MATRANEWS.id — Buzzer, endorser adalah profesi yang banyak diminati. Bahkan, ada seorang fotografer kondang pada masanya, karena situasi, order sepi. Maka, ia sekarang “berpindah” profesi menjadi buzzer dan endorser.
Pindah profesi atau pindah kuadran di era digital.
Fotografer itu, alih profesi menjadi buzzer digital karena situasi profesinya yang sulit order sekarang ini. Awalnya malu-malu untuk mengakui, tapi seiring waktu ia tak bisa memungkiri lagi.
Di lain sisi, ia ternyata memiliki kemampuan, bermain medsos dan memiliki banyak pengikut di akun yang dibangun lewat brand yang memang punya nama.
Awalnya, menciptakan ruang baru sehingga keluarga, teman atau orang asing yang baru kenal bisa berinteraksi. Kemari di tahun politik, fotografer ini “ketiban” kerjaan sambilan ini mendapatkan klien, dari tim sukses, hingga politikus untuk menjangkau rakyat.
Tujuannya cuma satu, mendukung kubunya, menjatuhkan lawan beda kubu.
Facebook, Instagram dan Youtube dipakai “tim sukses” untuk berkampanye, sekaligus mem-black campaign endoser politik.
Buzzer atau sebutannya endorser. Ada juga yang menyebutnya sebagai influenser atau KOL (key opinion leader).
Akun di media social yang dikelola baik dan ikuti trend, bisa rutin mendapat order posting pesanan klien. Syaratnya, ia harus punya pengikut di media social. Harus memiliki di atas 10.000.
Para influenser dunia maya ini direkrut atau disewa secara kongkrit. Hanya saja, transaksinya diam-diam, jauh dari pajak dan dalam waktu tertentu juga sangat personal.
Jika sekarang jaman politik, ya kliennya tak jauh dari itu. Per blast, bisa juga kontrak sebulan dengan syarat-syarat dan ketentuan tertentu. Hanya buzzer dan endorser serta klien yang paham.
Biaya menyewa sangat relatif dari pengikut sang influenser. Fotografer yang kini pindah kuadran itu, adalah contoh saja. Ketika fotografi sebagai proses kreatif sedikit demi sedikit tergerus.
Sebagai seorang fotografer yang kini memasuki medsos, sebenarnya adalah mengembangkan talenta lain. Bakat video, men-syut atau sebagai pembuat trendsetter.
Era beberapa dekade lalu, dimana seorang fotografer lapangan masih harus dibekali kemampuan cuci-cetak foto di kamar gelap. Saat ini, mungkin spesifikasi tersebut sudah tidak lagi menjadi prioritas.
Dengan format digital, fotografer hanya perlu mengirim data foto via email untuk naik cetak atau terbit online.
Lebih jauh lagi, teknologi kamera digital juga menghadirkan fitur-fitur auto yang cukup canggih. Dalam mode full auto, fotografer bahkan cukup menekan tombol tanpa harus mengukur ISO, diafragma, hingga depth of field bidikan.
Sekali jepret, gambar yang dihasilkan bisa jadi lebih baik daripada bidikan dengan mode manual. Ironinya, salah satu yang gugur digerus perkembangan teknologi kamera digital justru pencetusnya sendiri.
Steven J. Sasson, insinyur Kodak, melahirkan kamera digital pertama dengan resolusi hingga 10.000 piksel yang tersimpan dalam pita kaset. Sejak runtuhnya fotografi film dan maraknya tren kamera digital, fotografi menjadi semakin “ramah” di mata masyarakat.
Teknologi handphone, yang baru terus, menghadirkan kualitas kamera berpiksel besar.
Seiring dengan kehadiran media sosial Instagram, maka fotografi mobile menjadi kekinian. Demam Instagram juga melanda di Indonesia. Profesi “Instagrammer” juga menjadi sesuatu yang menjanjikan bagi orang-orang yang minat pada fotografi.
Jika ada era fotografi harus diproduksi oleh kamera dan proses cetak kimiawi film negatif, itu sudah berlalu. Fotografi semakin luas, bukan lagi modal kamera pocket. Fotografi hingga membuat video, bias dengan kamera handphone saja.
Kita bisa menggubah, memindahkan, memotong, menimpa, mengobrak-abrik citraan tanpa harus mengganggu salinan asli hanya dengan hitungan detik. Hebatnya lagi tiap citraan bisa keluar (output) di atas permukaan apa pun dan ukuran yang gigantik sekalipun.
Rekayasa digital membawa dampak yang cukup signifikan dalam kehidupan masyarakat kontemporer di berbagai segi. Dunia fotografi memasuki peran yang menyebabkan adanya ketidak-percayaan masyarakat pekerja/profesional fotografi.
Jurufoto yang telah lama berprofesi di sini, “dihantam” perkembangan tehnologi.
Tanpa latar belakang akademis [seni fotografi] dan apalagi sertifikasi, lewat utak atik digital, karyanya bisa viral. Lewat grup atau medsos, disebar sehari bisa berapa kali.
Sehingga, yang bisa di”monetisasi” atau honor dibayar tak lagi sekedar karya foto, tapi bagaimana karya itu diterima di masyarakat, dengan memasukan ke medsos atau memuatnya terlebih dahulu di media digital, agar lebih kredibel.
Nah, di sinilah, peran medsos. Si buzzer akan menulis cerita disamping karya foto itu. Inilah harta dari dunia maya. Internet yang bak magnit menarik banyak orang mempertebal kantong atau menumpuk cuan.
Pengertian Buzzer. Apakah itu?
Ini profesi bermodalkan skill untuk berkicau di sosial media.
Seorang buzzer dibayar bukan karena aktualisasi diri, tapi sebagai tempat untuk “order” pemasaran dan iklan.
Buzzer berasal dari Bahasa inggris yang mempunyai arti lonceng, bel atau alarm.
Pengertian buzzer secara harfiah diartikan sebagai alat yang di manfaatkan dalam memberikan pengumuman atau mengumumkan sesuatu untuk mengumpulkan orang-orang pada suatu tempat.
Di Indonesia sendiri, istilah ini mempunyai arti “kentongan”. Tentu kalian sudah tahu apa itu kentongan. Ya, benar.
Kentongan merupakan salah satu alat tradisional yang sering digunakan untuk mengumpulkan warga pada saat terdapat pengumuman atau berita penting.
Fungsi seorang buzzer, terlihat bahwa seorang buzzer di sosial media pada kenyataannya memiliki peran sebagai alarm.
Biasanya hanya akun dengan jumlah pengikut yang banyaklah yang bekerja pada profesi ini. Selain itu, tentunya akun tersebut juga dapat memberikan pengaruh besar kepada para followersnya.
Sebagai seorang onliner yang sudah memiliki banyak pengikut di akun sosial maka bersiaplah apabila akan ada salah satu atau lebih agency yang akan menghubungi Anda.
Social capital dari buzzer bisa disebut influencer juga. Menjadi diminati si pemasang order jika buzzer bisa memainkan perannya, agar produk/service/campaign bisa jadi bahan pembicaraan dan terdistribusi secara viral.
Hanya dengan meng-amplified pesan saja tanpa membangun percakapannya. Atau tinggal mengkutip media mainstream atau meme di media sosial, agar terus tersebar dan viral.
Perhatikan deh, jika dalam beberapa jam, dalam sehari si admin pasti meng-upload berita. Karena sudah menjadi bagian dari pekerjaaanya, untuk mengirim, deliver pesan di grup kepada pengikutnya medsos. Dia dibayar untuk itu.
Dipikirnya kita tidak tahu, kita kan sudah cerdas ya? Hanya mbok ya jujur saja mendapat order dari anu…..