Runtuhnya Kejantanan, Oleh: Seno Gumira Ajidarma

MATRANEWS.id — Benarkah merokok, apalagi rokoknya kretek tanpa filter, membuat seseorang jadi jantan?

Ironisnya, iklan rokok yang mana pun sekarang ini selalu diakhiri dengan peringatan.

Bahwa merokok berakibat impotensi: jadi seluruh konstruksi kejantanan yang mengiringi rokok itu, seperti kopi hitam kental, burung elang, jip, terbang layang, terjun patung, mendaki tebing, dan entah apalagi, menjadi gugur.

Namun, pertanyaan lanjutannya lebih menarik: benarkah impotensi memastikan seseorang tidak jantan?

Dalam komik Jampang Jago Betawi, karya Ganes Th yang menimba legenda Betawi, tokoh dengan penanda yang dimaksudkan sebagai kejantanan.

Dan dinyanyikan sebagai kumis melintang dada berbulu tidak ungkulan melawan Raisan Macan Serpong yang impoten—dan Si Jampang mengakuinya sebagai jagoan yang hebat.

Dengan ini semua ikon kejantanan jadi gugur, selain kekerasan tidak berlaku lagi sebagai legitimasi ikon kejantanan, impotensi juga tidak merontokkan kejantanan yang mana pun.

Jadi, yang bagaimanakah kejantanan itu? Sebetulnya tidak ada yang resmi, dan adakah yang tidak resmi?

Tentu tidak—karena kejantanan yang dianggap ada, yang dianggap bermakna, adalah konstruksi sosial.

Ada masanya manusia betul-betul kena kibul, menganggap asap rokok yang memenuhi paru-paru adalah kejantanan itu sendiri.

Pada masa lain, ketika Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia, dan rezim Orde Lama mengirim pasukan militer ke “Kalimantan Utara”,.

Sosok kejantanan adalah Kopral Djono—tentu ini adalah judul sebuah lagu. Kira-kira kalau sekarang semacam Rambo.

Namun, tentu akan muncul pertanyaan, “kejantanan” semacam itukah yang dilihat perempuan pada seorang laki-laki?

Kalau kacamata perempuan cerdas seperti aktris Mia Farrow atau Diane Keaton jadi ukuran, ternyata keduanya memilih sutradara genius Woody Allen, yang kalau dibandingkan dengan Si Jampang saja tentu tidak keruan.

Celakanya, Woody Allen menghancurkan “reputasi” dengan memacari anak pungutnya sendiri yang asal Korea dan waktu itu di bawah umur—dan ini membuat banyak perempuan, baik yang cerdas maupun kurang cerdas, merasa ingin muntah.

Dengan kata lain, ketiga perkara yang telah disebut, kegagahan fisik, daya seksual, otak genius, semuanya tidak sahih sebagai simbol kejantanan atau pun kehebatan seorang laki-laki.

Apakah moralitas yang akan jadi ukuran?

Bahwa laki-laki yang hebat itu yang bisa jadi teladan dalam akhlak, sanggup mencari nafkah untuk keluarga, membimbing anak-anak dengan penuh kasih sayang, dan dengan rendah hati masih selalu belajar sampai tua?

Mungkin ini ideal, hanya mungkin, karena laki-laki semacam itu bisa sangat membosankan, dan seorang perempuan bisa saja akan tega meninggalkannya, demi kehidupan yang lebih ceria dan penuh warna.

Tepatnya, kita tidak akan pernah tahu apa “sebenarnya” kejantanan yang ideal itu, meski kita bisa memeriksa apa saja yang selama ini membentuk citra kejantanan.

Setidaknya terdapat suatu teori bahwa maskulinitas dibentuk dari empat aspek: tubuh, tindakan, dunia eksternal, dan dunia internal.

Dalam buku yang ditulis dua perempuan feminis, Pat Kirkham dan Janet Thumim, You Tarzan: Masculinity, Movies and Men (1993), disebutkan bahwa tubuh yang dianggap jantan adalah yang tegap dan berotot.

Makanya, pemeran Tarzan atau Spartacus tidak mungkin kurus-keringlah-yaw.

Nah, tubuh yang gempal ini juga harus melakukan berbagai tindakan fisik yang mengindahkan ketubuhannya.

Sehingga kita lihat eksploitasi tubuh dalam film action—tidak ada jagoan yang tubuhnya kagak beres atau pun biasa-biasa saja.

Meskipun, para juara bela diri dan anggota Kopassus dalam kenyataan tubuhnya tidak dibentuk seorang instruktur di gim.

Adapun dunia eksternal adalah tempat sang pahlawan mendapat makna dalam hubungan sosial, artinya dia harus jadi pusat, peran utama, dan biasanya sang penyelamat, bukannya yang diselamatkan.

Namun, perbincangan tentang dunia internal bisa menjadikannya antihero: karena di sini pertanyaannya bukan kejantanan simbolik yang diberi makna, melainkan manusia (kebetulan lelaki) nyata yang memberi makna hidupnya.

Seperti Travis Bickle dalam Taxi Driver (Martin Scorsese, 1976) yang membantai sindikat pelacuran bukan karena tertokohkan sebagai pahlawan.

Melainkan orang pinggiran yang kesepian dan merasa tak berarti yang terpanggil untuk memainkan peran pahlawan, tanpa dirinya merasa jadi pahlawan itu sendiri.

Kejantanan imajinatif rontok dan muncul lelaki yang nyata. Toh, ini pun masih sebuah konstruksi—tetapi yang menjadi alternatif dari wacana dominan seperti kejantanan fisik yang bodoh dalam iklan rokok tadi.

Tinggalkan Balasan