MATRANEWS.id — Di sebuah sudut kota besar, deretan klinik hemodialisa kini bukan lagi pemandangan langka.
Mesin-mesin cuci darah berderu nyaris tanpa jeda, bergantian membersihkan darah dari pasien yang datang dua hingga tiga kali seminggu.
Sebuah potret kemajuan layanan kesehatan—tetapi sekaligus ironi dari sistem yang belum seimbang.
Lonjakan Pasien, Terbatasnya Spesialis
Data BPJS Kesehatan mencatat lebih dari 134.000 pasien gagal ginjal kronis menjalani hemodialisa sepanjang 2024.
Di atas kertas, jumlah ini hanyalah sebagian kecil dari sekitar 1,5 juta penderita penyakit ginjal kronis di seluruh Indonesia. Namun di lapangan, ruang perawatan sering penuh, antrean panjang, dan dokter spesialis ginjal—atau nefrolog—masih sangat terbatas.
Bertambahnya fasilitas cuci darah seolah menjadi solusi instan. Tapi tanpa peningkatan jumlah tenaga ahli, sistem ini ibarat memperluas pintu masuk tanpa memperkuat pondasi rumah. Ketika dokter harus menangani puluhan pasien dalam sehari, kualitas perawatan jangka panjang terancam.
Kapasitas yang Belum Seimbang
Hingga kini, transplantasi ginjal—layanan yang paling kompleks dan memberi harapan hidup jangka panjang—baru tersedia di 19 pusat layanan di Indonesia. Di luar itu, sebagian besar pasien bergantung pada terapi cuci darah seumur hidup.
Paradigma kesehatan nasional masih berat di sisi “kuratif”—mengobati ketika sudah sakit parah—daripada “preventif” yang mencegah penyakit sejak dini. Padahal, sistem kesehatan yang sehat seharusnya mengutamakan edukasi, deteksi dini, dan perubahan perilaku masyarakat.
Kesadaran Masyarakat Masih Rendah
Masalah lain yang tak kalah genting: kesadaran publik tentang risiko ginjal masih minim. Banyak orang baru menyadari fungsi vital organ ini ketika hasil laboratorium menunjukkan kerusakan permanen.
Kampanye kesehatan pun masih bersifat sporadis—datang dan pergi tanpa kesinambungan. Padahal, teori Health Belief Model menegaskan bahwa seseorang baru akan bertindak jika ia memahami risiko dan percaya bahwa tindakan pencegahan itu bermanfaat. Tanpa pemahaman ini, pesan kesehatan hanya menjadi slogan yang lewat di telinga.
Komunikasi Kesehatan yang Efektif
Komunikasi kesehatan bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi membentuk perilaku. Dalam konteks penyakit ginjal, pesan perlu relevan dengan berbagai kelompok umur.
Bagi generasi muda, kampanye harus hidup di ruang digital—dalam format yang ringan, visual, dan menginspirasi. Sementara bagi kelompok dewasa, pendekatan empatik dan berbasis pengalaman lebih efektif.
Di sinilah pentingnya kolaborasi antara tenaga kesehatan publik dan komunikator strategis—dua peran yang berbeda, namun saling melengkapi.
Langkah Nyata Menuju Pencegahan
Perubahan paradigma memerlukan langkah konkret. Pertama, kampanye digital lintas generasi perlu diperkuat untuk menumbuhkan literasi kesehatan ginjal.
Kedua, rasio dokter spesialis harus ditingkatkan, terutama di luar Jawa. Ketiga, tenaga kesehatan primer—seperti dokter puskesmas dan bidan—perlu diberdayakan sebagai frontline communicator, bukan sekadar pelaksana medis.
Klinik hemodialisa pun bisa menjadi lebih dari sekadar tempat terapi. Ia bisa berfungsi sebagai pusat edukasi pasien, tempat mereka belajar mengatur pola makan, memahami obat, dan memantau kondisi tubuh sendiri.
Dari Mengobati ke Melindungi
Pertumbuhan klinik cuci darah memang menunjukkan kemajuan akses. Namun tanpa strategi pencegahan dan komunikasi yang kuat, sistem kesehatan kita akan terus sibuk mengobati, bukan melindungi.
Kesehatan masyarakat bukan sekadar urusan alat dan obat, tapi juga perilaku dan kesadaran. Dengan strategi komunikasi yang cerdas dan empatik, Indonesia punya peluang beralih dari paradigma “mengobati” menjadi “melindungi”—membangun masyarakat yang lebih sadar, mandiri, dan sehat sejak dini.

Tentang Penulis
Alina Boer, SKM, CT, CBA, CH, Cht, berkarier lebih dari dua dekade di bidang pemasaran dan pengembangan sumber daya manusia.
Sebagai pendiri Upgradediri.com, ia aktif mengembangkan program pelatihan di bidang penjualan, kepemimpinan, dan kesehatan organisasi, dengan perhatian khusus pada isu kesehatan masyarakat dan komunikasi kesehatan.







