MATRANEWS.ID – Pada Senin, 29 September 2025, kira-kira jam tiga petang, senja di Buduran, Sidoarjo, seakan menahan napas.
Di lantai dua musala Pondok Pesantren Al-Khoziny—tempat para santri menegakkan Asar dalam saf-saf rapi—tanah tiba-tiba bergetar lirih.
Derak yang mula-mula samar berubah jadi gemuruh. Bambu penyangga—yang sedari pagi bagai tulang punggung—mengeluh retak.
Lantas, sekejap saja, lantai dan atap meruntuhkan dirinya.
Debu melayang; takbir memanjang; jerit minta tolong berbaur doa yang tercekat.
Ketika keruntuhan terjadi, para santri tengah melangsungkan salat Asar berjamaah pada lantai dua yang difungsikan sebagai musala, gedung itu diketahui sempat bergoyang sesaat.
Kemudian saat santri masuk rakaat salat kedua, bagian ujung musala ambruk dan merembet ke bagian lain gedung dan kemudian runtuh
Hari itu duka: 67 jiwa kembali kepada Pemiliknya; ratusan lainnya diselamatkan—sebagian dengan luka yang akan memerlukan musim-musim panjang untuk dipulihkan.
Tiga Hari di Bawah Puing: Doa yang Menyalakan Napas
Haikal dan saf terakhir.
Haikal—usia baru tiga belas—terjepit besi di ruang selebar lengan. Di sela remuk dan gelap, ia memanggil lirih: “Ayo salat… ayo salat.” Suara temannya menjawab dari celah yang tak terlihat.
Mereka salat semampunya—duduk, meraba arah, menyebut nama Tuhan di antara debu.
Menjelang Subuh, sahabatnya senyap. Saat evakuasi tiba, si sahabat ditemukan dalam sujud.
Haikal selamat, tetapi sebagian kakinya harus diikhlaskan. Yang tertinggal padanya: cahaya keyakinan yang tak ikut diamputasi.
Rafi yang memeluk sujud.
Rafi—tujuh belas—ditemukan telah kembali, namun tetap dalam sujud, memeluk temannya yang hidup.
Disebut-sebut ia sempat mengajak Magrib dan Isya di bawah puing. Dua bulan saja ia mondok, dan pekan itu seharusnya hari lahirnya.
Takdir memilihkan hari pulang yang lain: husnul khâtimah, di tengah sujud yang mungkin dulu ia minta dalam doa yang rahasia.
Putra dan Wahyudi: zikir yang menahan waktu.
Putra, yang tertindih seng dan beton, menahan gerak dan rasa pedih dengan zikir yang hanya bibir hati yang paham.
Wahyudi berbaring di ruang pengap, dengan seorang kawan tersangkut di bawah kakinya.
Siang-malam menjadi tak terbedakan; yang ada hanyalah reda dan sambungnya nyeri, pingsan dan tersentak sadar, haus yang tak menemukan air.
Tiga hari tanpa setetes minum; namun nyawa mereka tetap berdiam di tubuh, seakan-akan ada tangan lembut yang terus menyalakan lilin kecil di dada.
Al-Fatih: ditidurkan kasih.
Ada pula Al-Fatih, empat belas tahun, yang seperti “ditidurkan” tiga hari, lalu bangun saat diangkat.
Yang pertama ia minta hanyalah air dingin. Di luar nalar manusia, di dalam kuasa Al-Lathîf: siapa tahu, itulah cara Allah mengurangi derita—menidurkan seorang anak agar tidak kelaparan oleh panik.
Rosi dan Nur Ahmad: selamat dengan pengorbanan.
Sebagian selamat dengan syarat berat: amputasi telapak kaki atau lengan. Rosi—masih tiga belas—pernah bertanya polos, “Kapan saya punya kaki baru?”
Pertanyaan itu menyesakkan sekaligus menyadarkan: kadang keselamatan memerlukan mahar yang tak ringan.
Namun pada setiap anggota tubuh yang hilang, ada pahala yang tumbuh; pada setiap luka, ada derajat yang ditinggikan.
Lelah yang Tak Sia-sia: Ikhtiar di Batas 72 Jam
Penyelamatan bukanlah satu peristiwa, melainkan rangkaian keuletan: evakuasi korban yang terjebak; pencarian mereka yang sudah kembali; pembersihan material reruntuhan yang menuntut 24 jam tanpa jeda. Tim Basarnas, TNI, Polri, relawan—semua berbaris dalam giliran yang melelahkan. Batas emas 72 jam dikejar—sebab harapan kadang hidup setipis rongga udara di bawah beton.
Reruntuhan itu labil—setiap getar bisa memicu runtuh susulan. Para personel merayap seperti doa yang hati-hati; bertanya pada detektor kehidupan, pada kamera mungil, pada firasat yang dilatih. Ahli sipil ditarik ke garis depan: membaca bahasa retak, memahami beban, mengizinkan atau melarang alat berat mendekat.
Banyak yang menitikkan air mata ketika satu suara lemah terjawab, ketika satu nadi kembali terasa.
Kelelahan mereka menjadi madrasah sunyi: bahwa menyelamatkan nyawa adalah ibadah yang menafsirkan ayat
“Barangsiapa yang menyelamatkan satu jiwa, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” berasal dari Surat Al-Ma’idah ayat 32 dalam Al-Qur’an dan juga ditemukan dalam teks Yahudi (Talmud).
Dengan sedikit perbedaan redaksi, menekankan nilai besar dari menyelamatkan satu nyawa karena setiap individu terhubung dan memiliki ikatan dengan manusia lainnya.
Ikhlas yang Berjalan Bersama Akal Sehat
Pengasuh pondok, dengan suara yang bergetar, memohon maaf dan mengajak bersabar. Banyak orang tua menahan pedih dengan kalimat paling tua: “Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn.” Mereka tidak menutup mata terhadap sebab lahiriah; justru, ikhlas mereka berjalan seiring dengan ikhtiar memperbaiki.
Karena tauhid bukan alasan untuk menggampangkan, melainkan kompas agar ikhtiar tidak kehilangan arah.
Di kampung-kampung sekitar, manusia berduyun-duyun mengangkut batu, mengirim air minum, memasak di dapur darurat.
Negara dan ormas, pejabat dan tukang, ibu-ibu yang merapal yasin di serambi—semuanya melebur di bawah satu langit duka.
Inilah ukhuwah yang bukan slogan: sebuah kata kerja yang membentuk wujud.
Qadhâ–Qadar: Takdir yang Memanggil Tugas
Al-Qur’an mengajarkan: “Tidak akan menimpa kami kecuali apa yang telah Allah tetapkan; Dia-lah Pelindung kami.”
Di halaman lain: “Setiap jiwa pasti akan merasakan mati.” Dua ayat ini seperti dua sayap: yang satu menenangkan, yang lain menyadarkan.
Ketetapan Allah adalah selimut bagi hati; kefanaan dunia adalah alarm bagi akal. Maka menerima takdir bukan duduk pasrah, melainkan berdiri menunaikan amanah.
Para ulama mengingatkan: ada takdir yang pasti terjadi, ada takdir yang terkait ikhtiar.
Runtuhnya bangunan mengajarkan hati untuk tunduk pada keputusan Allah; sekaligus meneguhkan kewajiban memperbaiki sebab yang bisa dan harus diperbaiki: izin yang tertib, perhitungan beban, kepakaran yang memimpin gotong-royong.
Doa menjaga jiwa; standar keselamatan menjaga raga. Dua-duanya ibadah.
Sabar: Kunci Gerbang yang Banyak
Nabi ﷺ bersabda: “Menakjubkan urusan seorang mukmin; semua urusannya baik. Jika diberi nikmat, ia bersyukur; jika diuji, ia bersabar.”
Sabar bukan diam tanpa air mata—ia adalah memilih sikap yang mendekatkan kepada Allah, sekalipun dada serasa diremas.
Para arif memberi catatan: pahala tertinggi bukan pada musibahnya, melainkan pada sikap ketika musibah itu datang.
Tetapi bahkan jika sabar gagal dipeluk utuh, Allah Yang Maha Pengampun menjadikan sakit, letih, tusukan duri, sebagai kafarah penghapus dosa. Begitulah kasih yang selalu mencari alasan untuk mengampuni.
Di jalan sabar inilah kita melihat ibu-ibu yang merapikan kerudung sambil menahan sesenggukan; ayah-ayah yang mengelus kepala anaknya yang kini bersandar pada kursi roda; para guru yang menata kelas sementara dengan tangan gemetar.
Sabar menjadikan duka bukan kubangan yang menenggelamkan, melainkan telaga yang memantulkan bintang-bintang.
Asmâ’ul Husnâ: Nama-nama yang Menghibur Luka
Al-Mâlik (Yang Maha Memiliki).
Ketika Allah mengambil sesuatu, Ia hanya menarik kembali milik-Nya. Menyadari ini bukan mematikan rasa sayang, melainkan menempatkannya dalam takaran yang selamat: cinta kepada makhluk tidak boleh melampaui cinta kepada Pencipta.
Al-‘Adl (Yang Maha Adil).
Di mata manusia, wafatnya para santri adalah luka yang panjang. Di sisi Allah, siapa tahu itu karpet kehormatan: syahid orang yang tertimpa runtuhan, sujud yang menjadi kunci gerbang. Keadilan Allah menjangkau hari di mana air mata dibayar tuntas dengan ketenteraman yang kekal.
Al-Lathîf (Yang Maha Lembut).
Lembut-Nya tampak pada Putra dan Wahyudi yang bertahan tanpa air, pada Al-Fatih yang “ditidurkan”, pada celah kecil yang menyisakan oksigen, pada keputusan seorang santri menarik sahabatnya keluar lewat lubang selebar dada. Hal-hal yang disebut kebetulan, yang sesungguhnya adalah skenario kelembutan.
Al-Hafîzh (Yang Maha Memelihara).
Ada detik-detik saat jantung seharusnya menyerah, tetapi tidak. Ada jam-jam saat akal seharusnya panik, namun zikir menenangkan. Allah menjaga mereka—bukan menunda maut tanpa makna, melainkan memperlihatkan bahwa hidup dan mati tetap dalam genggaman-Nya.
Al-Qadîr & Al-Hakîm (Maha Kuasa & Maha Bijaksana).
Kekuasaan tanpa kebijaksanaan menakutkan; kebijaksanaan tanpa kuasa hanya angan. Pada peristiwa ini kita menyaksikan keduanya bersanding. Ada teguran agar kita menegakkan standar; ada persatuan sosial yang dibangunkan; ada iman yang dipantulkan kembali ke wajah kita sendiri. Tidak ada keputusan Allah yang sia-sia.
Ar-Rahmân & Ar-Rahîm (Maha Pengasih & Maha Penyayang).
Rahmat hadir dalam wujud-wujud yang tak selalu kita kenali: relawan yang tak pulang, dokter yang berjaga, tetangga yang menanak nasi, doa-doa yang tidak pernah tayang di berita. Rahmat juga hadir pada mereka yang wafat: diampuni, dilapangkan, disambut oleh kasih yang tak bertepi.
Dan masih ada nama-nama lain: Al-Mujîb yang mengabulkan jerit dari balik puing; Al-Jabbâr yang memperbaiki hati yang retak; Al-Khabîr yang paling tahu siapa yang kuat memikul ujian dan siapa yang perlu diringankan. Mengenal Allah melalui nama-nama ini menjadikan dada berlapang: karena kita paham siapa yang memegang pangkal segala urusan.
Makna Hidup: Saf yang Terputus, Doa yang Tak Pernah Usai
Hidup ini ringkas. Pagi anak-anak itu tertawa di kelas; sore sebagian dipanggil pulang. Maka yang utama bukan panjangnya usia, melainkan kualitas detik terakhir.
Mereka—yang dijemput dalam sujud—seakan mengajarkan: jagalah ibadahmu, supaya saat sekarat tiba engkau sedang berada di posisi terbaikmu.
Bagi yang tinggal, cinta pun ditimbang ulang. Ada cinta yang meruntuhkan ketika diminta; ada cinta yang menguatkan karena tahu semua akan kembali.
Zikir—Allâh, Allâh—menjadi pelipur yang paling setia. Majelis taklim di halaman reruntuhan adalah cara kita mengatakan kepada duka: engkau tidak akan menutup pintu langit.
Di tenda-tenda pengungsian, persaudaraan mengambil rupa: pelukan yang menenangkan, uang kecil yang dikumpulkan anak-anak, bapak-bapak yang mengatur parkir relawan.
Perbedaan latar membaur, sebab musibah mengajarkan: kita lebih mirip daripada yang kita kira.
Amanah yang Tidak Boleh Lengah
Tauhid yang benar menolak dua hal: kelalaian atas nama pasrah, dan kesombongan atas nama ikhtiar.
Maka setelah tangis, datanglah tugas: menata izin, menghitung beban, mewajibkan keahlian memimpin gotong-royong, menguji kelayakan fungsi.
Pembangunan rumah ibadah dan sekolah adalah ibadah—dan ibadah mensyaratkan ilmu serta adab.
Doa mengokohkan makna; standar mengokohkan bangunan. Keduanya karib, bukan saling meniadakan.
Doa untuk yang Pulang, Jalan untuk yang Tinggal
Allah berfirman:
“Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) ketika ditimpa musibah mereka berkata, Inna lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn. Mereka itulah yang memperoleh shalawat (ampunan) dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Ayat ini terasa menjadi suara latar tragedi Al-Khoziny. Kita telah menyaksikan sabar yang menetes dari mata para ibu, tegar yang gemetar di bahu para ayah, dan doa yang tidak letih dari bibir para santri.
Semoga 67 syuhada cilik diliputi cahaya, ditempatkan di taman yang luas di sisi-Nya.
Semoga para penyintas disembuhkan lahir batin; diberi alat untuk berjalan kembali, juga alasan untuk tersenyum kembali.
Semoga para guru dan pengasuh diberi keluasan dada, dan seluruh kita diberi kesempatan menebus kelengahan dengan perbaikan.
Jika hati terasa sempit, ucapkanlah doa Nabi Yunus yang sederhana:
“Lâ ilâha illâ Anta, subhânaka, innî kuntu minazh-zhâlimîn.”
Tiada Tuhan selain Engkau; Mahasuci Engkau; sungguh aku ini termasuk yang bersalah.
Di pengakuan itulah kita menemukan ruang kembali—ruang untuk ditolong, untuk dituntun, untuk dibangunkan.
Dari reruntuhan, bangunkanlah tidak hanya dinding, tetapi juga jiwa yang bertauhid: yang mengerti letak ikhtiar, yang gemar memperbaiki, yang tidak pelit memaafkan, yang teguh memegang amanah keselamatan.
Bila suatu hari anak-anak itu kembali berdiri dalam saf, biarlah yang menggetarkan lantai bukan lagi derak yang retak, melainkan gemetar lembut dari hati-hati yang khusyuk.
Wallâhu a‘lamu bi shawâb. Semoga Allah menutup refleksi ini dengan rahmat, menuliskan bagi kita bagian dalam kesabaran orang-orang baik, dan menjadikan duka ini sebagai jalan menuju kedewasaan iman. Aamiin.






