MATRANEWS.id — “Bertele-telenya masalah tarif ini, membuktikan Kemenhub tidak paham tentang pentingnya angkutan penyeberangan,” ujar Bambang Soekartono, praktisi dan pemerhati sektor transportasi logistik,
Bambang kepada jurnalis media di Jakarta memaparkan, Kementerian Perhubungan sangat lamban menanggapi kesulitan pelaku usaha angkutan penyeberangan yang semakin kritis.
“Akibat evaluasi. dan penetapan tarif moda transportasi itu berlarut-larut hingga 1,5 tahun,” ujarnya.
Menurut Bambang Haryo, evaluasi tarif angkutan penyeberangan komersial antarprovinsi, bisa disebut sangat lamban.
“Tidak sesuai dengan kebijakan Presiden Joko Widodo agar aparat pemerintah melayani perizinan dengan cepat,” tutur pria kelahiran Balikpapan, Kalimantan Timur, 16 Januari 1963 ini.
Untuk usulan evaluasi tarif, sama seperti perizinan. Karena, ini menyangkut pelayanan publik. Presiden Jokowi sudah memberikan batas perizinan maksimal 3 jam.
Tapi, “Kenyataannya bertele-tele hingga 1,5 tahun ditambah birokrasinya panjang karena sekarang melibatkan tiga instansi.”
Bambang Haryo, mengungkap tiga departemen itu adalah Kemenhub, kemudian Kemenko Maritim dan Investasi, serta Kementerian Hukum dan HAM.
Masih dalam penjelasan Bambang, Kemenhub melanggar aturannya sendiri yakni Keputusan Menhub No. KM 58 Tahun 2003.
Aturan itu tentang Mekanisme Penetapan Dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan, yang menyatakan evaluasi tarif harus dilakukan setiap enam bulan sekali.
“Evaluasi tarif sudah 1,5 tahun tapi belum juga ditetapkan, sementara tarif belum naik dalam 3 tahun terakhir,” ungkapnya panjang lebar.
Bambang menilai, berlarut-larutnya evaluasi tarif menunjukkan Kemenhub kurang peduli terhadap kondisi angkutan penyeberangan dan perintah percepatan perizinan dari Presiden.
Pada era Orde Baru saja, tutur Bambang Haryo, birokrasi evaluasi tarif dipangkas dengan menghilangkan mekanisme melalui DPR RI sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 21/1992 tentang Pelayaran.
Ketentuan ini diperkuat dengan PP No. 82/1999 tentang Angkutan di Perairan, yang menyebutkan penetapan tarif cukup melalui Menhub,” ujar Bambang.
Birokrasi Tarif Yang Panjang & Bertele-tele.
“Tidak sesuai dengan jargon Presiden memangkas hambatan usaha dan birokrasi,” ujar Bambang menyebut birokrasi tarif yang panjang dan bertele-saat ini, merupakan suatu kemunduran.
Lebih mengherankan lagi, lanjut Bambang Haryo, Kemenhub bukan hanya menunda penetapan tarif, melainkan juga mencicil kenaikan tarif angkutan penyeberangan selama 3 tahun ke depan.
Padahal, masih menurut Bambang, perhitungan tarif sudah sangat transparan karena pendapatan dari penjualan tiket langsung diketahui oleh pemerintah melalui PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Pemerintah mengetahui bahwa pendapatan itu sulit untuk menutupi keselamatan dan kenyamanan pelayaran.
“Sebagai sarana (alat angkut) sekaligus prasarana publik yang supermassal, angkutan penyeberangan sangat vital karena tidak tergantikan oleh moda lain,” kata Bambang Haryo.
Oleh karena itulah, Bambang meminta melakukan langkah kongkrit, negara melindung kondisi usaha kondusif, demi menjamin keberlangsungan angkutan antarpulau serta keselamatannya.
Anggota Komisi V DPR DRI periode 2014-2019 sekaligus Dewan Pembina Gapasdap ini menyadari, kenaikan tarif bukan kebijakan populer bagi pemerintah. Namun, “Keselamatan publik tidak boleh dikorbankan demi popularitas. ”
Menurut Bambang Haryo, dampak kenaikan tarif sebenarnya tidak signifikan terhadap harga barang yang diangkut sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
Sebagai gambaran, apabila sebuah truk mengangkut 30 ton beras atau senilai Rp300 juta (30 ton x harga beras Rp10.000 per kg) di lintas Merak-Bakauheni, maka akan membayar tambahan tarif Rp150.000 dengan asumsi dikenakan kenaikan tarif teringgi yakni 38%.
Artinya, dampak kenaikan tarif itu terhadap harga beras yang termasuk komoditas bawah hanya Rp5 per kg atau 0,05%. Apabila yang diangkut produk bernilai tinggi, kenaikan tarifnya tentu menjadi relatif lebih rendah.
“Kenaikan itu mungkin sangat kecil bagi pemilik barang, tetapi bagi operator angkutan penyeberangan sangat
besar artinya untuk menjaga kelangsungan usaha dan menjamin keselamatan nyawa publik,” ujar Bambang.
Dalam konteks itulah, Bambang Haryo tergerak untuk terus mengingatkan kepada pemerintah, bahwa kondisi angkutan penyeberangan saat ini sangat memprihatinkan. Banyak perusahaan yang kesulitan keuangan, kesulitan membayar gaji tepat waktu dan mencicil tagihan.
“Beberapa perusahaan terpaksa dijual ke investor baru karena tidak sanggup lagi menanggung beban. Ini akibat pemerintah kurangnya perhatian pemerintah, yang selalu menunda-nunda kenaikan tarif,” ujar alumnus S1, Teknik Perkapalan, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya ini.
Menurut dia, seharusnya tarif penyeberangan tidak perlu diatur pemerintah, sebab pemerintah tidak sanggup memberikan subsidi PSO (public service obligation) seperti yang diberikan untuk kereta api kelas ekonomi dan komuter.
“Kenapa diskriminatif, KA diberikan PSO. Akan tetapi, pelayaran tidak?” Bambang memberi pertanyaan sinikal.
Padahal, masih menurut Bambang, kapal penyeberangan sangat vital dan tidak bisa digantikan dengan moda lain. Sedangkan Kereta Api, masih bisa diganti dengan moda darat lain, seperti bus, mobil pribadi, atau sepeda motor.
Bambang kembali berkomentar, aApabila pemerintah tidak sanggup atau tidak mau memberikan PSO kepada angkutan penyeberangan, maka tarifnya harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Apalagi, tarif untuk penyeberangan di lintas komersial.
Bertele-telenya masalah tarif ini, membuktikan Kemenhub tidak paham tentang pentingnya angkutan penyeberangan dan tidak peduli dengan konsep kemaritiman yang menjadi jargon Presiden Jokowi.
“Kemenhub, lebih memperhatikan transportasi darat daripada kemaritiman. Ini sangat disesalkan. Padahal, the real tol laut itu adalah penyeberangan, bukan seperti kapal tol laut yang sekarang tidak menentu jadwalnya,” Bambang menegaskan.