“Hakim memberikan hukuman berupa rehabilitasi, dengan pengawasan serius bagi pelakunya”.
MATRANEWS.id — Sekedar intermezo, di penghujung bulan ini. Ibarat pasukan pemadam kebakaran yang memadamkan api, tetapi merusak rumah serta perabotannya dengan air yang terlalu banyak disemprotkan.
Bukan hendak bicara kabut asap, tapi cerita ini sepenggal ilustrasi. Dimana kita selama ini, dalam menanggulangi permasalahan narkoba.
Kabut asap, masih menutup pandangan Lembaga Peradilan di Indonesia.
Ya, sekedar ingin mengkritik diri sendiri saja.
Ada sebuah realitas, hakim yang memiliki integritas, sikap dan perilaku yang baik dalam lembaga peradilan. Hanya saja, kemampuan untuk berbuat adil dalam membuat keputusan, hakim belum menjadi tumpuan harapan pencari keadilan.
Tujuan drug court belum masuk dalam titik yang pas.
Eng-ing-eng. Ini, dalam konteks menyembuhkan penyalah guna narkotika sekaligus mengurangi aktivitas kriminal di masa depan, dan mengurangi proses pengadilan berulang terhadap perkara penyalahgunaan narkotika.
Apa itu Drug Court?
Drug court atau pengadilan khusus narkotika di AS adalah sebuah sistem pengadilan yang menangani perkara penyalahguna narkotika. Di sana, hakim memberikan hukuman berupa rehabilitasi, dengan pengawasan serius bagi pelakunya.
Pelaku tersebut, menyandang gangguan ketergantungan narkotika dan gangguan kesehatan mental. Peradilan berbasis pendekatan kesehatan ini, menekankan arti penting penanganan kesehatan pelaku akibat gangguan fisik maupun mental.
Catatannya adalah, menyalahgunakan narkotika dilarang secara pidana.
Sistem peradilan tiap negara di dunia, boleh berbeda. Tetapi, politik hukum tiap negara sama dalam menangani penyalah guna narkotika secara universal, sumbernya sama.
Di tahun 1972, ketika konvensi tunggal narkotika 1961 diamandemen dengan protokol 1971 berlaku politik hukum dunia baru. Bahwa, penyalah guna narkotika dilarang dan diberikan alternatif hukuman berupa rehabilitasi.
Alternatif hukuman, berupa rehabilitasi. Maka, setiap negara penanda tangan konvensi atas dasar yurisdiksi masing masing negara diminta menghukum rehabilitasi terhadap perkara penyalah guna narkotika meskipun sistem pidananya berbeda.
Di Amerika serikat, negara ini punya pengalaman cukup lengkap.
Sebelum konvensi tunggal narkotika 1961 diamandemen, pengadilan AS menghukum penjara terhadap penyalah guna narkotika. Tapi, sesudah konvensi tunggal narkotika 1961 diamandemen, pengadilannya menghukum rehabilitasi terhadap penyalah guna narkotika.
Ketika pengadilan konvensional menghukum penjara terhadap penyalah guna narkotika, justru AS dinyatakan gagal.
Tegasnya, AS tak berhasil dalam memerangi penyalahgunaan narkotika, karena menghasilkan generasi hippies.
Dan akhirnya, AS dianggap berhasil dalam memerangi penyalahgunaan narkotika, ketika menyadari bahwa hukuman penjara: Menyebabkan residivisme dan terjadinya penyalahgunaan narkotika.
Program Kesehatan Serta Pemulihan Jangka Panjang.
Mereka membentuk drug court dengan misi memberikan hukuman berupa rehabilitasi.
Drug court pertama kali dibentuk di Miami-Dade County, Florida Amerika Serikat, sebagai tanggapan terhadap masalah penyalahgunaan narkotika yang terus meningkat yang melanda kota itu.
Sekarang, ini drug court dikenal sebagai satu-satunya sistem peradilan paling sukses dalam sejarah AS.
Bagi pelaku dengan kecanduan, mereka masuk ke dalam program kesehatan serta pemulihan jangka panjang. Hasil dari implementasi drug court di AS.
Dalam sejumlah penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, hukuman penjara sama sekali tidak menyelesaikan masalah penyalahgunaan narkotika. Bahkan, tercatat 70% dari penyalah guna setelah bebas dari penjara menggunakan narkoba kembali.
Kedua, pendekatan pidana penjara telah menghasilkan konsekuensi sosial dan ekonomi. Yang tentu saja, memberatkan keluarga, mengakibatkan 1,5 juta orang kecanduan serius dibalik jeruji besi.
Ketiga, drug court memberi peran kepada orang tua penyalah guna terlibat. Maksudnya, dalam proses penyembuhan dan mendekatkan akses penyembuhan serta pasca penyembuhan.
Keempat, walau penyembuhan atau pemulihan adalah bentuk ‘hukuman’ yang relatif baru dalam sistem peradilan di AS. Tapi, drug court dimaksudkan untuk menjaga agar penyalahgunaan narkotika tidak ditahan atau dipenjara. Hal ini, sukses mengurangi residivisme penyalahgunaan narkotika.
Kelima, dalam menyelesaikan masalah yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan narkotika. Ada banyak variasi drug court telah dibuka untuk menangani secara khusus penyalah guna narkotika wanita dan anak anak.
Drug Court Ala Indonesia.
Sistem peradilan penyalah guna narkotika kita, sama dengan AS, yakni merujuk konvensi tunggal narkotika 1961 beserta protokol yang merubahnya dengan alternatif penghukuman berupa rehabilitasi.
Konstruksi drug court ala UU narkotika kita:
Tujuan dibuat UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika secara khusus adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu (pasal 4).
Penyalah guna diancam dengan pidana dengan ancaman penjara kurang dari 5 tahun (pasal 127/1).
Tersangka atau terdakwa tidak memenuhi sarat ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan (Pasal 21 KUHAP).
Justru penegak hukum pada semua tingkatan diberi kewenangan menempatkan penyalah guna ke dalam lembaga rehabilitasi untuk menjamin penyalah guna direhabilitasi (baca pasal 13 PP 25/2011).
Penyalah guna juga tidak memenuhi sarat di tuntut secara komulatif maupun subsidiaritas karena beda tujuan (pasal 4c dan d).
Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi (pasal 54). Pecandu adalah penyalah guna dengan keadaan ketergantungan narkotika (pasal 1/13).
Orang tua penyalah guna/pecandu diwajibkan untuk melaporkan anaknya ke rumah sakit / tempat rehabilitasi agar sembuh (pasal 55).
Hakim diberi kewenangan absolut “dapat” menghukum rehabilitasi baik terbukti salah maupun tidak terbukti salah (pasal 103).
Hakim dalam memeriksa perkara penyalah guna, wajib memperhatikan kondisi kecanduan terdakwa.
Juga hakim wajib mengetahui, apakah terdakwa sudah mendapatkan perawatan melalui wajib lapor dan hakim juga diwajibkan menggunakan kewenangan absolut untuk menghukum rehabilitasi (pasal 127/2).
Hukuman rehabilitasi, statusnya sama dengan hukuman penjara dimana masa menjalani rehabilitasi dihitung sebagai menjalani hukuman (103/2).
Implementasi & Kontroversi
Konstruksi UU narkotika kita, memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi kepada penyalah guna narkotika.
Tujuannya, agar penyalah guna sembuh dari sakit ketergantungan narkotika dan gangguan mental melalui kewenangan absolut hakim.
Sayangnya, implementasi drug court di Indonesia terbentur kontroversi penyalah guna di penjara atau direhabilitasi.
Dalam praktek peradilannya, para hakim tidak yakin dengan dirinya sendiri kalau penyalah guna itu adalah orang sakit kecanduan narkotika dan gangguan mental
Faktanya, sekarang ini ada sekitar 42 ribu penyalah guna dengan alasan dituntut sebagai terdakwa penyalah guna maupun penyalah guna. Mereka dituntut, seakan-akan sebagai pengedar, mereka dijatuhi hukuman penjara.
Nah lo, Bagaimana ini?
Para hakim Indonesia semestinya, punya “catatan pinggir” semacam ini. Sungguh mulia pekerjaan yang satu ini. Bekerja dengan mengandalkan hati nurani, untuk memutuskan orang bersalah atau tidak. Ya, itulah hakim.
Dalam sebuah peradilan, peranan hakim memang menjadi penentu atas perbuatan seseorang.
Jaksa Penuntut Umum bisa berusaha sekeras tenaga untuk melakukan pembuktian sebuah perkara. Begitu juga dengan penasihat hukum, yang harus membela terdakwa dengan profesional.
Namun, keputusan hakim inilah yang menjadi penentu akhir dalam persidangan. Disinilah, peranan hakim sebagai “Wakil Tuhan” di muka bumi sedang diuji, untuk memutus sebuah perkara yang sedang ditangani.
Hakim tetaplah manusia biasa, kiranya dalam menjatuhkan hukuman untuk pecandu bisa menjadi solusi permasalahan bangsa. Bahwa rehabilitasi merupakan sudah sebuah hukuman bagi pecandu.
Agar tercipta sumber daya manusia unggul di Indonesia, derajat kesehatan masyarakat perlu diwujudkan. Indonesia bebas dari penyalahgunaan narkotika, bisa terlaksana. Gimana?