Kolom  

Mengapa 75% Perkara Diajukan Istri, Namun Perselingkuhan Pria Adalah Pemicunya

Paradoks Gugatan Cerai
Paradoks Gugatan Cerai

MATRANEWS.ID – Statistik resmi dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA) menyuguhkan sebuah fakta yang tampaknya sudah menjadi rahasia umum, namun menyimpan misteri yang mendalam: tiga dari empat kasus perceraian di Indonesia, atau sekitar 75%, diajukan oleh pihak istri (cerai gugat).

Angka ini bukan sekadar fluktuasi, melainkan tren stabil yang berlangsung tahunan.

Lantas, mengapa wanita, yang secara kultural didorong untuk menjadi penjaga bahtera rumah tangga, justru menjadi pihak yang paling sering mengambil langkah hukum paling final itu?

Data pengadilan mencatat alasan utama seperti “perselisihan yang terus-menerus” atau “suami tidak bertanggung jawab secara ekonomi.”

Namun, di balik frasa-frasa formal yang dingin itu, tersembunyi satu pemicu emosional yang jauh lebih destruktif, yang sering menjadi “tetesan air terakhir” yang menenggelamkan kesabaran istri: perselingkuhan yang dilakukan oleh suami.

Narasi yang berkembang di masyarakat, terutama yang terungkap melalui media sosial, menyajikan potret yang jauh lebih manusiawi dari statistik kaku.

Wanita tidak menggugat karena ia lelah, melainkan karena ia telah dikhianati dan harga dirinya hancur.

Mereka adalah pihak yang berani mengakhiri penderitaan, bukan pihak yang memulai kehancuran, mengubah makna perceraian dari stigma kegagalan menjadi sebuah tindakan berani merebut kembali martabat dan hidup.

Paradoks Gugatan Cerai

Membaca Ulang Angka: Gugat vs. Talak

Penting sekali untuk memahami perbedaan mendasar dalam istilah hukum yang merangkum keseluruhan paradoks ini.

Gugatan cerai yang diajukan istri dikenal sebagai Cerai Gugat, sedangkan yang diajukan suami disebut Cerai Talak.

Dominasi Cerai Gugat hingga mencapai 75% membuktikan bahwa inisiatif untuk mengakhiri pernikahan sebagian besar berada di tangan wanita.

Suami, di sisi lain, seringkali hanya menunggu atau menghindari proses formal, padahal merekalah yang seringkali menjadi penyebab keretakan rumah tangga tersebut.

Mengapa suami lebih sedikit mengajukan cerai talak? Selain karena prosesnya yang secara prosedural lebih panjang, seringkali pria yang sudah memiliki pasangan lain (selingkuhan) merasa sudah mendapatkan ‘solusi’ tanpa harus memproses secara hukum.

Mereka bisa meninggalkan istri secara emosional atau ekonomi tanpa perlu surat cerai, sementara sang istri dan anak-anaklah yang menderita.

Wanita, terutama yang memiliki anak, membutuhkan kepastian hukum. Mereka harus memastikan status perkawinan, hak asuh anak (hadhanah), dan hak nafkah (seperti nafkah iddah dan mut’ah).

Gugatan cerai adalah satu-satunya alat yang tersedia bagi mereka untuk mengamankan masa depan anak-anaknya.

The Final Straw: Istiqomah yang Patah

Secara sosiologis dan kultural, wanita Indonesia sejak kecil dididik dengan prinsip Istiqomah—konsep keteguhan hati dan kesabaran untuk menjaga keutuhan rumah tangga, apapun yang terjadi.

Mereka diajari untuk menanggung beban ekonomi, menoleransi perselisihan, bahkan memaafkan kekurangan emosional suami selama bertahun-tahun.

Seorang istri mungkin bertahan menghadapi suami yang jarang pulang, yang kasar dalam perkataan, atau yang pasif secara ekonomi.

Namun, begitu perselingkuhan datang, semua pondasi kesabaran itu runtuh.

Perselingkuhan bukanlah sekadar masalah fisik; ia adalah pengkhianatan terhadap sumpah, rasa aman, dan harga diri.

Ia mengirimkan pesan bahwa pengorbanan wanita selama ini tidak dihargai sama sekali.

Penelitian kualitatif menunjukkan bahwa perselingkuhan pria berfungsi sebagai katalisator yang mengubah ketidakberdayaan menjadi keberanian.

Rasa sakit yang ditimbulkan dari pengkhianatan ini jauh lebih tajam daripada kesulitan ekonomi atau perselisihan biasa, memaksa wanita untuk merefleksikan,

“Jika saya dihargai sedemikian rendahnya, mengapa saya harus tetap tinggal?”

Dua Sisi Perselingkuhan: Fisik vs. Emosional

Untuk memahami mengapa perselingkuhan menjadi pemicu utama gugatan cerai istri, kita harus membandingkan motivasi di baliknya dari perspektif gender:

  1. Motivasi Pria: Dalam banyak kasus, pria berselingkuh karena alasan yang lebih berorientasi pada fisik dan ego, seperti variasi seksual, mencari validasi diri yang tidak didapatkan di rumah, atau sekadar pelampiasan stres yang impulsif. Meskipun menyakitkan, tindakan ini seringkali dilakukan tanpa niat serius untuk meninggalkan pasangannya, menjadikannya penghinaan yang dangkal namun menusuk.
  2. Motivasi Wanita: Meskipun jumlah wanita yang berselingkuh lebih sedikit, motivasi mereka cenderung lebih dalam, yakni mencari kekosongan emosional atau kurangnya perhatian dari suami. Perselingkuhan wanita sering kali merupakan respons yang terlambat terhadap penelantaran emosional yang berkepanjangan atau bahkan sebagai bentuk “balas dendam” pasif karena perselingkuhan suami yang terjadi lebih dulu.

Perbedaan ini menjelaskan mengapa perselingkuhan pria lebih sering menjadi titik ledak; karena ia merusak janji emosional dan material tanpa menawarkan solusi.

Bangkitnya Kedaulatan Finansial Wanita

Pergeseran dinamika sosial turut memainkan peran penting. Semakin banyak wanita Indonesia yang mengejar pendidikan tinggi dan memiliki karier yang sukses, mengamankan kemandirian ekonomi mereka.

Ketika seorang wanita tidak lagi bergantung pada gaji suami untuk bertahan hidup, ketahanan psikologisnya untuk meninggalkan pernikahan yang tidak bahagia meningkat drastis.

Keputusan untuk bercerai kini didasarkan pada kualitas hidup emosional dan harga diri, bukan lagi hanya berdasarkan kebutuhan finansial.

Uang memberikan sayap bagi wanita untuk terbang menjauh dari sarang yang sudah diracuni, mengubahnya dari status ‘korban yang terpaksa bertahan’ menjadi ‘pengambil keputusan yang berdaya.’

Paradoks Gugatan Cerai

Media Sosial: Pengeras Suara Para Korban

Peran media sosial, dari TikTok yang emosional hingga Twitter/X yang sarat advokasi, tidak dapat diabaikan.

Platform-platform ini telah menciptakan ekosistem empati yang besar. Dulu, perceraian adalah aib keluarga; sekarang, ia menjadi kisah keberanian yang diunggah dan diviralkan.

  • TikTok menjadi panggung bagi “Storytime” yang ringkas dan sangat emosional. Melihat ribuan komentar dukungan memvalidasi rasa sakit korban.
  • Twitter/X berfungsi sebagai ruang advokasi, di mana korban mendapatkan tips hukum, nama pengacara, dan dorongan moral kolektif untuk menyelesaikan proses cerai.
  • Instagram (melalui akun psikolog dan influencer yang sudah bercerai) menawarkan narasi “transformasi,” menunjukkan bahwa hidup pasca-perceraian bisa lebih bahagia dan bermartabat.

Media sosial telah berhasil mengubah narasi publik: dari “wanita yang gagal menjaga suami” menjadi “wanita yang kuat dan berani memilih dirinya sendiri.” Stigma ‘janda’ perlahan terkikis, digantikan oleh citra ‘wanita tangguh.’

Fenomena dominasi gugatan cerai oleh istri yang dipicu perselingkuhan pria ini seharusnya memicu refleksi serius di tingkat institusi.

Jika perselisihan terus-menerus adalah alasan utama di pengadilan, maka akar permasalahannya, yaitu pengkhianatan, harus diatasi melalui edukasi.

Pentingnya Konseling Pra-Nikah: Lembaga-lembaga keagamaan dan pemerintah perlu memperkuat kurikulum konseling pra-nikah, tidak hanya fokus pada ritual, tetapi juga pada kesehatan mental, komunikasi emosional, dan dampak psikologis pengkhianatan.

Perluasan Definisi Tanggung Jawab: Hukum dan masyarakat perlu memperluas definisi “suami tidak bertanggung jawab” tidak hanya sebatas masalah uang, tetapi juga mencakup penelantaran emosional dan pengkhianatan janji kesetiaan.

Perselingkuhan adalah bentuk KDRT non-fisik yang dampaknya merusak kehidupan istri dan anak-anak.

Pada akhirnya, data perceraian di Indonesia adalah cermin yang memantulkan ketidakseimbangan yang terjadi di dalam rumah tangga.

Ia bukan lagi sekadar data litigasi, melainkan dokumen sosiologis tentang kebangkitan kesadaran wanita untuk menolak standar ganda yang telah lama memberati pundak mereka.

Paradoks Gugatan Cerai

Pahlawan di Balik Gugatan

Paradoks gugatan cerai di Indonesia membuktikan bahwa proses hukum adalah klimaks, bukan permulaan.

Mayoritas wanita yang mengajukan cerai melakukannya bukan karena mereka ingin, tetapi karena mereka harus.

Mereka adalah pahlawan yang telah menempuh perjalanan panjang penuh luka, menghadapi pengkhianatan yang mematikan jiwa, dan akhirnya mengambil tongkat estafet hidup mereka kembali.

Mereka telah mengubah kertas gugatan cerai menjadi manifesto kemerdekaan.

Kisah nyata perceraian di Indonesia kini adalah kisah tentang keberanian dan penegasan diri, di mana wanita memilih untuk mengakhiri penderitaan, menegaskan bahwa harga diri jauh lebih berharga daripada status perkawinan yang palsu.

Hal ini mendesak semua pihak—pemerintah, keluarga, dan pasangan—untuk meninjau kembali komitmen kesetiaan dan kesetaraan dalam pernikahan demi mewujudkan hubungan yang benar-benar bermartabat.