilitasi, justice for health.

Ketidak pedulian hakim terhadap justice for health menyebabkan terjadinya lapas over kapasitas,  timbulnya residivisme penyalahgunaan narkotika, bisnis narkotika menjadi subur dan hakim disibukan dalam mengadili perkara narkotika.

Dengan justice for health terhadap penyalahgunaan narkotika maka perlakuan terhadap penyalah guna dan pengedar tidak sama meskipun sama sama pelaku kriminal.

Penyalah guna meskipun melanggar hukum narkotika diperlakukan secara rehabilitatif selama proses peradilannya. Karena tujuan UU narkotika yaitu, menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Berbeda dengan pengedar, pengedar diperlakukan secara represif karena tujuan UU nya  memberantas peredaran gelap narkotika.

Sehingga penuntutan terhadap penyalahguna dan pengedar tidak boleh digabung secara komulatif maupun subsidiaritas seperti selama ini terjadi, meskipun penyalah guna dan pengedar mempunyai hubungan kejahatan.

Itulah sebabnya mengapa UU narkotika mengatur mengenai dekriminalization of drug possession or use (dekriminalisasi penyalah guna narkotika) yaitu penyalah guna diancam secara pidana, dalam  proses pertanggungan jawab pidananya bersifat rehabilitatif, dan sanksinya keluar dari sanksi pidana berupa menjalani rehabilitasi (Anang Iskandar 2014).

Dekriminalisasi penyalah guna narkotika sesuai  tujuan UU narkotika dan diatur dalam UU narkotika dalam bentuk :

Pertama, wajib lapor pecandu (penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan).

Apabila penyalah guna narkotika memenuhi kewajiban hukum untuk melapor dan mendapat layanan rehabilitasi maka penyalah guna yang semula statusnya diancam pidana, berubah menjadi tidak dituntut pidana.

Meskipun melakukan tindak pidana lagi selama proses perawatan, tetap tidak dituntut pidana karena sifat ketergantungan narkotika yang diderita penyalah guna mudah kambuh.

Kedua, keputusan/penetapan hakim. Hakim dalam memeriksa perkara penyalah guna wajib memperhatikan kewenangan justice for health yang tercantum dalam pasal 103.

Kewenangan hakim dalam pasal 103 tersebut adalah kewenangan dapat memutuskan hukuman rehabilitasi bila terbukti bersalah dan menetapkan memerintahkan terdakwa menjalani rehabilitasi bila terbukti tidak bersalah

Artinya sanksi rehabilitasi tersebut bersifat wajib. Kewenangan justice for health diberikan kepada hakim untuk menjamin tujuan UU narkotika dapat diwujudkan.

Pemahaman hakim terhadap kekhususan UU narkotika tersebut diatas diharapkan menumbuhkan kepedulian terhadap penyalah guna narkotika sebagai penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika.

Over kapasitas

Juga peduli terhadap lapas yang terus menerus mengalami over kapasitas, peduli terhadap maraknya residivisme penyalahgunaan narkotika dan peduli terhadap masalah bisnis narkotika yang terus berkembang di Indonesia.

Kepedulian hakim akan terwujud bila hakim better knowlege tentang kekhususan UU narkotika yang berlaku saat ini.

Kekhususan UU narkotika adalah korban kejahatan narkotika (penyalah guna narkotika) dikriminalkan oleh UU,  penyalah guna narkotika adalah penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika.

Dan, sanksi bagi penyalah guna keluar dari sanksi pidana berupa rehabilitasi, hakim diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi rehabilitasi, masa menjalani rehabilitasi sebagai masa menjalani hukuman

UU narkotika mengatur secara teknis bahwa pelaku kejahatan peredaran gelap narkotika, diancam dengan pasal 211, 112, 113, 114 diberikan sanksi pidana berat, dengan ancaman pidana minimum.

Sedangkan penyalah guna diancam dengan pasal 127/1 diberikan sanksi alternatif berupa rehabilitasi bersifat wajib.

Ancaman pidana pasal 127/1, tidak memenuhi sarat dilakukan penahanan selama proses penegakan hukum.

Karena tidak memenuhi sarat ditahan, sedangkan tujuan UU menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi maka Pemerintah membuat Peraturan Pemerintah no 25/2011 mengatur tentang penyalah guna dalam proses hukum ditempatkan dilembaga rehabilitasi agar sembuh / pulih sesuai tujuan UU narkotika.

Penegak hukum baik penyidik, jaksa penuntut maupun hakim diberi kewenangan untuk menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi selama proses penegakan hukum.

Masa menjalani rehabilitasi selama penyidikan, penuntutan dan pengadilan diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

UU narkotika juga mengatur perbedakan penyalah guna dan pengedar berdasarkan tujuan kepemilikan narkotikanya, bila tujuan kepemilikannya untuk dijadikan komoditas untuk dijual atau sebagai alat tukar maka digolongkan pengedar

Bila tujuan kepemilikan narkotikanya untuk digunakan sendiri atau dikonsumsi sendiri atau dikonsumsi ramai ramai dalam pesta narkotika digolongkan sebagai penyalah guna.

Unsur kepemilikan narkotika antara penyalah guna dan pengedar adalah sama yaitu membeli, memiliki, menguasai narkotika.

Nah di sini yang banyak terkecoh kalau hanya membaca unsur pasal per- pasal UU narkotika.

Agar tidak terkecoh, maka Mahkamah Agung membuat kriteria untuk membedakan penyalah guna dari pengedar berdasarkan gramasi kepemilikan narkotika yang tergolong penyalah guna.

Maka terbitlah surat edaran MA no 4 tahun 2010 berisi kriteria hakim dalam menjatuhkan pemidanaan rehabilitasi adalah:

Pertama, bila jumlah kepemilikannya terbatas/sedikit  untuk kepentingan sehari pakai tergolong penyalah guna, bila melebihi pemakaian untuk kepentingan sehari pakai tergolong pengedar.

Kedua, untuk menjatuhkan lamanya proses menjalani rehabilitasi hakim harus sungguh sungguh mempertimbangkan kondisi atau taraf kecanduan terdakwa sehingga wajib diperlukan keterangan ahli.

Selama ini hakim tidak menghadirkan keterangan ahli dalam memeriksa perkara narkotika yang kriterianya sebagai penyalah guna narkotika

Nah, disini hakim oversight. Oversight ini menyebabkan hakim menjatuhkan sanksi penjara kepada terdakwa yang terbukti sebagai penyalah guna narkotika.

Dengan sanksi penjara tersebut berdampak besar terhadap terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika, lapas menjadi over kapasitas  dan masalah bisnis narkotika menjadi subur.

*** Anang Iskandar adalah seorang purnawirawan polisi  dengan pangkat terakhir Komisaris Jenderal. Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) dan Kepala Badan Narkotika Nasional yang kini menjadi dosen, kolumnis dan penulis buku. 
Telah terbit dari beredar di toko buku Gramedia di seluruh Indonesia.

Tinggalkan Balasan