MATRANEWS.id — Beberapa waktu lalu saya ngobrol dengan teman-teman Public Relation (PR) soal “Bagaimana Media Saat ini?” dan “Harus Bagaimana Menghadapi Media Saat ini?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja tidak muncul begitu saja.
Pengalaman para PR di lapangan membuat mereka juga berpikir keras ketika mendapati undangan media yang hadir berkurang banyak atau sebaliknya bertambah banyak.
Loh, bagaimana mungkin muncul dua hal yang berseberangan tersebut?
Kenyataan di lapangan adalah saat para PR mengundang media, kehadiran media-media tradisional yang memiliki brand kuat semakin sedikit jumlahnya.
Sementara itu, semakin banyak kehadiran media-media baru dengan format digital yang bermunculan dengan berbagai nama yang sebagian masih asing.
Saat ini media di Indonesia, bahkan internasional (meskipun tidak semua) sedang mengalami proses metamorfosa.
Ada perubahan besar yang jauh berbeda dengan tiga atau lima tahun lalu. Ibarat kepompong yang kini sudah berubah menjadi kupu-kupu.
Yang tadinya masih kokoh dengan format cetak sekarang sudah mulai kehabisan “napas” dan bermetamorfosa menjadi media digital.
Yang tadinya masih bisa berhitung dengan mudah soal harga melalui bentuk iklan cetak. Sekarang, sudah harus berpikir keras melalui format-format digital.
Bahkan, bukan hanya bentuknya saja yang berubah namun isinya pun harus berganti. Tidak gampang mengubah format yang biasanya cukup dengan tulisan dan foto atau gambar menjadi tulisan, foto, gambar, suara dan film.
Para jurnalis, tidak lagi sekadar mencari berita dan melaporkan berita karena dirinya sekarang sudah menjadi bagian dari berita itu sendiri.
Itulah sebabnya, netizen muncul menjadi jurnalis-jurnalis baru yang memicu banyak hal, diantaranya berita palsu, hoax dan rekayasa-rekayasa berita lainnya.
Kecanggihan dan kemudahan teknologi dengan berbagai aplikasi yang ada di tangan setiap orang membuat orang dengan gampang menciptakan berita mengakibatkan kebingungan-kebingungan. Antara fakta dan rekayasa semakin sulit dibedakan.
Munculnya netizen, influencer, serta media digital baru yang dibuat untuk tujuan tertentu juga semakin mengaburkan berita dan opini.
Pembaca atau pemirsa sudah semakin sulit memilah manakah yang berita manapula yang sebenarnya opini pribadi (atau kelompok).
Berita seputar Pemilu yang baru lalu adalah salah satu contoh kaburnya fakta dan opini yang mengakibatkan kebingungan di sebagian masyarakat. Ketika satu sama lain mengabarkan fakta yang berbeda, sulit untuk menemukan fakta yang benar-benar nyata.
Selain itu, media yang tengah lelah menghadapi “Hari Tua”-nya dan tengah bersemangat menjadi dirinya yang baru bisa jadi juga tak mampu menahan tekanan antara menyampaikan berita atau menghadirkan opini (terutama ketika berhadapan dengan pemodal).
Bahkan jika kita menyaksikan acara talkshow di televisi, yang sering muncul bukan lagi penyampaian informasi berdasarkan kepakaran, melainkan debat kusir bercampur emosi karena masing-masing pembicara mempertahankan opini tanpa analisa.
Lalu bagaimana dengan para teman-teman PR tadi? Apa yang harus dilakukannya menghadapi kondisi tersebut?
Yang perlu diingat adalah bahwa fungsi media relation harus tetap berjalan dan dijalankan. Justru sekaranglah saatnya fungsi ini diperkuat karena sudah semakin banyak alternatif penyampai informasi.
Terkait dengan media, pilihan media mainstream sudah pasti menjadi prioritas karena struktur di media ini paling tidak masih lebih kuat ketimbang media baru. Meskipun banyak didapati bahwa secara SDM, sudah jelas terjadi penyusutan.
Yang juga tak bisa dilupakan adalah media-media lokal atau media dengan segmentasi bidang yang jelas. Di era digital dan informasi ini, bahkan para jurnalis mengaku juga mendapatkan informasi dari media-media ini.
Media nasional mencari berita dari media lokal sementara media yang menulis tentang suatu bidang/hal mencari data dari media yang fokus dengan bidang/hal tersebut.
Dan ketika banyak media yang menampilkan potongan data, diagram, gambar, infografis, dan sebagainya jangan pernah tinggalkan tulisan-tulisan panjang yang memiliki analisis, pemikiran dan membuat pikiran kita bekerja.
Percayalah, ketika tulisan-tulisan panjang dan substansial yang bukan hanya kilasan-kilasan ini tetap ditampilkan, informasi yang disampaikan akan tetap lebih terpendam di dalam pikiran. Bukankah ini yang dicari?
Terakhir, menyampaikan informasi kepada media bahkan kepada persona yang tepat, memiliki kredibilitas, dan dipercaya publik (-nya) tetap harus menjadi prioritas.
Silakan juga melakukan berbagai pendekatan alternatif karena di era digital ini tak ada yang tetap. Semua harus fleksibel dan harus siap bermetamorfosa.
#Dwi Sutarjantono/Media expert-Brand Consultant
klik juga: majalah eksekutif yang terus komit di edisi cetak — klik ini