Catatan Syalomitha Hukom Tentang Krisis yang Diabaikan: Kurangnya Visi Bencana dalam Kampanye Presiden Indonesia

Catatan Syalomitha Hukom Tentang Krisis yang Diabaikan: Kurangnya Visi Bencana dalam Kampanye Presiden Indonesia

MATRANEWS.id –– Krisis yang Diabaikan: Kurangnya Visi Bencana dalam Kampanye Presiden Indonesia

RIDMA Foundation merilis dalam debat Capres dan Cawapres kemarin sama sekali tidak dibahas Indonesia Dalam Darurat Bencana Narkoba.

Ketiga kandidat disebut abai dalam visi misi Indonesia Darurat Narkoba.

Saya, sebagai kaum milenial juga memberi catatan tentang kesiapan kita dalam kebencanaan dalam catatan lain. Tulisan sengaja dishare di masa tenang, sebagai sebuah tindakan refletif, bukan kampanye semua pihak.

Ya, apabila tim sukses mungkin lupa, dalam memberi masukan kandidat calon presiden dan wakil presiden yang akan datang untuk periode 2024-2029. Sehingga terkesan, “mengabaikan” isu penting manajemen bencana yang lain.

Harapan kita, Presiden yang terpilih nanti. Dalam periode 2024-2029, siapapun yang jadi pemimpin bangsa, dia punya visi dan misi dalam mengatasi kebencanaan.

Kenapa?

Karena penilaian risiko menentukan bahwa tingkat keparahan suatu bencana tidak hanya bergantung pada magnitudo bencana tetapi juga pada kerentanan masyarakat yang terkena dampak.

Hal ini tercermin dalam Indeks Risiko Dunia, yang memperhitungkan paparan dan kerentanan suatu negara terhadap bencana.

Setiap fase manajemen bencana, mulai dari sistem peringatan dini hingga tanggapan darurat, memerlukan digitalisasi untuk efektivitas yang optimal.

Kita tahu, Indonesia, bersama dengan Filipina dan India, menunjukkan kerentanan dan paparan yang signifikan terhadap bencana.

Pentingnya pencegahan dan mitigasi bencana tidak bisa dianggap remeh. Kesadaran yang lebih tinggi dan langkah-langkah proaktif sangat penting.

Ketangguhan nasional melampaui doktrin militer; itu mencakup kemampuan untuk beradaptasi dan pulih pasca-bencana.

Baca juga :  Akun Hacker Bjorka Diblokir, Setelah Mengaku Meretas BIN dan Data Presiden Jokowi

Dalam periode interim sebelum pemilihan presiden, disayangkan melihat penekanan yang minim terhadap kesiapan bencana dalam platform ketiga kandidat presiden.

Bencana harus menjadi bagian integral dari agenda pembangunan berkelanjutan. Para kandidat memiliki kesempatan unik untuk menggunakan manajemen bencana sebagai platform  untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai kesiapsiagaan bencana.

Indonesia, terletak di dalam Lingkaran Api Pasifik, menghadapi risiko yang meningkat dari berbagai bencana alam. Namun, kesadaran publik tentang ancaman ini tetap rendah.

Mengatasi hal ini memerlukan upaya bersama dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Beberapa negara telah berhasil menerapkan skema asuransi bencana melalui kemitraan publik-swasta.

Di Indonesia, upaya menuju program asuransi bencana wajib telah dimulai tetapi memerlukan dukungan lebih lanjut dan langkah-langkah konkret.

Tahun-tahun politik menjadi momen penting untuk meningkatkan kesadaran bencana di semua lapisan masyarakat. Perubahan paradigma penting untuk memprioritaskan manajemen bencana sebagai bagian integral dari pembangunan nasional.

Oleh karena itu, sementara kandidat presiden berlomba untuk mewujudkan visi masing-masing, manajemen bencana tidak boleh dianggap sebagai beban tetapi sebagai pijakan menuju Indonesia yang lebih aman, adil, dan sejahtera bagi semua.

Pada intinya, ketiga pasangan presiden dapat saling mendukung dengan meningkatkan tema peningkatan kesadaran publik tentang bencana. Mereka dapat menyoroti manajemen bencana sebagai aspek fundamental dari visi dan misi mereka.

Manajemen bencana harus berfungsi sebagai platform kampanye untuk meningkatkan kesadaran publik, yang selama ini sangat kurang.

Menurut Bank Dunia, Indonesia menempati peringkat ke-12 dari 35 negara di dunia dalam hal risiko tinggi terhadap korban jiwa dan kerugian ekonomi akibat berbagai bencana.

Baca juga :  Doa Rasulullah agar Dapat Melunasi Utang

Hampir seluruh wilayah Indonesia terkena risiko dari lebih dari 10 jenis bencana alam, termasuk gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung berapi, kebakaran, cuaca ekstrem, gelombang pasang, kekeringan, dan likuifaksi.

Beberapa bencana alam, seperti gempa bumi dan tsunami Aceh dan Sumatra Utara pada tahun 2004, serangkaian tiga bencana besar pada tahun 2018 (gempa bumi Lombok, gempa bumi dan tsunami Palu dan Donggala, dan tsunami Selat Sunda), serta banjir yang terjadi berulang kali di ibu kota, memberikan bukti nyata tentang kerentanan negara terhadap bencana alam.

Pada tahun 2020, Indonesia juga terbukti rentan terhadap bencana wabah. Seperti negara lain, Indonesia harus menghadapi penyebaran virus Covid-19, yang sangat berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Kerugian dari bencana, baik peristiwa rutin dengan dampak kecil maupun peristiwa langka yang melumpuhkan ekonomi wilayah yang terkena dampak, sangat memengaruhi ketahanan anggaran negara.

Sebagai contoh, gempa bumi dan tsunami Aceh tahun 2004 menyebabkan kerusakan dan kerugian ekonomi mencapai Rp 51,4 triliun.

Sementara itu, kemampuan anggaran negara untuk mengalokasikan dana untuk mitigasi risiko bencana hanya sekitar Rp 3 triliun hingga Rp 10 triliun per tahun.

Selain bencana alam ini, pada tahun 2020, pandemi Covid-19 juga menyebabkan kerugian yang signifikan, baik secara ekonomi, dalam hal kesehatan, maupun secara sosial bagi Indonesia.

Covid-19 juga dikategorikan sebagai bencana nasional. Data per 18 Juli 2023, menunjukkan total 161.880 kematian akibat Covid-19 di Indonesia.

Baca juga :  Percepatan Vaksinasi Massal di Papua, IPDN Ikut Wujudkan Implementasi Program Presiden

Mengingat besarnya dampak dari bencana ini, pasangan presiden perlu memberikan solusi untuk memastikan bahwa pembiayaan bencana dapat diberikan secara memadai untuk melindungi keuangan negara, aset pemerintah, dan masyarakat tanpa memberatkan anggaran negara.

Posisi Indonesia dalam Ring of Fire Indonesia terletak dalam area yang dikenal sebagai Cincin Api Pasifik.

Wilayah Samudera Pasifik, di mana 90 persen gunung berapi paling aktif di dunia terletak, dan 90 persen gempa bumi di dunia berasal. Indonesia bahkan disebut sebagai “supermarket bencana” karena keragaman potensi bencana alam yang dihadapinya.

Indonesia terletak di antara tiga lempeng tektonik: lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, yang terletak dalam “Cincin Api Asia Pasifik” dengan 127 gunung berapi paling aktif di dunia dan tiga negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.466 pulau.

Indonesia adalah negara yang paling rentan terhadap bencana kedua di dunia pada tahun 2022. Menurut Laporan Risiko Dunia 2023, Indonesia mencetak 43,5 poin pada Indeks Risiko Global (GRI) pada tahun 2022.

Nilai ini menempatkan Indonesia pada posisi tertinggi kedua secara global. Sekitar 100 juta penduduk Indonesia berada dalam risiko bencana alam. Sebagian besar populasi tidak menyadari ancaman bencana dan tidak siap menghadapinya.

alumni Departemen Oseanografi ITB – Universitas Auckland: Manajemen Bencana

Ignored Crisis: Lack of Disaster Vision in Indonesia’s Presidential Campaigns – INDONESIAN TALK

 

Tinggalkan Balasan