Sepenggal Blok M Jakarta Selatan

MATRANEWS.id — Blok M, sebuah kawasan yang tak pernah kehilangan denyutnya, terletak di tengah hiruk-pikuk Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Sebagai pusat bisnis dan perbelanjaan, Blok M adalah tempat di mana cerita hidup kaum muda ibu kota terus dituliskan setiap harinya. Dengan fasilitas lengkap yang meliputi transportasi, pusat perbelanjaan, kuliner, seni, hingga hiburan, Blok M seolah menjadi panggung besar bagi anak-anak muda yang mencari kebebasan dan jati diri.

Kisah Blok M berawal dari zaman kolonial, ketika Batavia menjadi pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, Batavia menjadi magnet bagi para pencari nafkah dari berbagai penjuru, baik dalam maupun luar negeri.

Kepadatan penduduk yang diprediksi akan meningkat mendorong pemerintah untuk merancang kota satelit pada tahun 1937, yang kemudian dikenal sebagai Kebayoran Baru.

Namun, pembangunan tersebut sempat terhenti akibat alih kuasa hingga dilanjutkan setelah Indonesia merdeka pada tahun 1948, membagi Kebayoran Baru menjadi beberapa blok, termasuk Blok M.

Pada era 1950-an hingga 1960-an, Blok M belum menjadi tujuan utama bagi kaum muda.

Fasilitas transportasi umum yang belum memadai dan infrastruktur yang masih dalam tahap perkembangan membuat kawasan ini tampak biasa saja.

Semuanya berubah berkat gebrakan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977. Ali Sadikin, yang dikenal sebagai Kennedy dari Timur, memulai transformasi besar-besaran di Jakarta, termasuk mempercantik Blok M.

Bang Ali menyadari pentingnya Blok M sebagai kawasan komersial masa depan, meski luasnya hanya tiga kilometer persegi.

Ia membangun terminal Blok M dan Pasar Melawai pada tahun 1968, serta menjadikannya pusat seni, kuliner, olahraga, hiburan, dan bisnis. Jalan Hasanuddin diubah menjadi kawasan kuliner permanen, dan GOR Bulungan didirikan pada tahun 1972 sebagai tempat berkumpulnya anak muda dan seniman.

GOR Bulungan, dengan fasilitas olahraga dan ruang pertunjukan seni, menjadi magnet bagi para seniman muda seperti Noorca M. Massardi, Renny Djajusman, Yudhistira A.N.M. Massardi, Radhar Panca Dahana, dan Anto Baret.

Perlahan tapi pasti, Blok M menjadi pusat pertemuan dan tongkrongan anak muda yang mencari ekspresi diri. Bioskop seperti Kebayoran Theatre, New Garden Hall Theatre, dan Benyamin Theatre ikut meramaikan suasana.

Blok M juga menjadi surga bagi para pecinta musik. Toko kaset yang menjual lagu-lagu hits dari dalam dan luar negeri menjadi buruan anak muda.

Jan Djuhana, produser musik kenamaan, menjadikan Blok M sebagai pusat riset selera musik anak muda, yang kemudian menjadi bahan pertimbangan untuk mengorbitkan penyanyi atau grup band.

Seiring waktu, Blok M semakin lengkap dengan kehadiran Aldiron Plaza yang menjadi tempat anak muda mejeng dan bermain sepatu roda diiringi lagu-lagu disko. Bahkan, partai politik melihat potensi Blok M sebagai tempat kampanye untuk menjaring pemilih muda.

Kini, dengan kemajuan transportasi seperti TransJakarta dan MRT, Blok M terus mempertahankan citranya sebagai pusat tongkrongan anak muda.

Meski minat dan hiburan anak muda era kini berbeda, semangat dan gairah Blok M tetap sama, menjadi pusat kehidupan yang terus berdetak di tengah kota yang tak pernah tidur.

Tinggalkan Balasan