Kolom  

Terungkap! Medsos Bisa Ungkap Rahasia Kepribadianmu

Temukan bagaimana aktivitas media sosial bisa membuka rahasia kepribadian dan kelakuanmu di masa lalu, serta dampaknya di masa depan.

Terungkap! Medsos Bisa Ungkap Rahasia Kepribadianmu

MATRANEWS.ID – Media sosial, meskipun dianggap sebagai ruang pribadi yang bisa dikendalikan oleh penggunanya, sebenarnya membuka banyak hal tentang karakter dan kelakuan pemilik akun.

Postingan, interaksi, hingga preferensi dalam membagikan konten dapat memberikan gambaran yang mendalam tentang kepribadian, sikap, serta pola perilaku yang kadang tidak kita sadari.

Bahkan hal-hal yang tampak sepele seperti cara menulis caption, frekuensi update status, atau pilihan foto profil, dapat menyampaikan pesan tersembunyi yang lebih dalam kepada orang lain.

Dalam tulisan ini, kita akan membahas rahasia-rahasia yang bisa terungkap tentang pemilik akun media sosial berdasarkan konten dan perilaku online mereka.

1. Gaya Komunikasi Mengungkap Sifat Dominan atau Submisif

Gaya komunikasi yang digunakan dalam postingan atau komentar dapat mencerminkan apakah seseorang memiliki sifat dominan, submisif, atau setara dalam hubungan sosial.

Penelitian oleh Dr. Carolyn Kaufman, seorang psikolog klinis, menemukan bahwa:

  • Bahasa yang tegas dan penuh keyakinan sering kali digunakan oleh orang-orang dengan kepribadian dominan atau kuat. Mereka tidak ragu untuk menyatakan pendapat secara langsung dan sering kali menggunakan kata-kata yang memerintah.
  • Bahasa yang lembut dan apologetik lebih sering digunakan oleh orang dengan kepribadian yang submisif atau rendah diri. Mereka cenderung lebih berhati-hati dalam mengekspresikan pendapat karena takut menyinggung orang lain.

Statistik mendukung: Studi dari University of Warwick pada 2021 menemukan bahwa 68% dari pengguna media sosial yang sering menggunakan kalimat instruksional (misalnya, “Lakukan ini” atau “Jangan lupa untuk…”) memiliki kecenderungan sifat dominan, sedangkan 55% pengguna yang sering menggunakan kata-kata seperti “maaf” atau “mungkin” cenderung memiliki sifat submisif.

2. Pilihan Konten dan Kelakuan Emosional

Konten yang kita pilih untuk diunggah sering kali tidak hanya mencerminkan suasana hati saat itu, tetapi juga memberikan gambaran umum tentang stabilitas emosional seseorang.

Orang dengan kepribadian yang berbeda akan mengunggah jenis konten yang berbeda, yang dapat menunjukkan cara mereka mengelola emosi.

Baca juga :  Hal-hal yang Harus dan Tidak Boleh Dilakukan dalam Menulis Siaran Pers

Hasil riset: Sebuah studi oleh University of California, Irvine pada 2020 menganalisis hubungan antara jenis konten dan tingkat stabilitas emosional.

Peneliti menemukan bahwa:

  • Orang dengan emosi yang stabil lebih cenderung memposting konten yang optimis, seperti pencapaian atau momen kebahagiaan.
  • Orang dengan kecenderungan emosional yang tidak stabil sering kali memposting konten yang ambigu atau dramatis, seperti keluhan publik, status yang sedih, atau pertanyaan retoris yang menyiratkan ketidakpuasan hidup.

Contoh nyata:

  • Pengguna yang sering membagikan foto-foto momen bahagia atau motivasi biasanya memiliki tingkat neurotisisme yang rendah dan lebih mampu mengelola stres.
  • Sementara itu, pengguna yang secara konsisten memposting hal-hal negatif cenderung memiliki kecenderungan neurotisisme yang lebih tinggi dan kesulitan mengatasi emosi negatif.

3. Penggunaan Media Sosial Mengungkapkan Kebutuhan Pengakuan atau Validasi

Salah satu aspek paling menarik dari perilaku media sosial adalah kebutuhan pengakuan atau validasi dari orang lain.

Banyak pengguna media sosial secara sadar atau tidak sadar mencari validasi dalam bentuk likes, komentar, atau share dari orang lain, yang dapat mencerminkan tingkat kepercayaan diri atau ketergantungan sosial mereka.

Penelitian oleh University of Michigan pada 2018 menemukan bahwa orang yang sering memposting secara berlebihan atau berbagi pencapaian pribadi secara terus-menerus di media sosial memiliki kebutuhan validasi eksternal yang lebih tinggi.

Mereka lebih rentan terhadap pengaruh sosial dan merasa harus mendapatkan pengakuan dari lingkungan sekitar.

Data mendukung:

  • 43% pengguna media sosial dalam penelitian ini mengakui bahwa mereka merasa senang dan lebih percaya diri ketika mendapatkan likes atau komentar positif.
  • 60% pengguna Instagram mengatakan bahwa mereka sengaja mengunggah konten yang akan “disukai” banyak orang meskipun itu bukan sesuatu yang mereka sukai secara pribadi.

4. Frekuensi Postingan Menunjukkan Tingkat Kecemasan atau Kehidupan Sosial

Salah satu rahasia yang jarang disadari pengguna media sosial adalah bahwa frekuensi postingan bisa menjadi indikator tingkat kecemasan sosial atau kebutuhan untuk merasa terhubung dengan orang lain.

Baca juga :  Aspek Hukum Polemik Kasus Basarnas Catatan Prof. Romli Atmasasmita

Penelitian dari University of Pittsburgh pada 2017 menunjukkan bahwa pengguna yang lebih sering memposting atau mengunggah status memiliki tingkat kecemasan sosial atau fear of missing out (FOMO) yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang jarang mengunggah konten.

Hal ini didukung oleh survei yang menunjukkan bahwa 30% pengguna aktif media sosial merasa lebih tertekan jika tidak memperbarui status atau mendapatkan engagement yang cukup.

Pendapat pakar: Dr. Joseph Grenny, seorang peneliti komunikasi sosial, menyatakan bahwa “media sosial dapat menjadi semacam pelarian bagi individu yang merasa cemas atau tidak puas dengan kehidupan nyata mereka.

Dengan terus-menerus memposting, mereka merasa lebih terhubung dan mendapatkan perhatian yang mereka cari.”

5. Pilihan Followers dan Following Menggambarkan Preferensi Sosial

Kepada siapa kita memberikan follow dan dari siapa kita mendapatkan followers juga dapat memberikan informasi tentang preferensi sosial dan nilai-nilai kita.

Pengguna media sosial sering kali membentuk lingkaran sosial online yang serupa dengan apa yang mereka anggap penting di dunia nyata.

Penelitian oleh Harvard Business Review pada 2020 meneliti hubungan antara pilihan mengikuti akun di media sosial dan karakter pribadi. Mereka menemukan bahwa:

  • Orang yang lebih sering mengikuti akun-akun motivasi, pendidikan, atau ilmu pengetahuan cenderung memiliki tingkat keingintahuan intelektual yang tinggi.
  • Sebaliknya, pengguna yang lebih banyak mengikuti akun selebriti atau tokoh publik populer cenderung lebih tertarik pada pengakuan sosial dan hal-hal yang berhubungan dengan status.

6. Riwayat Media Sosial: Apa yang Telah Kamu Posting di Masa Lalu

Meskipun media sosial memberikan kesan sementara, riwayat media sosial seseorang sebenarnya bisa menceritakan banyak tentang perubahan kepribadian atau nilai-nilai yang dianut seseorang selama bertahun-tahun.

Orang yang telah aktif di media sosial selama bertahun-tahun memiliki rekam jejak digital yang bisa menjadi sumber informasi tentang perubahan perilaku, preferensi, bahkan keyakinan.

Baca juga :  Siaran Pers yang Disukai Jurnalis

Contoh riwayat perilaku:

  • Seorang pengguna yang di masa remaja sering memposting konten kontroversial atau pemberontakan, namun seiring berjalannya waktu mulai memposting konten yang lebih stabil atau profesional, menunjukkan perubahan perkembangan kepribadian.
  • Sebaliknya, orang yang masih memposting konten yang sama setelah bertahun-tahun bisa menunjukkan stagnasi dalam perkembangan emosional atau sosial.

Data mendukung:

  • Studi dari Stanford University pada 2019 menunjukkan bahwa 45% dari pengguna media sosial dewasa muda memiliki perubahan besar dalam gaya konten mereka seiring bertambahnya usia, mencerminkan perkembangan kepribadian dan prioritas hidup.

7. Rahasia Sifat Tersembunyi Melalui Aktivitas yang Tidak Disadari

Aktivitas online yang tampaknya kecil dan sepele—seperti waktu memposting atau cara kita berinteraksi dengan komentar—juga dapat memberikan banyak informasi tentang karakter kita.

Sebuah penelitian oleh University of London pada 2020 menemukan bahwa orang yang sering memposting di malam hari cenderung memiliki pola tidur yang terganggu, yang dapat mengarah pada tingkat stres atau kesehatan mental yang kurang baik.

Selain itu, cara kita merespons komentar atau interaksi online, seperti seberapa cepat kita membalas pesan atau bagaimana kita menangani kritik, bisa mencerminkan tingkat emosional dan kesadaran diri kita.

Studi mendukung:

  • 71% pengguna media sosial yang sering memposting di malam hari dilaporkan memiliki tingkat stres atau kelelahan emosional yang lebih tinggi.
  • Orang yang lambat dalam merespons komentar kritis cenderung lebih sabar dan reflektif, menurut penelitian oleh University of Queensland.

Media Sosial sebagai Cermin Diri

Media sosial bukan hanya tempat untuk berbagi momen hidup, tetapi juga cerminan dari karakter, kepribadian, dan kelakuan pemilik akun.

Setiap pilihan yang kita buat—dari jenis konten, gaya komunikasi, hingga frekuensi posting—mengungkap rahasia tersembunyi tentang siapa kita sebenarnya.

Oleh karena itu, penting untuk menyadari bagaimana kita menggunakan platform ini dan mempertimbangkan dampaknya terhadap citra diri kita di masa depan.

Tinggalkan Balasan