MATRANEWS.id — “Tetap semangat, berintegritas dan jujur harus diteruskan kamu yang muda-muda,” ujar Anwar Nono Makarim saat berjumpa dengan SS Budi Raharjo, jurnalis yang kini mengelola HarianKami.com di rumah duka atas meninggalnya mantan Pemred MATRA Fikri Jufri.
Almarhum Fikri Jufri dulu sering datang ke kantor redaksi “Harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia)” karena semua pengelola koran empat halaman itu adalah kawan-kawannya.
Suatu sore ia mampir dan menceritakan peristiwa yang baru saja dilihatnya di perjalanan.
Pemimpin Redaksi Nono Anwar Makarim memintanya menuliskan peristiwa itu. Ia pun menulis sebisa-bisanya. Sore itu ia seperti dibaptis menjadi wartawan — kelak menjadi profesi satu-satunya yang ia tekuni sepanjang hayat.
Manajemen “Harian KAMI”, yang tak pernah longgar dalam urusan dana, bisa memanfaatkan tenaga Fikri dengan murah dan, yang terpenting, ia punya Vespa yang membuatnya gesit bergerak untuk menjalankan kerja jurnalistik.
Dari awal yang tak sengaja itu ia kemudian menjalankan kewartawanan dengan sepenuh kesungguhan, lalu menjadi besar, dalam banyak aspeknya, bersama majalah Tempo yang turut didirikannya. Sebagai reporter ia punya daya tembus yang hebat, berkat keluwesan dan keluasan jaringan pertemanannya.
“Saya tak merasa meninggalkan dunia pers atau politik,” ujar penggemar karya-karya musik Mozart ini saat dicanda bahwa Nono malah dikenal sebagai pendiri Kantor Konsultan Makarim & Taira — berpartner dengan Taira.
Padahal dahulu, pada 1960-an sampai awal 1970- an, Nono dikenal sebagai wartawan dan pemimpin redaksi harian KAMI.
Nono menikah dengan Atika Algadrie, 1970. Di harian KAMI, “Istri saya itu dulu reporter saya,” katanya.
Dikaruniai tiga anak, keluarga ini menghuni sebuah rumah di kawasan Kebayoran Baru, dengan kolam renang di dalamnya. “Minimal dua kali seminggu saya berenang di situ,” tutur Nono. Sekali-sekali, ia juga lari santai.
Harian KAMI secara resmi diterbitkan oleh mahasiswa pada tanggal 17 Juni 1969 dengan tujuan mendukung kegiatan-kegiatan yang dilakukan KAMI dan menyebarluaskan ke seluruh Indonesia.
Banyak sosok di era media cetak yang tergabung di Koran Harian Kami, sebut saja, almarhum Christianto Wibisono. Ada empat tokoh lagi yakni Ismid Hadad, Emil Salim, Nono Anwar Makarim, dan Goenawan Mohamad.
Perkenalan dan persahabatan mereka yg sudah berpuluh tahun amat mengagumkan. Sepanjang itu pula cita-cita dan harapan tentang Indonesia yang lebih baik, mereka bangun. Emil Salim yang tertua, 91 tahun. GM yang termuda, 80 tahun.
Tiga di antaranya adalah jurnalis: GM, Nono dan Ismid pernah bekerja dan memimpin harian KAMI. Sedangkan Emil adalah kolumnis pertama yang mengirimkan artikel ke harian KAMI.
Nono Makarim merupakan orang hukum dan intelektual Indonesia. Pria kelahiran 25 September 1939 di Pekalongan, Jawa Tengah ini punya darah campuran Arab dan Minangkabau.
Ayah Nono adalah Anwar Makarim, seorang notaris terkemuka, menjadi salah satu teladan pertama bagi Nono, menanamkan pentingnya pengetahuan hukum sejak usia dini.
Ibunya, Salmah, seorang perempuan yang tenang namun penuh kasih sayang, menumbuhkan rasa hormat dan kebijaksanaan dalam dirinya.
Nono Makarim bersama Fikri Jufri bagian dari gerakan inteletual yang membawa perubahan. Pada era yang penuh ketegangan, di bawah rezim Orde Baru.
Ia bentuk wajah Indonesia, menggugah perubahan bersama sejumlah tokoh besar seperti Emil Salim, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Soemitro Djojohadikusumo, ia mendirikan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971, sebuah lembaga pemikir yang memperkenalkan konsep pembangunan alternatif yang sangat berseberangan dengan pandangan dominan saat itu.
Di luar dunia hukum, Nono juga aktif di dunia sosial. Ia mendirikan berbagai yayasan yang berfokus pada isu-isu kemanusiaan dan lingkungan, seperti Yayasan Bambu Indonesia dan Yayasan Biodiversitas Indonesia pada tahun 1993, serta Yayasan Aksara.
Keprihatinannya terhadap masa depan bangsa ini tidak hanya terlihat dari karya-karyanya di atas kertas, tetapi juga dalam tindakan nyata yang ia lakukan demi memajukan masyarakat.
Nono, yang juga pernah menjadi anggota delegasi Indonesia di Putaran Uruguay 1994, lebih dari sekadar seorang intelektual—ia adalah pejuang yang berjuang untuk tanah airnya lewat kata dan tindakan.
Dalam kehidupan pribadinya, Nono adalah seorang suami yang setia kepada Atika Algadri, dan ayah dari dua anak, salah satunya adalah Nadiem Makarim, yang kini menjadi nama besar dalam dunia teknologi Indonesia.
Seperti halnya ayahnya yang menanamkan nilai-nilai luhur, Nono selalu memberikan teladan yang kuat kepada anak-anaknya, agar terus maju dan memberikan kontribusi bagi negeri ini.
Secara keseluruhan, Nono Anwar Makarim adalah gambaran seorang pemikir yang tak hanya memandang hukum sebagai profesi, tetapi juga sebagai alat untuk menciptakan perubahan dan kemajuan. Sebuah warisan intelektual yang tak ternilai, yang akan terus dikenang dan menginspirasi generasi setelahnya.
Fikri Jufri Di Whatsapps Grup MATRA 90-an – Berita Senator
