Hukum  

Gelar Profesor Jaksa Agung Dipertanyakan?

Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI memberikan klarifikasi terkait latar belakang pendidikan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang saat ini tengah jadi pemberitaan dan perbincangan publik.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (23/9), menyebutkan bahwa Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menjalani pendidikan di tiga perguruan tinggi berbeda.

Berdasarkan dokumen dan data yang tercatat secara resmi di Biro Kepegawaian Kejaksaan Agung RI, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyelesaikan pendidikan Srata I (pertama) di Universitas 17 Agustus di Semarang. Kemudian pendidikan Strata II (kedua) di Sekolah Tinggi Manajemen Labora di DKI Jakarta, dan Strata III di Universitas Satyagama di DKI Jakarta.

“Dokumen dan data pendidikan pada butir di atas, adalah sama dengan yang dipergunakan pada acara pengukuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Pidana di Universitas Jenderal Soedirman,” ujar Leonard.

Leonard menyebutkan dengan adanya penjelasan terkait latar belakang pendidikan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin tersebut dapat meluruskan pemberitaan yang beredar di masyarakat saat ini.

Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI juga menegaskan, adanya beberapa data Jaksa Agung yang tersebar di media lainnya, dipastikan bahwa data tersebut adalah salah, dan selama ini tidak pernah dikonfirmasikan secara resmi kepada instansi Kejaksaan Republik Indonesia.

“Dari penjelasan di atas, Puspenkum Kejaksaan Agung telah memberikan pelurusan atas pemberitaan dimaksud,” tegas Leonar

Data Perlu di Investigasi?

Sempat beredar isu Ijazah S1-S2 Jaksa Agung, yang perlu Diinvestigasi. Mantan Jamdatun tersebut dihadapkan dengan isu latar belakang pendidikannya. Kenapa?

Hal itu terungkap setelah beredarnya perbedaan informasi tentang profil pendidikan Burhanuddin dalam buku pidato pengukuhan Profesor-nya dan Daftar Riwayat Hidupnya yang dipublikasikan situs resmi Kejaksaan Agung.

Mengutip buku pengukuhannya sebagai profesor di Universitas Jenderal Soedirman, disebutkan bahwa Burhanuddin merupakan lulusan Sarjana Hukum (SH) dari Universitas 17 Agustus 1945, Semarang, Jawa Tengah tahun 1983.

Namun dalam situs resmi Kejaksaan Agung, Burhanuddin disebut lulusan Sarjana Hukum (SH)  Universitas Diponegoro tahun 1980.

Mana yang sahih?

Sementara itu, untuk pendidikan Pasca sarjana-nya, dalam situs resmi Kejaksaan Agung disebutkan bahwa Jaksa Agung itu merupakan lulusan Magister Manajemen dari Universitas Indonesia (UI) tahun 2001.

Dan, di buku pengukuhan sebagai profesornya, Burhanuddin disebut lulus dari Sekolah Tinggi Manajemen Labora di DKI Jakarta tahun 2001.

Mana yang benar?

Untuk pendidikan doktornya, dalam situs resmi Kejaksaan Agung, Burhanuddin disebutkan mendapatkan gelar doktor di UI tahun 2000, namun dalam buku pengukuhan, ia disebut merupakan lulusan Universitas Satyagama Jakarta tahun 2006.

Ketika dilakukan penelusuran dengan kata kunci ST Burhanuddin yang muncul di pangkalan data Dikti adalah seorang dosen di Universitas Satyagama Jakarta. Sedangkan dengan kata kunci Sanitiar Burhanuddin tidak ditemukan.

BACA JUGA: Indonesia Raih Penghargaan FAO

Kemudian saat pihak UI menelusuri data atas nama ST. Burhanuddin sebagai lulusan magister manajemen UI tahun 20, hasilnya tidak ditemukan nama tersebut dalam database mereka. Yang muncul adalah Muhammad Ikhsan Burhanuddin lulusan magister manajemen angkatan 2018.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun pun menanggapi latar belakang pendidikan ST Burhanuddin yang kini sedang menjadi polemik itu.

Ia mempertanyakan, informasi yang disebar oleh Kejaksaan Agung maupun dalam buku tersebut asli atau tidak.

“Itu saja letak persoalannya,” ujar Refly kepada wartawan, yang kemudian menyingkap sejatinya jejak digital itu.

Menurutnya, jika ijazah Strata Satu (S1) tidak asli, maka seluruh gelar harus dicopot. Presiden pun didesaknya harus memberhentikan ST Burhanuddin sebagai Jaksa Agung, karena telah melakukan pembohongan publik.

“Tapi ini kalau (tidak asli). Sekali lagi kalau (tidak asli).  Karena itu harus diverifikasi secara sungguh sungguh kebenaran data yang bersangkutan,” ujarnya.

Menurutnya, klarifikasi dari Burhanuddin pun tidak cukup, melainkan harus ada investigasi secara independen. “Termasuk pernyataan dari institusi atau lembaga yang dituliskannya. Intinya harus dicari kebenaran materialnya,” kata dia.

BACA JUGA: Nonton Bioskop New Era Bagaimana?

Terpisah, Pengamat Pendidikan Doni Koesoema mengatakan bahwa secara administrasi kepegawaian seharusnya ada verifikasi terkait latar belakang lulusan dan data-data resmi valid yang diakui sesuai Undang-undang untuk menjadi pejabat negara.

Menurutnya, bagian kepegawaian harus melakukan verifikasi kebenaran data.

“Karena kalau individu tidak berkualifikasi mempergunakan informasi palsu, maka ini sudah merupakan tindakan kriminal,” ujar Doni.

Ia menyebut hal itu menjadi tidak adil bagi orang lain dengan kualifikasi sama,tapi tidak terseleksi.

“Data di kepegawaian harus lengkap. MenPAN-RB dan BKN harus menegur dan meminta klarifikasi untuk verifikasi tentang validitas data,” katanya.

Doni mengatakan, permasalahan data harus dilihat berat tidaknya kasus. Apakah sekedar masalah administratif atau maladministrasi, pelanggaran terhadap integritas data.

“Karena dua kasus ini dampak-dampaknya berbeda,” katanya.

BACA JUGA: Bakamla Akan Dilebur?

Namun, ia menyebut bahwa kualitas lulusan tidak terkait dengan asal almamaternya, karena kualitas sifatnya individual. “Tapi kalau data individu sebagai alumni dipertanyakan, artinya hasil belajar dan kompetensinya juga dipertanyakan,” lanjutnya.

Menurutnya, jika terbukti adanya pemalsuan data maka ST Burhanuddin tidak sah menjabat sebagai Jaksa Agung. “Kalau terbukti terjadi pemalsuan data, maka jabatan sekarang harus dinyatakan tidak sah dan dibatalkan karena tidak memenuhi persyaratan,” ujarnya.

Sedangkan, pihak Universitas Diponegoro ketika dikonfirmasi mengenai data ST. Burhanuddin menyarankan untuk mengaksesnya data pusat. “Soalnya data itu biasanya di pusat. Saya hanya di fakultas,” kata Humas Undip, Nuswantoro.

Klarifikasi sudah diberikan, tapi buzzer masih ngeblazz berita lama. Ini Peer dan Tim Kejagung, riset dan komunikasinya, agar tak simpang siur seperti hingga kini.

 

Tinggalkan Balasan