Catatan Pinggir FB: “Izinkan Saya Menghina Anda, Nanti Saya Mengoreksinya” –

===============

Oleh: Dimas Supriyanto

===============

Sebagai bagian dari insan media massa, saya mengecam pengerahan massa pendukung partai yang menggeruduk dan melakukan tindakan anarkis di kantor penerbitan pers di Bogor, dalam menyelesaikan masalah pemberitaan, demi membela nama baik ketua umum partainya yang dicemarkan.

Cara cara anarkis menggeruduk kantor itu tidak elegan, tidak berpendidikan dan tidak demokratis. Buruk juga untuk citra partai yang bersangkutan.

Akan tetapi saya juga mengecam cara media massa memprovokasi kemarahan orang, memanas-manasi pendukung partai militan, dengan judul judul berita yang sensasional, insinuatif, tendensius, menghakimi, sebagai berita utama (headline) sehingga langsung mengundang emosi dan aksi anarkis.

Judul berita utama, “Ongkang ongkang Kaki Dapat Rp.112 juta” jelas dimaksudkan untuk menghakimi dan menyudutkan seseorang, dengan hanya menampilkan wajah utama Megawati Soekarnoputri dan akhirnya mendapat reaksi sepadan. Kantor digeruduk massa. Dirusak. Malah stafnya dianiaya.

Judul berita di koran itu bisa diduga hanya untuk merangsang gairah calon pembaca di jalan – agar membeli atau membaca korannya – dengan pilihan kata yang sangat provokatif – dan dengan sengaja memang ingin membuat orang / pihak lain marah.

“Mereka merusak properti kami, meja rapat hancur, kursi dibanting-banting, saya enggak tahu maksudnya itu apa. Bulan ramadan enggak bisa menahan emosi,” kata pemimpin redaksi media sebagaimana diberitakan laman cnnindonesia.com.

Saya wartawan bangkotan dengan pengalaman lapangan puluhan tahun, dan saya hanya ingin menyatakan yang sebenarnya. Saya berkepentingan menyoroti aspek praktik jurnalistik media itu, karena saya bagian dari komunitas itu. Saya orang media.

Berdasarkan praktik tanpa henti di dunia media, kebebasan pers yang dijamin undang undang bukanlah kebebasan menyudutkan dan memfitnah orang. Dan membuat orang lain marah dengan alasan yang begitu jelas, dihakimi secara sepihak.

Pers bebas untuk menyuarakan kebenaran. Bukan alat untuk melancarkan provokasi. Menyerang pribadi orang. Sehingga mengundang sekelompok orang untuk melakukan aksi anarkis.

Pemimpin redaksi itu menyatakan, siap mengoreksi bila ada kesalahan dalam penulisan beritanya. Diakuinya, ada ketidaktepatan penggunaan kata gaji dalam berita tersebut. “Namun menurutnya hal itu bukan berarti sebuah kesalahan” dalihnya.

“Atas ketidaktepatan penggunaan kata gaji itu kami siap mengoreksi. Dan kader PDIP yang meminta memberitakan Bu Mega belum dan tidak mau mengambil penghasilan itu, kami pasti menaikan (berita) itu,” katanya.

Ditegaskan, tidak ada tendensi menyudutkan salah satu pihak dalam pemberitaan tersebut. Pihaknya juga memberi ruang klarifikasi sebagai bentuk koreksi berita dan akan diterbitkan.

Itu pernyataan naif.

Apa yang disampaikan Pemred media yang diserbu di Bogor itu, sama dengan ketika orang manyatakan kepada Anda: “Izinkan saya menghina Anda. Kalau Anda ada ketidak-tepatan kata, nanti saya akan mengoreksinya. Jangan serang dan aniaya saya. Jangan salahkan saya. Saya tidak sepenuhnya salah. ”

Media massa tidak bekerja dengan cara seperti itu. Ada kode etik jurnalistik. Ada prosedur Cek & ReCek. Ada kewajiban konfirmasi. Ada disiplin verifikasi. Keharusan cover both side. Penulisan dan pemuatan yang berimbang. Dan yang utama, ada prinsip kehati hatian.

Sebagai pemimpin redaksi, jika dia awas, jelas tahu bahwa judul yang dipampangkan di berita utama (headline) itu cenderung menyudutkan pribadi orang yang memiliki massa pendukung militan – ada potensi bahaya di situ. Bakal konyol.

Nampaknya memang ada unsur kesengajaaan untuk memancing keributan.

Jika yang bersangkutan sunguh sungguh tidak tahu, maka dia belum kompeten untuk jabatan Pemimpin Redaksi itu.

Kemungkinan lain, ada kesengajaan dari anak buahnya untuk menjerumuskannya.

Sebab, Pemimpin Redaksi mengemban tugas ekternal, banyak lobby di luar, hanya bertanggung jawab secara hukum. Sedangkan operasi redaksi harian, internal, biasanya dilakukan Wakil Pemimpin Redaksi dan Redaktur Pelaksana.

DEWAN PERS – selaku lembaga independen yang menggembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional – dalam surat pernyataan Nomor: 1/P-DP/III/2008, tentang “Praktik Jurnalistik yang Tidak Etis” yang ditanda-tangani oleh Prof. Dr. Ichnasul Amal, MA, pada 5 Maret 2008, pada point 1 – jelas sekali menegaskan :

“Wartawan wajib menegakkan prinsip prinsip etika seperti yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang telah disepakati oleh organisasi organisasi wartawan. Wartawan tidak menggunakan cara cara pemaksaan dan klaim sepihak yang ingin dikonfirmasikan kepada narasumber”. (tanda kutip dari saya, pen.)

Sedangkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Pasal 3 berbunyi : “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini, serta menerapkan azas praduga tak bersalah”. (- idem dito -)

Undang undang Pokok Pers no 40 Tahun 1999, dalam Penjelasan Pasal 5 ayat 1, juga menyatakan: “Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses keadilan, serta dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.”

Jangan lupa: terhadap perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dapat dipidana dengan denda Rp.500 juta!

SEBAGAI WARTAWAN yang Insya Allah terus menjiwai tugas mulia ini hingga akhir hayat, saya tidak ingin ada pihak pihak yang mencemari profesi ini, dengan berlindung di balik “kebebasan pers” dan dalih “kebebasan menyatakan pendapat”.

Komunitas pers wajib menjaga kebersihan lingkungannya sejauh kita bisa.

Jurnalis memiliki tugas mulia untuk melaksanakan kontrol sosial. Tapi praktik praktik jurnalistik yang menghakimi dan mengandalkan sensasi harus diminimalisir.

Hal yang sama untuk aksi anarkis dan pengadilan massa. Pengerahan massa yang anarkis berulang ulang terjadi karena aparat penegak hukum melakukan pembiaran, karena penegakkan hukum cenderung lemah, sehingga kasusnya berulang.

Indonesia adalah negara hukum. Seharusnya semua pihak, semua elemen masyarakat taat hukum dan takut pada sanksi hukum. Bukan menyepelekannya, dengan berbagai dalih pembenaran yang direka dan dikarangnya sendiri.

Dalam kasus penyerbuan massa partai di Bogor itu, pembenaran dilakukan kedua dua pihak, menurut versinya masing masing.

Saya sepakat bila dua duanya mendapatkan efek jera. ***

Tinggalkan Balasan